Ketika Tuhan Allah selesai meciptakan manusia dan segala makhluk hidup lainnya di pasal 2 dari kitab Kejadian, Tuhan meletakkan mereka di taman Eden. Selanjutnya pasal 3 dari kitab Kejadian dimulai dengan kalimat ‘Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah’. Apakah maksud pernyataan di atas?
Penulis Kejadian memakai pernyataan tersebut untuk menyoroti tentang dua hal: karakter dan asal-usul ular. Dua keterangan ini diperlukan untuk memahami keseluruhan cerita di Kejadian 3.
Pertama, karakter ular. Ia disebut sebagai binatang yang paling cerdik. Kata “cerdik” memakai bahasa Ibrani ‘Ärûm. Dari bunyi saja terlihat ada permainan kata dengan ‘Ärûmmîm (“telanjang”) di 2:25. Kemiripan bunyi ini secara naratif berguna sebagai transisi yang mulus antara kisah penciptaan dan kejatuhan ke dalam dosa. Ini sekaligus sebagai sebuah ironi: ular yang “cerdik” (‘Ärûm, 3:1) telah memperdaya manusia yang dulunya “telanjang” (‘Ärûmmîm, 2:25) tanpa merasa malu, sehingga sekarang mereka mendapati diri mereka malu ketika telanjang (‘êrummim, 3:7). Dalam PL istilah ‘Ärûm pada dirinya sendiri bersifat netral. Dalam Kitab Amsal orang yang ‘Ärûm adalah orang yang cerdik dan bijaksana dan beberapa kali dikontraskan dengan orang yang bebal atau tidak berpengalaman (12:16, 23; 13:16; 14:8, 15, 18; 22:3; 27:12). Tuhan Yesus bahkan menasihatkan pengikut-Nya untuk menjadi cerdik seperti ular (Mat 10:16). Di sisi lain pemunculan kata ‘Ärûm di Kitab Ayub bermakna negatif (5:12; 15:5). Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kata ‘Ärûm tergolong ambigu. Kata ini tidak seperti kata ḥÄÄ·Äm yang selalu berarti positif (“bijaksana”). Pemilihan kata yang ambigu seperti ini mungkin didasarkan pada dua pertimbangan: (1) permainan bunyi dengan 2:25 dan 3:7; (2) usaha untuk menyeimbangkan antara ular sebagai ciptaan yang baik (1:24-25; 1:31) tetapi bisa dimanfaatkan oleh ular. Jika diperhatikan dengan seksama, pemunculan ular sebagai binatang yang ‘Ärûm juga berkaitan dengan isi godaan yang ia layangkan pada Hawa. Apa yang ditawarkan ular dalam taraf tertentu berhubungan dengan “hikmat” atau pengertian. Ia menggoda Hawa supaya mampu membedakan yang baik dan yang jahat (3:5). Sangat wajar apabila seekor binatang yang cerdik menawarkan “hikmat” tertentu.
Kedua, asal-usul ular. Walaupun ular di Kejadian 3 telah dimanfaatkan iblis sebagai alat, tidak ada petunjuk apapun dalam teks yang mengijinkan kita untuk berpikiran bahwa semua ini terjadi di luar kontrol Allah. Ular tetap disebut sebagai binatang yang diciptakan oleh Allah (3:1; 1:24-25; 2:19-20). Dari sini terlihat bahwa tidak ada konsep dualisme kekal dalam Alkitab sebagaimana kita sering dapati pada konsep kafir kuno. Bagian Alkitab yang lain bahkan menunjukkan bahwa Allah berkuasa atas Lewiatan, ular naga besar di laut (Ay 26:12-13; Mzm 74:13-14; Yes 27:1; 51:9).
Ular mengarahkan godaan kepada perempuan (3:1b “berkata kepada perempuan itu”). Sulit mencari alasan yang pasti mengapa ular membidik Hawa lebih dahulu. Kenyataannya, para ahli bahkan meragukan apakah pada waktu itu Hawa sedang benar-benar sendiri. Beberapa petunjuk dalam teks bisa memberi kesan bahwa ia bersama Adam pada waktu peristiwa ini terjadi. Kata “engkau” di 3:2-5 berbentuk jamak. Hawa sendiri memakai kata ganti orang ke-1 jamak (3:2 “kami boleh makan”). Frase “suaminya yang bersama-sama dengan dia” (3:6) tampaknya juga memperkuat dugaan ini.
Pandangan di atas sulit memastikan hal ini. Bentuk jamak “engkau” dan “kami” mungkin hanya sekadar ungkapan yang lebih enak dipakai karena larangan yang sedang dibicarakan memang pada hakekatnya ditujukan pada Adam dan Hawa, walaupun pertama kali hanya ditujukan pada Adam (2:16-17). Frase “bersama-sama dia” bisa dipahami sebagai petunjuk bahwa mereka sama-sama berada di taman. Ketika Adam diminta pertanggungjawaban oleh Allah, ia menyalahkan isterinya (3:12), bukan ular. Ia mendengarkan perkataan isterinya (3:17), bukan ular.
Bersambung…………