Bolehkah Orang Kristen Merayakan Hari Valentine?

Posted on 21/02/2021 | In QnA | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/03/Bolehkah-Orang-Kristen-Merayakan-Hari-Valentine.jpg Bolehkah Orang Kristen Merayakan Hari Valentine?

Bulan Februari sangat identik dengan bulan kasih sayang. Banyak orang merayakan Hari Valentine setiap tanggal 14 Februari. Banyak pasangan yang sudah menikah maupun yang masih pacaran tidak mau melewatkan kesempatan ini.

Ternyata tidak semua orang merayakan Hari Valentine. Beberapa orang Kristen (dan kelompok religius lain) tidak merayakannya. Alasan yang diberikan bermacam-macam. Ada yang memang tidak terbiasa mengungkapkan kasih sayang dalam cara yang khusus dan romantis. Ada yang menganggap perayaan ini bertabrakan dengan nilai-nilai keagamaan.

Sehubungan dengan alasan terakhir ini, para penentang Hari Valentine umumnya memberikan beberapa keberatan: (1) asal-usul perayaan ini yang dianggap tidak Kristiani; (2) perayaan ini telah dikomersialisasi sedemikian rupa demi kepentingan ekonomis; (3) perayaan ini seringkali melibatkan tindakan-tindakan yang tidak pantas, misalnya seks bebas; (4) ungkapan kasih sayang seharusnya dilakukan setiap hari, bukan hanya setahun sekali. Empat alasan ini dipandang sudah lebih dari cukup untuk mengharamkan perayaan Hari Valentine.

Bagaimana kita sebagai orang-orang Kristen seharusnya menyikapi polemis seputar Hari Valentine? Haruskah kita merayakannya?

Penolakan terhadap perayaan Valentine didorong oleh motivasi yang baik. Mereka yang menentang menginginginkan kehidupan Kristiani yang murni, yang tidak terpengaruh oleh dunia. Alkitab sendiri berkali-kali memberikan peringatan agar kita tidak menjadi seperti dunia (Rm. 12:2). Kita harus menjaga diri dari kecemaran dunia (Yak. 1:27b). Persahabatan dengan dunia bahkan dipandang sebagai permusuhan terhadap Allah (Yak. 4:4).

Motivasi yang baik di atas tidak selalu membenarkan apa yang diperjuangkan. Tujuan tidak membenarkan cara (the end doesn’t justify the means). Alkitab tidak menentang segala sesuatu yang ada di dalam dunia. Masih ada hal-hal yang baik dari dunia, karena Allah masih menyediakan wahyu umum (pengenalan tentang Dia melalui ciptaan dan hukum moral dalam hati manusia) dan anugerah umum (segala kebaikan dan kebajikan).

Alkitab hanya menentang segala sesuatu yang duniawi. Ketika Alkitab memerintahkan kita untuk membenci “segala sesuatu yang ada di dunia,” hal itu tidak berarti membenci setiap hal tentang dunia. Rasul Yohanes berkata: “Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia” (1Yoh. 2:16). Jadi, sekali lagi, apa yang ada di dalam dunia belum tentu duniawi.

Saya sendiri tidak melihat bahwa perayaan Hari Valentine pada dirinya sendiri merupakan aktivitas yang duniawi. Argumentasi yang dikemukakan untuk menentang Hari Valentine menurut saya kurang begitu kuat. Mari kita telaah satu per satu secara singkat dan sederhana.

Pertama, asal-usul perayaan. Kapan perayaan Valentine dimulai? Siapa yang memulainya? Apa konteks perayaan yang mula-mula? Deretan pertanyaan ini susah untuk dijawab secara pasti.

Spekulasi yang terkenal adalah yang mengaitkan perayaan ini dengan ritual Luperkalia dari tradisi Romawi yang dirayakan setiap tanggal 15 Februari. Mereka yang mengaitkan perayaan Valentine dengan tradisi ini berpendapat bahwa orang-orang Kristen telah melakukan Kristenisasi terhadap perayaan kuno itu. Aspek-aspek ritual yang bertabrakan dengan nilai-nilai Alkitab telah dihilangkan, misalnya pemberian kurban binatang dan takhayul seputar kesuburan perempuan. Dugaan ini tetaplah sebagai dugaan belaka. Tidak ada data historis yang konkrit tentang hal ini. Tanggal perayaan juga tidak persis sama. Di samping itu, seluk-beluk tradisi Luperkalia sendiri sampai sekarang juga tidak seberapa seragam dan detail.

Spekulasi lain berhubungan dengan Santo Valentinus. Banyak orang Kristen lebih menyukai spekulasi ini daripada sebelumnya (modifikasi tradisi Luperkalia). Beberapa penggalan tradisi dalam kekristenan tampaknya memang lebih mengarah pada tradisi cinta Valentinus. Walaupun demikian, spekulasi ini tidak sejelas yang dipikirkan oleh banyak orang. Tindakan Valentinus yang mana yang menjadi cikal-bakal perayaan cinta? Pelbagai spekulasi lain bermunculan: dari kasih Valentinus kepada orang-orang Kristen yang di penjara, pernikahan rahasia yang dilarang kaisar, sampai kasih sayangnya kepada anak perempuan sipir penjara. Begitu kaburnya detail tradisi seputar Santo Valentinus, beberapa orang bahkan meyakini bahwa tokoh Valentinus di balik perayaan ini bukan hanya satu orang: dua dari Italia dan satu dari Afrika.

