Kisah tentang 3 orang Yahudi yang menolak untuk menyembah patung raja Nebukadnezar, dan sebaliknya memilih untuk tetap menyembah Allah Israel sehingga akhirnya mereka dihukum dengan cara dibuang ke dalam perapian yang menyala-nyala, merupakan kisah heroik yang terus berdengung sepanjang jaman. Ketaatan mereka untuk tetap menyembah Allah di tengah ancaman hukuman yang sedemikian mengerikan, menjadi tema inti yang mendominasi kisah ini.
Kisah ini berawal dari raja Nebukadnezar yang membuar patung yang sangat tinggi, 6o hasta panjangnya dan 6 hasta lebarnya (panjang sekitar 27 m dan lebarnya sekitar 2,7 m). Semua orang di kerajaan Babel diwajibkan untuk sujud menyembah patung itu; jika tidak akan dilemparkan ke perapian yang menyala-nyala). Hanya 3 orang Yahudi (Sadrakh, Mesakh dan Abednego) yang tidak mau menyembah patung yang didirikan raja Nebukadnezar. Hal ini diketahui oleh para bawahan raja Nebukadnezar dan mereka melaporkan 3 orang itu kepada raja. Akhirnya 3 orang Yahudi itu memang benar-benar dilemparkan ke perapian itu namun mereka bukanlah mati hanus terbakar, justru mereka hidup segar bugar. Dan akhirnya raja Nebukadnezar justru mempermuliakan 3 orang Yahudi itu.
Tetapi pernahkan kita pikirkan, sebenarnya untuk apakah dibuat perapian yang menyala-nyala di tengah kota Babel? Apakah perapian ini memang dikhususkan untuk tempat penghukuman orang-orang yang dianggap kriminal di era itu?
Kata ‘perapian yang menyala-nyala’ muncul sebanyak 8 kali di Daniel 3 (ay. 6, 11, 13, 17, 20, 21, 23, 26). Dalama bahasa Aramnya kata yang dipakai untuk ‘perapian yang menyala-nayala menggunakan kata ’aTTûn nura’ yaqidta’. Kata ’aTTûn ‘perapian’ muncul 10 kali di Daniel 3 dan memang kata ’aTTûn ‘perapian’ tidak pernah muncul di bagian lain Alkitab kecuali di Daniel 3 (semacam hapax legomena). Kata ’aTTûn ini kemungkinan barasal dari bahasa Akadia utünu, yang merujuk pada sebuah oven atau pemanggangan untuk membakar batubata atau melebur besi ataupun membuat kapur. Perapian itu ukurannya juga cukup besar sehingga 3 (atau 4) orang terlihat berjalan-jalan di dalamnya (ay. 25). Perapian ini memiliki pintu dari arah atas perapian karena Sadrakh, Mesakh dan Abednego juga dimasukkan dari arah atas (ay. 22-23). Namun kemungkinan ada pintu lain karena raja tidak mungkin juga melihat 3 orang itu dari arah atas (ingat orang-orang yang mengangkat Sadrakh, Mesakh and Abednego justru terbakar terlalap api ketika mereka hendak mengangkat dan memasukkan 3 orang itu ke perapian). Kemungkinan ada pintu samping (tempat para pekerja membersihkan abu perapian) tempat raja bisa melihat 3 orang itu.
Catatan tentang bentuk penghukuman dengan dilempar ke perapian, memang bukan sesuatu yang sangat sering dilakukan di Mesopotamia Kuno. Catatan paling lengkap tentang pelaksanaan hukuman dengan perapian banyak didapatkan dalam catatan orang Mesir Kuno; sedangkan catatan Babel kuno sangatlah sedikit. Sebuah surat Babel Kuno mencatat seorang raja (Rîm-Sîn) yang memerintahkan seorang pembunuh dilemparkan ke tenpat pembakaran batubata (utünu) karena pembunuh itu telah membunuh korbannya dengan cara dilemparkan ke sebuah pemangganan (tinüru). Bagi orang Mesopotamia, hukuman pembakaran (dengan atau tanpa perapian) seringkali dilakukan untuk kejahatan melawan hirarki lebih tinggi (raja atau dewa). Raja Nabonidus yang sangat menyembah dewa Bulan pernah mengeluarkan perintah, “If you do not worship this new horrifying image of Sîn, the king will roast you in an oven.“ Namun bagi orang Mesir Kuno, hukuman pembakaran dapat dilakukan untuk berbagai kejahatan (penistaan, pembunuhan, persekongkolan untuk membunuh serta perzinahan) namun lebih ditekankan untuk pemberontakan atau pengkhianatan.
Dengan membandingkan sedikitnya catatan yang ditemukan (kemungkinan ada yang tidak berhasil ditemukan) tentang bentuk penghukuman di perapian pada era orang Babel Kuno, kecuali untuk orang-orang yang membangkang terhadap hirarki lebih tinggi, ada kemungkinan lain yaitu bahwa perapian itu adalah perapian yang dipergunakan untuk membuat besi yang dipakai untuk patung emas yang dibuat raja Nebukadnezar. Hal ini dapat menjelaskan hubungan perapian yang cukup besar dengan ukuran patung emas itu yang juga sangat besar. Jadi mungkin bentuk penghukuman dengan dilempar ke perapian yang menyala-nyala merupakan bentuk ironi terhadap penolakan untuk menyembah patung yang dibuat di perapian yang sama.