Musuh Kebersamaan: Kebebasan (Galatia 5:13-15)

Posted on 07/11/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/12/Musuh-Kebersamaan-Kebebasan-Galatia-5-13-15.jpg Musuh Kebersamaan: Kebebasan (Galatia 5:13-15)

Kita hidup di tengah sebuah zaman yang sangat mengagungkan kebebasan. Orang merasa berhak untuk berkata apa saja di mana saja tentang siapa saja. Orang merasa berhak melakukan apa saja tanpa peduli dengan omongan siapa saja. Semboyan “yang penting tidak mengganggu orang lain” menjadi mantra yang membenarkan segala perkara.

Apakah itu yang disebut “kebebasan yang sebenarnya”? Teks hari ini menjelaskan bahwa kebebasan bukan ketidakpedulian. Sebaliknya, kebebasan mengarahkan kita pada kebaikan. Bukan berbuat apa saja demi kenyamanan diri sendiri, tetapi berbuat apa saja demi kebaikan bersama.

 

Kemerdekaan di dalam Kristus (ayat 13a)

Dalam teks Yunani kata ganti “kalian” (hymeis) muncul secara eksplisit dan diletakkan di awal kalimat sebagai penekanan. Paulus memang sedang mengontraskan jemaat Galatia dengan para pemberita Injil palsu yang mengacaukan jemaat di sana (5:10-12). Para pengajar sesat ini hendak mengajarkan Injil yang lain (1:6-9). Mereka berasal dari kalangan Yahudi yang mencoba mengajak sebagian jemaat kembali kepada keyakinan yang lama, yaitu kebenaran di hadapan Allah melalui sunat dan Hukum Taurat (3:1-2; 5:2-3). Pendeknya, mereka ingin mengajak jemaat kembali pada legalisme Yahudi. Perkenanan Allah ditentukan oleh kesalehan manusia.

Untuk kesekian kalinya Paulus menegaskan tentang kemerdekaan yang jemaat miliki di dalam Kristus (5:13a). Mereka yang dibenarkan di dalam Kristus melalui iman adalah orang-orang yang merdeka. Kembali kepada sunat dan Taurat berarti pembatasan kebebasan dan peletakan kembali perhambaan yang lama (2:4). Terhadap bahaya ini setiap jemaat seharusnya menolak dengan tegas (5:1).

Kembali kepada legalisme merupakan sebuah kebodohan (3:1-3). Jika ingin dibenarkan karena ketaatan pada Hukum Taurat, seseorang harus terus-menerus “melakukan seluruh Hukum Taurat” (5:3b). Kegagalan sedikit saja akan membawa pada murka Allah (3:10 “Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat”).

Kegagalan menaati seluruh tuntutan Taurat ini diselesaikan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Allah mengutus Anak-Nya sebagai manusia yang takluk kepada Hukum Taurat supaya Anak-Nya itu memenuhi semua tuntutan Taurat (4:4). Kebenaran Kristus diperhitungkan menjadi kebenaran kita. Kristus diutus untuk menebus mereka yang takluk kepada Taurat supaya kita menjadi anak-anak (4:5). Status kita berubah dari hamba dosa menjadi anak-anak Allah (4:7).

 

Respons terhadap kemerdekaan di dalam Kristus (ayat 13b-15)

Kebenaran di dalam Kristus adalah fakta. Kristus melakukan segalanya bagi kita. Berdasarkan karya Kristus itulah Allah menerima kita apa adanya. Dosa-dosa kita tidak menghalangi Allah untuk mengangkat kita sebagai anak-anak-Nya. Walaupun demikian, dosa-dosa kita bukan diabaikan, tetapi dibereskan. Allah tidak menutup mata terhadap dosa, tetapi Dia melihat pada karya penebusan Kristus yang sempurna.

Karya Kristus yang agung ini jelas tidak boleh dianggap biasa. Kita tidak melakukan apa-apa untuk diselamatkan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa kita tidak perlu melakukan apa-apa setelah diselamatkan. Di 5:13b-15 Paulus mengajak kita untuk memberikan respons yang tepat terhadap karya Kristus. Paulus memberikan larangan (ayat 13b), nasihat (ayat 13c-14), dan peringatan (ayat 15). Mari sekarang kita melihat poin ini satu per satu.

Pertama, larangan untuk membuka kesempatan bagi dosa (ayat 13b). Kalau legalisme bisa dianggap sebagai sayap kiri, maka antinomianisme adalah sayap kanan. Penganut legalisme mengejar perkenanan Allah melalui kesalehan diri sendiri. Sikap Allah pada kita ditentukan oleh sikap kita pada Allah. Penganut antinomianisme menganggap kesalehan sama sekali tidak diperlukan. Sikap kita pada Allah sama sekali tidak dipedulikan oleh Allah. Kita bebas berbuat apa saja.

Antinomianisme inilah yang sedang dibicarakan di ayat 13b. Sebagian jemaat telah salah memahami kebebasan di dalam Kristus. Kebebasan tersebut dianggap sebagai “kesempatan untuk kehidupan dalam dosa” (eis aphormēn tē sarki, lit. “untuk kesempatan dalam kedagingan”). Kata aphormē secara hurufiah merujuk pada posisi awal untuk melakukan suatu operasi atau rangkaian tindakan (Thayer Lexicon) atau rangkaian keadaan yang cocok untuk sebuah tindakan (Louw-Nida Lexicon).

