Istilah “Taman Eden” merupakan istilah yang sudah tidak asing bagi banyak orang. Kepopuleran nama ini bukan berarti keberadaannya sudah sangat jelas. Banyak orang tetap memiliki rasa ingin tahu yang besar berkenaan dengan Taman Eden. Kita sering bertanya atau mendengar orang lain bertanya apakah taman ini hanya sekedar mitos atau benar-benar pernah ada di bumi? Seandainya memang pernah ada di bumi, di manakah posisi taman itu dahulu? Mengapa taman itu sekarang tidak lagi ditemukan? Apa yang terjadi dengan taman itu? Apakah taman ini identik dengan istilah “Firdaus”?
Kita mungkin masih bisa memperpanjang deretan pertanyaan lain seputar Taman Eden. Sayangnya, data Alkitab tentang taman ini sangat terbatas dan kita perlu belajar untuk merasa puas dengan apa yang disediakan Alkitab. Kata “Eden” yang merujuk pada tanah atau taman muncul 13 kali dalam Perjanjian Lama. Kitab Kejadian sendiri menggunakan kata “Eden” sebanyak enam kali (Kej 2:8, 10, 15; 3:23-24; 4:16). Pemunculan yang lain hanya memberikan gambaran umum tentang Taman Eden sebagai sebuah tempat yang sangat menyenangkan, subur, selalu dialiri air dan ditumbuhi berbagai pepohonan (Yes 51:3; Yeh. 31:9, 16, 18; 36:35). Taman ini sering diidentikkan dengan “taman Tuhan” (Gen 13:10; Yes. 51:3) atau “taman Allah” (Yeh. 28:13; 31:9). Penggunaan istilah “Eden” sebagai sebuah tempat yang menyenangkan sangat mungkin berhubungan dengan istilah yang sama dalam bahasa Ibrani untuk kata “kesenangan” atau “kemewahan” (dalam bahasa Ibrani, kata eden bisa berarti “kesenangan” atau “kemewahan”, band. 2 Sam 1:24; Yer 51:34, Maz. 36:9).
Taman Eden: apakah hanya sebuah mitos?
Apakah keberadaan Taman Eden hanya sebuah mitos atau simbol saja? Untuk pertanyaan ini kita harus menjawab dengan tegas: “tidak!”. Dari cara Musa memaparkan taman ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ini sungguh-sungguh pernah ada di bumi. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah penjelasan tentang lokasi taman ini: sungai-sungai yang mengalir dari taman itu disebutkan dengan nama dan ciri khas mereka masing-masing (Kej 2:10-14). Penambahan detil ini jelas mengindikasikan posisi yang konkret dari Taman Eden, apalagi dua sungai yang disebutkan memang benar-benar ada di bumi (Efrat dan Tigris, Kej 2:14). Satu hal lain lagi yang turut mendukung keberadaan nyata Taman Eden adalah kisah penghukuman Kain di Kejadian 4:1-16. Ayat 16 menjelaskan bahwa Kain pergi dan menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden. Karena tanah Nod jelas merujuk pada suatu tempat yang konkret (fisik), maka tanah Eden juga pasti merupakan sesuatu yang riil.
Selain alasan di atas, satu hal yang tidak boleh kita abaikan adalah efek nyata dari peristiwa yang terjadi di Taman Eden. Ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dengan memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, pelanggaran ini berdampak besar bagi semua umat manusia. Semua orang turut berdosa di dalam Adam dan mewarisi dosanya (Roma 5:12-21). Seandainya taman ini hanyalah sebuah mitos, maka peristiwa di dalamnya juga sebuah mitos. Sulit dipahami mengapa sebuah mitos bisa memiliki dampak nyata yang sedemikian besar. Paulus juga beberapa kali mengutip peristiwa kejatuhan ke dalam dosa ini sebagai suatu peristiwa historis (2Kor 11:3 “sama seperti Hawa yang diperdayakan oleh ular yang licik itu” dan 1Tim 2:13-14 “lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itu yang tergoda”). Jelas, keberadaan Taman Eden merupakan sesuatu yang konkret dan nyata, sama seperti dampak dari peristiwa kejatuhan yang begitu nyata.