Memertimbangkan kesimpangsiuran tradisi yang terlihat sangat spekulatif ini, kita sebaiknya tidak menjadikan hal itu sebagai salah satu alasan untuk menentang maupun membenarkan perayaan Valentine. Nah, terlepas dari tradisi mana yang diyakini, tradisi itu tetap tidak absah untuk digunakan dalam argumentasi. Sesuatu yang salah dari sisi asal-usulnya tidak menjadikan hal itu otomatis salah pada dirinya sendiri. Sebagai contoh, seandainya pisau pertama yang ada di dunia dibuat untuk pembunuhan, hal itu tidak menjadikan semua penggunaan pisau menjadi salah. Mereka yang menolak perayaan Valentine hanya gara-gara pertimbangan tradisi telah melakukan kekeliruan logika yang disebut “kekeliruan genetis” (the genetic fallacy).

Kedua, komersialisasi perayaan Valentine. Seperti yang kita bisa deteksi dengan mudah, momen-momen Valentine telah dijadikan ladang uang yang besar bagi banyak orang. Paket makan malam romantis, promo hotel, dan berbagai diskon barang turut meramaikan perayaan ini. Para penguasaha meraup untung yang tidak sedikit dari perayaan ini.

Apakah komersialisasi ini menjadikan perayaan Valentine keliru? Tentu saja tidak. Perayaan Natal juga telah dikomersialkan sedemikian rupa, tetapi hanya sedikit orang Kristen yang menentangnya. Kita tentu saja masih bisa memaparkan deretan contoh lain bagaimana sesuatu yang netral atau benar telah dikomersialkan. Namun, komersialisasi ini tentu saja tidak berpengaruh terhadap benar atau tidaknya dari objek yang dikomersialkan. Contoh yang lebih umum adalah pesta pernikahan. Momen kasih sayang ini juga menjadi ladang bisnis yang besar bagi banyak pihak (pemilik bangunan, event organizer, dsb). Apakah komersialisasi ini membuat pesta pernikahan menjadi keliru? Pada dirinya sendiri jelas tidak keliru. Pesta perrnikahan baru menjadi keliru kalau dilakukan dengan cara yang keliru, misalnya mabuk-mabukan, perjudian, seks bebas, dsb.

Ketiga, tradisi perayaan yang melibatkan tindakan tidak bermoral. Tidak dapat disangkali, banyak perayaan Valentine memasukkan tindakan-tindakan yang kurang pantas atau tidak senonoh. Beberapa remaja/pemuda melakukan kontak seksual yang berlebihan. Seks bebas dan pesta seks tidak jarang menjadi cara wajib bagi sebagian orang.

Walaupun demikian, semua ini tidak secara otomatis menjadikan perayaan itu menjadi keliru. Yang keliru adalah tindakannya, bukan perayaannya. Sesuatu yang baik kadangkala dilakukan dengan cara yang keliru. Misalnya, mengungkapkan cinta kepada seseorang pada dirinya sendiri merupakan hal yang baik, selama ungkapan yang digunakan juga tidak menabrak kebenaran. Berdagang adalah sesuatu yang baik, karena melayani kebutuhan dan memberi keuntungan bagi orang lain. Pelanggaran etis yang dilakukan oleh seorang pengusaha tidak menjadikan semua aktivitas bisnis menjadi keliru.

Keempat, ungkapan kasih sayang yang hanya setahun sekali. Alkitab dipenuhi dengan perintah untuk mengasihi semua orang, dari sesama orang percaya sampai musuh-musuh kita. Perintah ini tentu saja dilakukannya bukan hanya sesekali, tetapi setiap hari. Mencintai adalah bisnis harian, tidak hanya kalau ada kesempatan.

Apakah perayaan kasih sayang yang hanya sekali setahun keliru? Belum tentu! Dalam hal ini kita perlu membedakan cinta dan ungkapannya yang spesial. Mengasihi harus ditunjukkan setiap hari dalam berbagai bentuknya, misalnya perhatian, pertolongan, ingatan, dsb. Ungkapan spesial tidak perlu dilakukan setiap hari. Jika dilakukan setiap hari, bagaimana hal itu bisa disebut spesial? Hari Valentina merupakan salah satu kesempatan untuk mengungkapkan cinta secara lebih spesial.

Dari semua penjelasan di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa pada dirinya sendiri tidak ada salah dengan perayaan Hari Valentine. Jika dilakukan dengan benar, momen ini justru bisa membawa banyak manfaat. Lebih baik lagi apabila perwujudan cinta sesuai dengan Alkitab (1Kor. 13:4-7 “sabar, murah hati, sopan, percaya, dsb”). Apa yang tertulis dalam teks ini jauh lebih berharga daripada sekadar kado atau makan malam romantis.

Tentu saja perayaan Valentine tidak menjadi keharusan bagi orang Kristen. Setiap orang bebas untuk merayakan atau mengabaikannya. Apapun pilihannya, yang penting cinta harus diwujudkan kepada sesama di sekitar kita setiap hari. Kita adalah agen kasih sayang dari Tuhan. Kita diberi tugas untuk membagikan kasih sayang itu kepada semua orang. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community