Pernahkah saudara mengalami sebuah hari dimana sepanjang hari anda menjadi versi terbaik diri anda? Anda bangun tidur langsung bersaat teduh, anda tepat waktu datang ke kantor, anda menyelesaikan semua masalah dengan tepat, anda memperhatikan pasangan dan anak dengan penuh kasih, bahkan anda dengan senang hati mendonasikan uang untuk sebuah yayasan sosial. Sebaliknya, pernahkah saudara mengalami momen dimana sepanjang hari anda tidak seperti diri anda sendiri? Anda dikuasai oleh kemarahan, ketakutan, iri hati, hawa nafsu, dan belum lagi, anda kewalahan menghadapi segala masalah yang datang.
Dalam sepanjang hidup saudara, versi diri mana yang lebih sering muncul? Saya menduga kita semua pasti lebih rindu menjalani hidup dengan versi terbaik diri kita. Sebuah kehidupan yang bebas dari hawa nafsu dan dosa yang mengikat. Paulus memberikan gambaran hidup yang demikian di Galatia 5:24-26.
Galatia 5 dimulai dengan berita pembebasan. Kristus telah memerdekakan kita dari kuasa dosa dan maut (Galatia 5:1). Karena itu kita bukan lagi hamba dosa, namun kita hidup dipimpin oleh Roh Kudus (Galatia 5:16). Itu artinya bersama Kristus, hidup kita mulai diperkaya dengan buah-buah Roh. Itulah kehidupan yang kita dambakan. Lalu sekarang, bagaimana caranya menata hidup kita agar dapat bebas dari hawa nafsu?
Milik Kristus (Galatia 5:24a)
Pertama, kita perlu ingat bahwa kita adalah milik Kristus (ayat 24a). Kita memiliki apa yang Kristus miliki, yaitu kasih dan perkenanan Bapa. Kita adalah anak-anak Allah, bahkan ahli-ahli warisNya (Galatia 4:6-7). Selain anak-anak Allah, di surat-suratnya yang lain, Paulus juga menggambarkan status kita sebagai umat Allah dan tubuh Kristus. Itulah peran kita di dunia.
Dalam peperangan melawan hawa nafsu, kita perlu belajar untuk menginternalisasikan status kita sebagai anak Allah. Kita serius menghidupi identitas baru kita. Jika meminjam bahasa teater, kita perlu menghayati dan memainkan peran kita sebagai orang kudus. Mengapa ini penting? Karena sering kali kita dapat bersembunyi dibalik alasan “saya kan orang berdosa.” Saat jatuh dalam dosa untuk kesekian kalinya, kita mudah beralasan “saya kan tidak sempurna.”
Memang betul kita masih bergumul dengan dosa, tetapi itu bukan berarti kita dapat berteman dengan kegelapan. Orang kudus bukan orang yang sempurna, namun orang yang berjuang melawan dosa. Ingat, Yesus mati bukan untuk mengelola dosa kita. Yesus mati untuk mematikan dosa kita.
Menyalibkan Daging (Galatia 5:24b)
Kedua, kita menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (ayat 24b). Daging disini bukan berarti tubuh atau bagian material dari manusia. Istilah daging lebih merujuk kepada kecenderungan atau keinginan untuk berdosa. Lebih tepatnya, daging adalah gambaran seluruh aspek manusia di bawah kuasa dosa.
Dalam bahasa aslinya, kata “hawa nafsu” umumnya berarti penderitaan atau kesengsaraan. Namun dalam konteks ini, hawa nafsu memiliki konotasi yang negatif yaitu hasrat untuk berdosa atau emosi yang tidak terkendali. Sedangkan kata Yunani “keinginan” muncul di beberapa surat Paulus lainnya. Kata ini diterjemahkan, misalnya, sebagai berikut: nafsu jahat (Kolose 3:5), nafsu yang hampa dan mencelakakan (1 Timotius 6:9), keinginan duniawi (Titus 2:12). Mungkin yang paling membantu kita untuk mengerti kedagingan dan hawa nafsu adalah di ayat sebelumnya yaitu Galatia 5:17 – “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging — karena keduanya bertentangan — sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.”
