Salah satu isi janji atau nazar yang cukup menarik yang dicatat dalam Alkitab adalah nazar Hana, seorang perempuan yang ditutup kandungannya oleh Tuhan (1 Sam. 1:5-6). Hana yang sangat ingin memiliki anak, pernah bernazar kepada Tuhan sebagai berikut:
"TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya" (1 Sam 1:11)
Jika nazarnya berisi janji akan mempersembahkan anaknya kepada Tuhan, maka isi nazar Hana bisa dipahami. Anak itu akan menjadi bentuk ucapan syukur Hana sehingga wajar jika Hana memberikan balik anak itu untuk melayani Tuhan. Namun nazarnya yang mengatakan bahwa anak yang akan lahir tersebut tidak akan tersentuh oleh pisau cukur, hal ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan. Apa hubungan nazar tersebut dengan pisau cukur?
Dalam Alkitab, ada catatan tentang nazar dan pisau cukur. Dalam Bil 6:5 dikatakan:
Selama waktu nazarnya sebagai orang nazir janganlah pisau cukur lalu di kepalanya; sampai genap waktunya ia mengkhususkan dirinya bagi TUHAN, haruslah ia tetap kudus dan membiarkan rambutnya tumbuh panjang.
Memang, persyaratan pembuatan nazar tidak hanya tentang rambut, tetapi ada beberapa hal lainnya, misalnya menjauhkan diri dari anggur dan minuman memabukkan, dilarang minum cuka anggur atau cuka memabukkan, dilarang minum sesuatu yang berasal dari buah anggur dan lain-lain (Bil 6:3-4) atau dilarang dekat dengan mayat (ay. 6). Namun kali ini DYK tidak membahas tentang persyaratan pembuatan nazar, namun mengapa ada hubungan antara pembuatan nazar dan rambut. Mengapa melakukan nazar selalu diidentikkan dengan tidak boleh atau malah diwajibkan untuk memotong rambut? Bahkan jika seseorang gagal menjalankan nazarnya, salah satu hal yang harus dilakukan adalah memotong rambutnya (BIl. 6:9 dst). Paulus mencukur rambutnya karena dia telah bernazar (Kisah 18:18).
Alkitab tidak memberi penjelasan tentang hubungan antara mencukur atau justru mempertahankan rambut dengan pembuatan nazar. Hal ini mungkin disebabkan karena sudah ada asumsi bahwa hal itu sesuatu yang sudah umum diketahui oleh orang yang hidup di era itu. Namun bagi orang modern, hal itu cukup sulit dipahami. Oleh karena itu diperlukan catatan-catatan lain di luar Alkitab yang mungkin memberika gambaran tentang budaya rambut dan nazar.
Dalam tulisan kuno bangsa Fenisia dari abad ke-9 SM, ditemukan catatan tentang pendedikasian rambut seseorang yang telah dicukur sebagai lambang penggenapan dari nazar yang dibuatnya untuk dewi Astarte. Bagi seorang laki-laki, rambut menyimbolkan tanda kelaki-lakian atau kejantanan (bdg. 2 Sam 10:4) sedangkan bagi perempuan, rambut melambangkan kecantikan mereka. Kode Hammurabi (catatan kuno orang Babel tentang hukum-hukum Mesopotamia kuno, sekitar 1750-an SM) menghukum para saksi palsu dengan cara memotong separuh rambut para saksi palsu itu. Hukum orang Asyur mengijinkan seorang tuan dari budak yang memiliki hutang untuk menarik rambut budaknya sebagai bentuk penghukuman (bdg. Neh. 13:25). Intinya, kedua hukum milik bangsa Babel maupun Asyur kuno menekankan bahwa malu itu berhubungan dengan hilangnya atau tidak adanya rambut. Dalam pemikiran orang kuno, rambut (bersamaan dengan darah) merupakan perwakilan gambaran esensi kehidupan seseorang. Tidak heran, dunia sihir yang sudah ada sejak lampau, seringkali memakai rambut sebagai sarana untuk menjalankan ritual sihirnya. Kebiasaan lain di Mari, sebuah kota di tengah daerah sungai Efrat, menyebutkan adanya kebiasaan: jika seorang nabi ingin membuktikan keabsahan ucapannya dan kredibilitas dirinya adalah dengan menyerahkan sebagian dari jubahnya dan seikat bagian rambutnya yang biasanya diserahkan kepada raja Mari.
Intinya adalah, rambut menjadi salah satu jaminan bahwa apa yang dinazarkan adalah sesuatu yang akan digenapi dengan pertaruhan adalah hidupnya itu sendiri.