Yang dipikirkan oleh Paulus mungkin orang-orang yang mencoba mengatasnamakan kasih karunia sebagai pembelaan dan pembenaran atas dosa-dosa mereka. Semboyan mereka mungkin adalah ini: “Marilah kita berbuat yang jahat, supaya yang baik timbul dari padanya” (Rm. 3:8) atau “Banyak dosa, banyak kasih karunia” (Rm. 6:1). Mereka lupa bahwa kebebasan sejati justru diperoleh dari Kristus untuk menaati Kristus. Ketaatan pada firman Kristus adalah wujud kebebasan yang sejati (Yoh. 8:32 “kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu”). Jadi, kita dibebaskan dari dosa, bukan untuk dosa.

Kedua, nasihat untuk melayani sesama (ayat 13c-14). Tidak cukup bagi orang Kristen untuk sekadar menjauhi dosa. Kita juga diperintahkan untuk melakukan sesuatu kepada sesama. Kebebasan bukan alasan untuk mengabaikan penilaian dan perasaan banyak orang, melainkan kesempatan untuk menebar kebaikan.

Paulus menasihati kita untuk melayani sesama. Pemunculan kata “melayani” (douleuō) di sini cukup mengejutkan. Kata ini sebelumnya sudah muncul beberapa kali dengan arti “menghambakan diri” dan mengandung makna negatif: perhambaan pada berhala atau roh-roh dunia (4:8-9, 25). Melalui penggunaan kata ini Paulus ingin mengajarkan bahwa penghambaan pada dirinya sendiri tidak selalu keliru, tergantung pada objek penghambaan. Kebebasan (dari dosa) adalah penghambaan (pada kebenaran).

Hal mengejutkan lain adalah pemunculan Hukum Taurat (ayat 14 “seluruh Hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini”; lihat Mat. 22:36-40; Rm. 13:8-10). Bukankah orang Kristen sudah tidak berada di bawah kutukan Taurat? Bukankah tuntutan “seluruh Hukum Taurat” sudah digenapi dalam Kristus? Mengapa kita masih perlu menaati inti dari seluruh Hukum Taurat?

Kita memang tidak menaati Hukum Taurat supaya dibenarkan atau diselamatkan. Sebaliknya, kita dibenarkan dan diselamatkan supaya bisa menaati Hukum Taurat. Hukum Taurat telah menjadi Hukum Kristus (6:2 “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”). Ketaatan inipun bukan dilandaskan pada ketakutan terhadap hukuman atau keinginan untuk mendapatkan berkat Tuhan. Ketaatan ini muncul dari hati yang mengasihi (5:14). Di bagian selanjutnya Paulus juga menegaskan bahwa kekuatan dalam ketaatan bersumber dari persandaran pada Roh Kudus (5:16-26).

Ketiga, peringatan terhadap kerusakan fatal (ayat 15). Kadangkala larangan dan nasihat saja tidaklah cukup. Larangan tidak dilanggar, nasihat tidak dihiraukan. Kebebalan orang dan kegentingan keadaan memerlukan peringatan yang kencang. Itulah yang dilakukan Paulus di ayat ini.

Sebagian jemaat Galatia tidak bisa hidup damai dengan sesamanya. Mereka gila hormat, suka menantang, dan saling mendengki (5:26). Mereka juga merasa diri lebih baik daripada orang lain (6:3-4, 12). Perbuatan-perbuatan daging tampak nyata dalam kehidupan mereka (5:20-21 “…perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian…”). Mereka bukan hanya gagal menggunakan kebebasan sebagai sarana melayani sesama, tetapi malah menggunakannya sebagai senjata melukai sesama. Mereka bukan hanya gagal mengasihi sesama, tetapi malah membenci sesama.

Paulus memberikan kecaman keras di sini: “Awaslah, supaya kamu jangan saling membinasakan” (5:15b). Kata “membinasakan” (analiskō) hanya muncul dua kali dalam Perjanjian Baru. Artinya lebih mengarah pada menghancurkan dengan api (Luk. 9:54 “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?”). Kebencian adalah api yang menghanguskan semua yang bertengkar. Tidak ada pemenang.

Kristus sudah memberikan teladan, kebebasan, dan kekuatan dalam melayani sesama. Apa yang tidak mungkin kita lakukan telah Dia lakukan bagi kita. Kita dibebaskan dari kuasa dosa dan kutukan Taurat. Apa yang Dia lakukan juga pada gilirannya memampukan kita untuk menaati inti dari seluruh Hukum Taurat. Kita yang sudah dikasihi oleh Kristus diberi kekuatan untuk mengasihi sama. Masih adakah dalih bagi kita untuk tidak peduli dan melayani sesama? Bukankah melukai sesama merupakan perlawanan terhadap Injil? Bukankah luka-luka Kristus di kayu salib seharusnya menyembuhkan luka-luka kita? Soli Deo Gloria.

Photo by Reformed Exodus Community
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community