Dalam Khotbah di Bukit (Sermon on the Mount) Yesus mengajarkan sederetan Ucapan Bahagia (The Beautitudes). Salah satu di antara ucapan ini berkaitan dengan orang yang lapar dan haus akan kebenaran (Mat. 5:6). Orang-orang seperti ini pasti akan dipuaskan oleh Allah sendiri.
Banyak orang bertanya: Bagaimana saya bisa merasa lapar dan haus terhadap kebenaran? Apa yang harus dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini pertama-tama kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan lapar dan haus terhadap kebenaran. Sama seperti tubuh manusia tidak mungkin bisa bertahan tanpa makanan dan minuman, demikian pula orang yang lapar dan haus terhadap kebenaran merasa tidak mampu hidup tanpa kebenaran. Yang sedang dibicarakan di sini adalah sebuah kebutuhan, bukan sekadar keinginan. Ini tentang hasrat, bukan sekadar minar.
Hal berikutnya yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah maksud “kebenaran” (dikaiosynē). Kata ini memiliki jangkauan arti yang cukup luas. Artinya bisa beragam tergantung pada konteks pemunculannya. Jika kita membatasi arti kata ini pada Khotbah di Bukit (Mat. 5-7), kita akan menemukan bahwa kata ini merujuk pada kebenaran dalam menaati disiplin rohani (6:1). Dengan kata lain, kata ini mengarah pada kesalehan religius. Selanjutnya, kata dikaiosynē juga dikaitkan erat dengan kerajaan Allah di muka bumi (6:32-33). Jadi, kata ini bukan sekadar kesalehan secara personal dalam ranah religius, tetapi juga kebenaran secara moral dan sosial. Kita merindukan momen di mana nilai-nilai kerajaan Allah akan memenuhi seluruh bumi. Jadi, apa yang kita butuhkan bukan hal-hal yang jasmaniah (makanan, pakaian, dan sebagainya) melainkan hal-hal yang rohani. Bangsa-bangsa lain mencari hal-hal jasmani tetapi anak-anak Tuhan mencari kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.
Nah, sekarang kita mencoba menjawab di awal tulisan ini. Bagaimana kita dapat merasa lapar dan haus terhadap kebenaran? Ada dua jawaban utama.
Pertama, kita selalu mengingat Injil Kristus. Hampir semua kita sudah mengetahui bahwa Injil adalah berita baik. Yang kadangkala dilupakan adalah kabar baik ini diberitakan di tengah kabar buruk. Manusia adalah berdosa. Manusia tidak mampu melakukan apa-apa untuk menyelamatkan diri-Nya. Manusia pantas dimurkai oleh Allah. Manusia tidak pantas mendapatkan yang baik dari Allah.
Dengan pemikiran seperti ini kita selalu diingatkan tentang kehinaan dan ketidakmampuan diri kita. Kesombongan dalam diri dikikis setiap hari. Persandaran pada kekuatan diri dikelupas sedikit demi sedikit. Pada akhirnya kita akan semakin menyadari kebutuhan kita terhadap Allah. Semakin kita menyadari kebutuhan ini, semakin kita mengharapkan kebenaran Allah dinyatakan dalam kehidupan kita.
Kedua, kita menjauhkan diri dari keinginan-keinginan duniawi. Yang membuat kita merasa tidak begitu membutuhkan Allah dan kebenaran-Nya adalah rasa cukup dengan apa yang disediakan oleh dunia. Kita tidak bisa merasa lapar (secara rohani), karena kita sudah “kenyang” (secara jasmani). Kita menjadi kurang peduli dengan hal-hal rohani.
Proses menjauhkan diri ini perlu dilakukan secara intensional, intensif, dan berkelanjutan. Dunia terus memengaruhi kita dengan segala cara. Dunia menawarkan segala kenyamanan dan kecukupan. Jika kita tergoda dan mengambil kepuasan semua ini, kita pasti tidak akan merasa terlalu membutuhkan Allah. Kita merasa sudah mendapatkan apa yang kita perlukan dan inginkan.
Kuncinya di sini adalah transformasi akal budi (Rm. 12:2). Pikiran kita harus terlatih untuk mendeteksi pola pikir duniawi. Tidak ada satupun di dunia yang mampu mengisi kekosongan dalam diri kita yang hanya bisa diisi oleh Allah saja. Kristus bukan salah satu atau nomor satu; Dia adalah satu-satunya harta kita yang paling berharga. Dengan kesadaran tentang hal ini, kita akan selalu merasa lapar dan haus terhadap kebenaran. Soli Deo Gloria.
Photo by Patrick Fore on Unsplash