Posisi geografis Taman Eden
Pertanyaan kedua yang perlu kita jawab berhubungan dengan posisi konkret dari Taman Eden. Di manakah letak persis taman ini pada jaman dahulu? Topik ini bukanlah isu yang mudah, karena keterangan Alkitab yang terbatas. Selain itu, bumi yang sudah berumur ribuan tahun pasti telah mengalami berbagai pergeseran dan perubahan geologis. Sebagian daratan yang ada di masa lampau sekarang telah menjadi lautan (ditutupi air). Daratan lain yang dahulu menjadi satu sekarang dipisahkan oleh lautan. Peristiwa alam ini pula yang kemungkinan besar menyebabkan hilangnya dua sungai yang disebutkan di Kejadian 2:11-13. Sekalipun letak secara konkrit masih menjadi bahan perdebatan para ahli, kita tetap merasa perlu menyelidiki Alkitab yang ada, sekalipun data tersebut sangat sedikit dan kurang eksplisit.
Sebelum menyelidiki lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui bahwa Eden dan Taman Eden merupakan dua tempat yang sedikit berbeda. Eden merupakan suatu daerah yang cukup luas, sedangkan Taman Eden adalah suatu taman khusus yang dibuat Allah di daerah Eden. Hal ini terlihat dari cara penggunaan kata Eden di kitab Kejadian. Musa memakai dua frase yang berbeda, yaitu “taman di Eden” (gan-be ‘ēden, 2:8, 10), selanjutnya taman itu disebut “Taman Eden” (gan-‘ēden, 2:15; 3:23-24). Kata “Eden” sendiri (tanpa rujukan tentang taman), muncul di Kejadian 4:16 “ia tinggal di tanah Nod, di sebelah timur Eden”.
Untuk mengetahui posisi persis dari Taman Eden, para ahli biasanya mendasarkan dugaan mereka pada arti kata “Eden” maupun penjelasan geografis di Kejadian 2:10-14. Informasi dari Kejadian 4:16 bahwa daerah Eden terletak di sebelah barat tanah Nod tidak membantu apa-apa, karena keberadaan dan posisi geografis tanah Nod sendiri sampai sekarang sulit ditentukan. Sebagian penafsir bahkan menolak “Nod” sebagai nama suatu tempat. Mereka memilih menerjemahkan be’‘ereș nôd (“tanah Nod”) dengan “tanah pengembaraan”, karena kata kerja nod dalam bahasa Ibrani memang bisa berarti “mengembara”.
Sekarang marilah kita mencoba menyelidiki posisi geografis Taman Eden dari sisi arti katanya. Dari segi etimologisnya (arti kata berdasarkan asal usul kata tersebut), kata ‘Eden’ kemungkinan besar berasal dari bahasa Sumeria-Akkadian edinu yang artinya “tanah datar, padang rumput, padang belantara”, yang sering dihubungkan dengan suatu tanah datar yang terletak antara Tigris dan Efrat di Mesopotamia selatan. Keterangan ini memang belum cukup untuk menentukan posisi konkrit Taman Eden, tetapi paling tidak kita bisa mendapatkan sedikit gambaran bahwa tanah Eden adalah sebuah tanah datar.
Petunjuk berikutnya harus kita cari dari penjelasan di Kejadian 2:10-14. Hal pertama yang dapat kita simpulkan adalah bahwa Taman Eden merupakan dataran tinggi. Darimana dugaan ini berasal? Kejadian 2:10 menjelaskan bahwa ada sungai yang mengaliri Taman Eden. Dari taman ini sungai tersebut selanjutnya terpecah menjadi empat cabang. Gambaran ini menunjukkan bahwa posisi Taman Eden cukup tinggi, sehingga bisa mengalirkan begitu banyak air ke empat sungai yang ada. Jika digabungkan dengan penjelasan sebelumnya, kita bisa menduga bahwa tanah Eden merupakan tanah datar yang subur yang terletak di daerah pegunungan.