Dengan kata lain, kedagingan bukan sekedar keinginan untuk berdosa dengan pikiran jahat atau perilaku duniawi. Kedagingan adalah kecenderungan kita untuk melawan Roh Tuhan dan memilih untuk hidup sesuka hati, terlepas dari kehendak Tuhan. Maka, akar permasalahan kita tidak terletak di kebiasaan jelek kita. Akar permasalahan kita adalah trust issue. Kita tidak betul-betul percaya bahwa Tuhan baik untuk kita dan Dia mengasihi kita. Kita tidak merasa puas dengan Tuhan. Menuruti hawa nafsu lebih membahagiakan daripada menuruti Tuhan.
Kebiasaan inilah yang harus kita salibkan. Kata “menyalibkan” merujuk kembali kepada Galatia 2:19 dimana kita telah disalibkan dengan Kristus. Ini bicara tentang keselamatan kita di masa lampau. Namun kalimat “ia telah menyalibkan” juga dalam bentuk aktif. Barangkali Paulus ingin mengajarkan bahwa orang percaya perlu terus memilih bersekutu dengan Kristus dan menolak dosa dalam hidupnya.
Bagaimanapun juga menyalibkan hawa nafsu bukanlah hal yang mudah. Karena istilah salib bukanlah gambaran yang nyaman. Salib adalah metode eksekusi. Maka hidup orang Kristen adalah peperangan melawan dosa. Kita harus sibuk menghabisi dosa kita, sebelum dosa menghabisi hidup kita.
Dipimpin oleh Roh (Galatia 5:25)
Ketiga, kita hidup dipimpin oleh Roh (ayat 25). Ayat ini dimulai dengan kata “jikalau”. Seakan-akan Paulus ingin memastikan sudahkah kita hidup oleh Roh. Karena Roh Kudus-lah sumber segala berkat, termasuk anugrah kekudusan. Roh Kudus-lah yang memberikan kemenangan atas hawa nafsu yang mencelakakan. Maka pertanyaannya adalah apakah saudara rindu bebas dari hawa nafsu? Atau saudara sebetulnya sudah merasa nyaman dengan keadaan anda sekarang? Saudara tahu Tuhan dapat mengubahkan, namun anda tidak mau berjuang menjadi pribadi yang lebih baik.
Sebaliknya, jikalau saudara terganggu dengan hawa nafsu, itu adalah bukti Roh Kudus sedang bekerja dalam hidup anda. Kita mau dipimpin oleh Roh. Ayat ini menggambarkan Roh Kudus seperti komandan perang yang mengatur barisan para tentara. Roh Kudus memastikan hidup kita sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.
Kita tidak mampu bebas dari hawa nafsu tanpa pertolongan Roh Kudus. Dia-lah yang memberikan kemenangan sejati. Kita dapat berusaha sendiri untuk mengubah pola atau kebiasaan jelek kita, namun hasilnya mungkin hanya perbaikan di level permukaan. Roh Kudus memimpin kita untuk membereskan akar dosa. Dia tidak hanya mengubah perilaku kita, namun juga melatih hasrat kita. Karena yang paling saudara butuhkan bukan teknik penguasaan diri, namun selera rohani. Dengan kata lain, mematikan dosa tidak cukup, kita perlu melihat kepada Kristus sebagai sumber kepuasan yang jauh lebih unggul daripada kesenangan duniawi.
Implikasi Komunal (Galatia 5:26)
Saat kita bebas dari hawa nafsu, yang diberkati bukan hanya kita sendiri, namun juga komunitas di sekitar kita (ayat 26). Orang yang dipimpin oleh Roh tidak gila hormat. Karena fokus hidupnya bukan lagi untuk memuaskan hasrat pribadi. Maka tidak ada ruang untuk saling menantang atau saling mendengki. Menantang artinya mengambil posisi yang lebih superior demi mengalahkan orang lain. Mendengki adalah sikap hati yang tidak pernah puas dan melihat kekurangan dimana-mana. Maka, orang yang masih dikuasai oleh hawa nafsu akan merusak komunitas.
Pengulangan kata “saling” sebanyak dua kali menunjukkan bahwa pada akhirnya kebebasan dari hawa nafsu membawa dampak komunal. Kerinduan Paulus bukan hanya transformasi individual, namun juga transformasi untuk seluruh gereja Tuhan. Saat sebuah komunitas berhenti bersaing, komunitas tersebut dapat memusatkan waktu, energi, dan sumber dayanya untuk menjadi berkat.
Hawa nafsu untuk diri sendiri berhasil didaur ulang menjadi kerinduan untuk memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama.