Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati (Kejadian 2:17)

Posted on 27/11/2016 | In Do You Know ? | Leave a comment

Kejadian 2:17 jelas menyatakan bahwa hukuman atas dosa Adam adalah kematian yang sifatnya segera (band. “pada hari engkau memakannya”). Apabila kita membandingkan ayat ini dengan peristiwa kejatuhan ke dalam dosa di Kejadian 3, Adam ternyata tidak langsung mati. Ia masih hidup sampai berumur 930 tahun (Kej 5:5). Apakah Allah di pasal 2:17 hanya sekedar menggertak Adam saja supaya ia taat, padahal Ia tidak sungguh-sungguh bermaksud untuk menghukum Adam dengan kematian? Apakah perkataan Iblis di Kejadian 3:4 lebih jujur daripada ucapan Allah di ayat ini? Bagaimana kita menjelaskan kesulitan di atas?

Para sarjana telah berusaha memberikan solusi yang aman untuk mengharmonisasikan pertentangan di atas. Sebagian mengaitkan hukuman ini dengan anugerah Allah yang menjadi tema sentral dalam Kejadian 1-11. Sebelas pasal pertama dari kitab Kejadian ini memang menunjukkan penekanan pada konsep anugerah, misalnya belas kasihan terhadap Kain yang bersalah (4:13-14), pemberian Set sebagai pengganti Habel, orang yang benar itu (4:25-26). Dari kacamata ini, Adam dan Hawa sebenarnya memang layak untuk dihukum mati, tetapi Allah tidak melakukan hal itu, karena Ia masih berbelas kasihan kepada mereka.

Hampir sama dengan solusi di atas, sarjana lain mencoba membandingkan frase “pastilah engkau mati” (mot tamut) di ayat ini dengan yang muncul di teks-teks Perjanjian Lama yang lain. Dari studi ini ditarik kesimpulan bahwa frase mot tamut kadangkala dipakai untuk peringatan hukuman yang tidak jadi dilaksanakan, misalnya Yeremia 26:8 dan 1Raja 14:44. Khusus untuk teks yang terakhir ini, hukuman tidak jadi dilaksanakan karena adanya anugerah. Dalam beberapa kasus yang lain, pertobatan menjadi alasan mengapa hukuman tidak jadi dilaksanakan, misalnya Yehezkiel 3:18, 33:8 dan 33:14. Jika dihubungkan dengan Kejadian 2:17, peringatan mot tamut tidak jadi dilaksanakan oleh Tuhan karena anugerah-Nya atas manusia atau karena pertobatan mereka.

Walaupun dua solusi di atas mendukung keharmonisan Alkitab, namun kita sebaiknya menolak usulan tersebut. Kejadian 1-11 memang mengajarkan tentang konsep anugerah, tetapi bukan dalam arti penghapusan hukuman. Kitab Kejadian bahkan mencatat pelaksanaan sebuah ancaman hukuman yang mengerikan, yaitu air bah yang membinasakan semua generasi Nuh (Kej 7:1-24). Apakah ada kemungkinan Adam dan Hawa diampuni karena mereka bertobat? Kejadian 3:12-13 menjelaskan hal sebaliknya. Mereka bahkan menyalahkan Allah atas apa yang terjadi. Ketika Adam dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, ia menyalahkan Allah dan sekaligus Hawa melalui ungkapan “perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberikannya” (Kej 3:12. Ungkapan ini jelas menunjukkan kalau Adam justru menyalahkan Allah yang telah memberi dia seorang pendamping (band. Kej 2:18). 

Bagaimana kita sebaiknya memahami ancaman hukuman Allah di Kejadian 2:17? Teks ini bisa dijelaskan dengan mudah apabila kita memahami arti “pada hari” (beyom) dan “mati” di teks ini. Kata “pada hari...” juga muncul di 1Raja 2:37-46. Dalam ayat ini Shimei diperingatkan bahwa ia akan mati pada hari ia melewati sungai Kidron (ayat 37), ternyata ia memang dihukum mati, tetapi beberapa waktu setelah ia melewati sungai Kidron (ayat 42-46). Frase yang sama juga dipakai di Keluaran 10:28 “jangan lihat mukaku lagi, karena pada hari engkau melihat mukaku, engkau akan mati”. Dari dua teks tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa frase “pada hari...” (beyom) hanya menegaskan kepastian atau keseriusan hukuman. Frase ini tidak menyatakan waktu yang spesifik (tertentu) dari pelaksanaan hukuman.

Ide tentang kepastian ini juga didukung oleh struktur kalimat Ibrani dari Kejadian 2:17. Kata dasar mut, artinya “mati”, muncul dua kali dalam bentuk frase mut tamut. Mayoritas terjemahan menerjemahkan frase mut tamut dengan “pastilah engkau mati”. Secara hurufiah, Kejadian 2:17 seharusnya diterjemahkan “pada hari engkau memakan darinya, mati engkau akan mati”. Jadi, ancaman Allah bahwa mereka akan mati pada hari mereka memakan buah itu hanya menegaskan kepastian/keseriusan dan kesungguhan dari apa yang diucapkan tersebut.

Lalu bagaimana kita memahami kematian yang disinggung di Kejadian 2:17? Apakah kematian ini bersifat fisik atau rohani? Berdasarkan konteks yang ada, kita pertama-tama harus memikirkan kematian di sini secara fisik. Salah satu hukuman yang diberikan setelah manusia berdosa adalah mereka harus kembali ke tanah. Kejadian 3:19 “sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu”. Ungkapan ini jelas merujuk pada kematian secara fisik. Hal ini juga didukung oleh alasan mengapa setelah kejatuhan ke dalam dosa mereka diusir dari Taman Eden. Kejadian 3:22 menjelaskan bahwa pengusiran ini dilakukan supaya mereka tidak mengambil buah kehidupan sehingga mereka akan bersifat kekal (tidak bisa mati secara fisik). Tidak heran, Allah juga menjaga jalan masuk kembali ke Taman Eden (Kej 3:24).

Kematian secara fisik di atas juga didukung oleh bagian Perjanjian Lama yang lain yang menghubungkan hukuman dosa dengan kehidupan manusia yang semakin singkat. Misalnya, setelah Allah melihat keberdosaan generasi Nuh, Ia berkata “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja” (Kej 6:3; bandingkan dengan umur manusia sebelumnya di Kejadian 5 yang sangat lama). Contoh lain terdapat dalam mazmur Musa. Ketika ia membahas tentang keberdosaan bangsa Israel di padang gurun, ia mengatakan, “masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mzm 90:10). Pernyataan Musa ini menunjukkan bahwa rata-rata usia manusia semakin pendek, dan itu dikaitkan dengan keberdosaan manusia.

Apakah kematian di atas juga bisa secara rohani? Berdasarkan wahyu Allah yang lebih lengkap di kemudian hari, peristiwa kejatuhan Adam ke dalam dosa memang bisa dihubungkan dengan kematian secara rohani. Teks yang paling jelas membahas hal ini adalah Roma 5:12-21. Ayat 12 menjelaskan “sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa”. Pemahaman terhadap konsep ini pula yang mendasari kebiasaan Paulus dalam menggambarkan keadaan manusia di luar Kristus, yaitu dengan menggunakan istilah “mati dalam dosa” (Rom 6:2; Ef 2:1-3).

Walaupun kematian rohani bukanlah hal utama yang ditekankan di Kejadian 2:17 maupun 3:17-19, namun bukan berarti hal itu tidak mendapat dukungan dari konteks kitab Kejadian secara keseluruhan. Kita memiliki beberapa bukti tentang kematian secara rohani ini. Keberdosaan Kain dan keturunannya (Kej 4:1-24), generasi Nuh (Kej 6:1-6) maupun generasi menara Babel (Kej 11:1-9) menunjukkan betapa manusia telah dikuasai oleh dosa. Kejadian 6:5 bahkan secara khusus mengajarkan bahwa segala kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata.

 

NK_P

Nike Pamela