Petunjuk yang lebih pasti kita dapatkan dari penyebutan dua sungai di Kejadian 2:14, yaitu Tigris (hiddeqel) dan Efrat (perath), karena kedua sungai ini memang masih ada di daerah Mesopotamia kuno (sekarang perbatasan timur negara Turki modern). Penjelasan tentang Sungai Tigris yang mengalir di sebelah timur Asyur (Kej 2:14) juga turut memberi kepastian bahwa dua sungai ini terletak di daerah Mesopotamia.
Bagaimana dengan dua sungai yang lain? Alkitab menjelaskan bahwa Sungai Gihon mengaliri seluruh tanah Kush. Karena tanah Kush dalam Alkitab sering merujuk pada tanah orang Etiopia yang terletak di sebelah utara dan timur Mesir, maka posisi Sungai Gihon kemungkinan besar terletak di daerah Etiopia (Kej 10:6-8; Est 1:1; 8:9; Yes 11:1; Zef 3:10; ). Jika ini benar, Sungai Gihon kemungkinan besar identik dengan Sungai Nil di Mesir. Dugaan ini bisa saja benar, karena Septuaginta (LXX) menerjemahkan “Nil” di Yeremia 2:18 dengan geon. Apakah terjemahan ini mengindikasikan bahwa orang-orang sebelum abad ke-1 M memahami Sungai Nil identik dengan Sungai Gihon? Mungkin saja, tetapi kita tidak bisa yakin sepenuhnya.
Berkaitan dengan Sungai Pison (Kej 2:11), kita mendapatkan tambahan informasi bahwa sungai ini mengalir di tanah Hawila. Menurut data Alkitab yang lain, Hawila terletak di daerah Arabia. Daerah ini menjadi salah satu batasan dari tempat tinggal keturunan Ismael (Kej 25:18). Saul pernah mengalahkan bangsa Amalek dan menangkap rajanya, yaitu Raja Agag, di daerah ini (1Sam 15:7).
Berdasarkan semua data yang ada di atas, para ahli mencoba menduga posisi persis dari Taman Eden. Salah satu pandangan yang sekarang cukup populer adalah yang menempatkan Taman Eden di dekat Teluk Persia. Berdasarkan posisi geografis bumi sekarang ini, di Teluk Persialah tiga sungai yang telah kita bahas bertemu. Seandainya Sungai Pison adalah Teluk Persia itu sendiri, maka kita akan mendapatkan semua sungai di Kejadian 2:10-14 bertemu jadi satu di daerah ini. Untuk mendukung dugaan ini, ahli yang lain mengutip mitos Mesopotamia kuno yang mengajarkan bahwa tanah Dilmun (Bahrain) di sebelah utara teluk sering disebut sebagai Firdaus, tanah kesuburan dan kekekalan. Di daerah ini telah dikuburkan banyak orang dari daerah-daerah yang lain, dengan harapan mayat-mayat itu bisa mendapatkan kekekalan.
Walaupun pandangan di atas tampak meyakinkan, kita masih belum bisa menerima dengan kepastian yang penuh. Pandangan di atas menggambarkan keempat sungai di Kejadian 2:10-14 mengalir dan bertemu menuju Taman Eden. Gambaran ini tentu saja bertentangan dengan Kejadian 2:10 “ada suatu sungai mengalir dari Eden...dan dari situ sungai itu terbagi menjadi empat cabang”. Karena setiap sungai pasti bermuara ke laut, Taman Eden tampaknya tidak mungkin terletak di dekat teluk, karena awal dari keempat sungai itu ada di Taman Eden.
