Sumpah Yefta (Hak 11:30-31) (Bagian 1)

Posted on 05/07/2020 | In Do You Know ? | Leave a comment

  1. Teks tidak mengindikasikan bahwa Yefta benar-benar melakukannya. Pandangan ini hanya merupakan inferensi dari sumpah Yefta di ayat 31 : “maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran." Mengingat Tuhan menginginkan persembahan yang hidup (Roma 12:1), sangat mungkin teks ini hanya menyatakan bahwa anak perempuan Yefta menyerahkan seluruh hidupnya di bait Allah dan tetap perawan (tidak menikah). Menurut konteks pada waktu itu, mempersembahkan diri sebagai hamba Tuhan dengan tidak menikah sudah merupakan persembahan yang luar biasa. Dengan melakukan hal ini, anak perempuan Yefta tidak pernah merasakan pernikahan dan menjadi ibu – sesuatu yang justru sangat diimpikan oleh wanita-wanita Israel (band. posisi kultural seorang istri yang tidak memiliki keturunan). Mahalnya harga pelayanan ini menjadi semakin jelas, karena anak perempuan tersebut adalah anak tunggal Yefta (ay. 34). Pelaksanaan sumpah tersebut berarti Yefta akan kehilangan garis keturunannya. Hal ini pasti bukan sesuatu yang mudah bagi Yefta.
  2. Ketika anak perempuan Yefta meminta dua bulan untuk menyendiri, teks tidak menyatakan bahwa ia menangisi kematiannya. Sebaliknya, teks secara eksplisit menyatakan bahwa ia menangisi keperawanannya (ay. 37). Seandainya ia memang benar-benar akan menghadapi kematian, ia tidak perlu menangisi kegadisannya, karena ia bisa saja menikah dalam periode dua bulan tersebut. Suasana kematian tidak nampak mencolok dalam kisah itu, sebaliknya gambaran tentang perkawinan dan keperawanan nampak jelas.
  • Lagi katanya kepada ayahnya: "Hanya izinkanlah aku melakukan hal ini: berilah keluasan kepadaku dua bulan lamanya, supaya aku pergi mengembara ke pegunungan dan menangisi kegadisanku bersama-sama dengan teman-temanku (ay. 37)
  • Jawab Yefta: "Pergilah," dan ia membiarkan dia per gi dua bulan lamanya. Maka pergilah gadis itu bersama-sama dengan teman-temannya menangisi kegadisannya di pegunungan (ay. 38)
  • Setelah lewat kedua bulan itu, kembalilah ia kepada ayahnya, dan ayahnya melakukan kepadanya apa yang telah dinazarkannya itu; jadi gadis itu tidak pernah kenal laki-laki. Dan telah menjadi adat di Israel (ay. 39)
  1. Ucapan sumpah Yefta yang berbunyi sebagai berikut ‘maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan (we’) aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran’,  memiliki partikel we’ di antara kata ‘itu akan menjadi kepunyaan TUHAN’ dan ‘aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran’. Partikel we’ selain diterjemahkan ‘dan’, bisa diterjemahkan juga dengan ‘atau’. Dengan dua kemungkinan terjemahan itu, maka konsekuensi sumpah Yefta bisa berarti:
  • Yefta akan menjadikan orang yang menyambutnya pertama kali sebagai kepunyaan TUhan DAN dia akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran
  • Yefta memiliki pilihan kepada orang yang menyambutnya pertama kali, entah dia akan menjadikannya sebagai kepunyaan Tuhan ATAU ia akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran

Dengan penafsiran ini, maka Yefta memilih menjadikan anak perempuannya sebagai kepunyaan Tuhan, bukan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.

  1. Dikatakan dalam ayat 39 bahwa setelah Yefta melakukan sumpahnya “ia tidak pernah mengenal laki-laki”. Pernyataan ini tidak akan relevan jika saat itu anak perempuan Yefta sudah mati. Pernyataan ini lebih relevan jika dikaitkan dengan statusnya sebagai pelayan TUHAN di bait Allah (contoh perempuan yang melayani di bait Allah seumur hidupnya dapat dilihat di Kel 38:8; 1 Sam 2:22).

Bersambung…………

Nike Pamela