Apakah Taman Eden memang diciptakan secara unik, di mana semua sungai justru berawal dari taman ini (bukan sebaliknya)? Apakah keunikan ini menggambarkan ide bahwa Taman Eden merupakan sumber kehidupan (orang kuno sering mengidentikkan sungai dengan sumber kehidupan)? Sekali lagi, kita tidak bisa tahu dengan pasti.
Apa yang kita bisa simpulkan dari semua penyelidikan yang rumit di atas? Kita tidak tahu dengan pasti di mana Taman Eden dahulu berada. Sejauh data yang kita miliki dan bisa tafsirkan dengan tingkat kepastian yang cukup besar, kita harus berpuas diri dengan “kepastian” bahwa Taman Eden terletak di daerah Mesopotamia kuno.
Taman Eden: mengapa hilang?
Sekarang, kita akan mencoba menjawab pertanyaan lain tentang alasan menghilangnya Taman Eden. Mengapa taman ini tidak bisa ditemukan lagi? Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Sebagian orang menduga Taman Eden hilang karena diangkat oleh Allah sendiri ke surga. Alasan yang diberikan berhubungan dengan catatan dari kitab Wahyu. Menurut kitab Wahyu, di surga ada sebuah pohon yang bernama pohon kehidupan (Why 2:7; 22:19). Berdasarkan hal ini, mereka menafsirkan bahwa pohon kehidupan di Taman Eden (Kej 2:9; 3:22, 24) telah dipindah ke surga.
Pandangan di atas tampaknya tidak didasarkan pada alasan yang cukup kuat. Kitab Wahyu berjenis sastra apokaliptis. Sebagai tulisan apokaliptis, kitab Wahyu pasti dipenuhi dengan berbagai simbol dan simbol-simbol tersebut tidak boleh ditafsirkan secara hurufiah. Penyebutan pohon kehidupan di kitab Wahyu tidak menunjukkan bahwa pohon itu secara hurufiah ada di surga. Ini hanya dipakai untuk menggambarkan kehidupan kekal (band. Kej 3:22, 24).
Di samping itu, pandangan di atas pasti akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Kapankah Allah mengangkat Taman Eden ke surga? Mengapa Ia harus mengangkat Taman Eden dari bumi ke surga? Bukankah setelah kejatuhan ke dalam dosa Taman Eden tetap ada di bumi (Kej 3:22-24; 4:16)? Bagaimana mungkin Taman Eden yang bersifat materi yang terbatas bisa berada di surga?
Penjelasan yang lebih masuk akal adalah dengan menganggap Taman Eden musnah bersamaan dengan peristiwa air bah di Kejadian 7. Alkitab memang tidak memberikan petunjuk yang jelas ke arah sana, tetapi ini merupakan cara membaca kitab Kejadian yang wajar. Pemusnahan ini mengajarkan kepada manusia tentang betapa mereka semakin berdosa. Ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, mereka diusir dari Taman Eden dan mereka tinggal di daerah timur dari tanah Eden. Hal ini kita ketahui dari Kejadian 2:24 “Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyala beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan”. Selanjutnya, ketika Kain berdosa, Ia dihalau ke daerah yang lebih timur lagi. Kejadian 4:16 “Kain pergi dari hadapan Tuhan dan ia tinggal di daerah Nod, di sebelah timur Eden”. Ini menunjukkan bahwa manusia berdosa semakin jauh dari Taman Eden (secara khusus semakin jauh dari pohon kehidupan yang bisa memberikan kekekalan hidup di bumi). Hal ini akan menjadi semakin menarik apabila kita hubungkan dengan ucapan Tuhan sebelum Ia menurunkan hujan deras ke bumi. Tuhan mengatakan, “"Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja” (Kej 6:3). Perhatikanlah, dosa berhubungan dengan perpendekan usia manusia di bumi (band. Kej 5:1-32 dan 6:3). Bukankah lebih masuk akal untuk melihat penghilangan Taman Eden (pohon kehidupan) pada waktu air bah sebagai tindakan Allah yang ingin menunjukkan kepada manusia bahwa kekekalan hidup di bumi semakin lama semakin mustahil bagi manusia seiring dengan memuncaknya dosa mereka?
Kisah penghukuman air bah di Kejadian 6 – 8 juga memberikan indikasi tersirat yang mengarah ke dugaan di atas. Penghukuman ini seharusnya dipahami sebagai semacam “penciptaan ulang” suatu bumi yang baru. Kejadian 6:13 mencatat “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk...Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi”. Setelah air bah surut, Allah membuat perjanjian bahwa “sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan lagi dengan air bah, dan tidak ada air bah lagi untuk memusnahkan bumi” (Kej 9:11). Karena Taman Eden berada di bumi yang lama (Kej 2:4-9), sangat wajar apabila kita menduga bahwa taman ini juga sirna bersamaan dengan pemusnahan bumi yang lama.
Antara Taman Eden dan Taman Firdaus
Pertanyaan lain yang sering memancing rasa ingin tahu kita berkaitan dengan hubungan antara Taman Eden dan Taman Firdaus. Apakah keduanya berbeda atau sama?
Kata “Firdaus” (bahasa Inggris paradise) tidak muncul di Perjanjian Lama. Kata paradeisos sendiri berasal dari bahasa Persia kuno yang berarti “taman”. Kata ini hanya muncul tiga kali di Perjanjian Baru (Luk 23:43; 2Kor 12:4; Why 2:7). Dalam terjemahan LXX, kata paradeisos beberapa kali muncul untuk menerjemahkan kata Ibrani gan (“taman”), misalnya “Taman Eden” di Kejadian 3:23 diterjemahkan paradeisos ths trufhs (“taman kesenangan”).
Dalam perkembangan selanjutnya, kata paradeisos sering dipakai secara figuratif dalam konteks eskhatologis (berhubungan dengan akhir jaman atau kekekalan). Kata ini muncul di Yesaya 51:3, Yehezkiel 28:13 dan 31:8 sebagai rujukan pada situasi baru ketika Tuhan memulihkan Sion. Dalam tulisan-tulisan Yahudi, paradeisos dipakai untuk tempat tinggal sementara dari orang-orang kudus yang telah meninggal. Penggunaan paradeisos dalam konteks eskhatologis ini selanjutnya juga muncul di Perjanjian Baru (Luk 23:43; 2Kor 12:4; Why 2:7), walaupun konsep yang diajarkan sedikit berbeda dengan ajaran Yahudi tentang paradeisos.
Penyamaan Taman Firdaus dengan Taman Eden mungkin didasarkan pada pemunculan kata paradeisos di Wahyu 2:7. Beberapa versi memang menerjemahkan paradeisos qeou di ayat ini dengan “Taman Firdaus Allah” (LAI:TB) atau “Firdaus Allah” (ASV, NASB, BBE). Terjemahan ini sebenarnya merupakan tafsiran penerjemah terhadap kata paradeisos. Secara hurufiah, paradeisos qeou seharusnya diterjemahkan “taman Allah”, bukan “[Taman] Firdaus Allah”, karena paradeisos memang berarti “taman”. Selain itu, frase paradeisos qeou juga muncul di LXX dengan arti “taman Allah” (Gen 13:10; Yeh. 28:13; 31:9).
Apa yang dapat kita simpulkan dari penyelidikan kata paradeisos ini? Pertama, kata ini sebenarnya hanya berarti “taman” dan bisa dipakai untuk taman apa saja. Kedua, Taman Eden seringkali disebut dengan istilah paradeisos qeou (“taman Allah”) untuk menggambarkan suatu tempat yang begitu indah yang disediakan Allah, sehingga kata paradeisos (tanpa qeou) selalu diidentikkan dengan Taman Eden. Ketiga, kata paradeisos selanjutnya dipakai dalam konteks eskhatologis yang merujuk pada tempat tinggal sementara orang-orang benar yang sudah meninggal atau surga itu sendiri.