Meletakkan dan Melahirkan Anak di Pangkuan

Posted on 19/02/2017 | In Do You Know ? | Leave a comment

Teks yang mendasari pemakaian frase ‘meletakkan anak di pangkuan adalah Rut 4:16, “Dan Naomi mengambil anak itu serta meletakkannya pada pangkuannya dan dialah yang mengasuhnya.” Mungkin jika kita sepintas membaca kalimat ini, tidak ada sesuatu yang menarik dengan pemakaian frase ‘meletakkan seorang anak di pangkuan’. Kita mungkin berpikir bahwa tindakan ‘meletakkan anak di pangkuan’ hanyalah ekspresi kegirangan atas kelahiran seorang bayi baru. Namun setidaknya ada 2 ayat pembanding pemakaian frase serupa:

“Ini Bilha, budakku perempuan, hampirilah dia, supaya ia melahirkan anak di pangkuanku, dan supaya oleh dia akupun mempunyai keturunan.” (Kej. 30:3)

Jadi Yusuf sempat melihat anak cucu Efraim sampai keturunan yang ketiga; juga anak-anak Makhir, anak Manasye, lahir di pangkuan Yusuf. (Kej. 50:23)

Perbedaan penggunaan frase tersebut terletak pada kata ‘meletakkan’ dan ‘melahirkan’, namun kesamaannya terletak pada penggunaan kata ‘di pangkuan’. Pula, ada ide implisit tentang adanya bayi yang baru lahir.  Jadi, apa yang dimaksud dengan ekspresi ‘meletakkan ataupun melahirkan anak di pangkuan seseorang’?

Sebenarnya ada perbedaan kata Ibrani untuk kata yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘pangkuan’. Dalam Kej. 30:3 dan 50:23, istilah ‘lahir di pangkuan’ memakai kata ‘born on the knees’ (literal : lahir di lutut); sedangkan dalam Rut 4:16 , istilah ‘meletakkan di pangkuan’ memakai kata ‘put in the bosom’ (literal: meletakkan di dada).

Meletakkan di Pangkuan

Kata  yang dalam LAI diterjemahkan dengan ‘pangkuan’ (heq), seperti yang dijelaskan di atas, dalam bahasa Ibrani berarti di ‘dada’. Secara umum tindakan ‘meletakkan seorang bayi yang baru lahir di dada’ (Rut 4:16) mengimplikasikan 3 kemungkinan kondisi yang dihadapi Naomi. Pertama, ‘meletakkan seorang bayi yang baru lahir di dada’ menggambarkan sebuah bentuk keintiman dan hubungan yang dekat. Keintiman atau kedekatan itu berlaku dalam hal ketika seorang ibu menidurkan bayinya (1 Raja 3:20), ketika seorang ibu mengira anaknya telah mati (1 Raja 17:19) ataupun kedekatan secara seksual (Kej. 16:5; 1 Raja 1:2). Kedua, ‘meletakkan seorang bayi yang baru lahir di dada’ menunjukkan respon seseorang terhadap berkat Tuhan. Merupakan sebuah pemahaman umum dalam Perjanjian Lama bahwa kelahiran seorang bayi adalan bentuk konfirmasi dari berkat Allah. Adanya kemandulan seorang wanita, resiko kematian seorang ibu pada saat seorang bayi lahir, hanya merupakan sebagian dari gambaran bahwa ketika seorang bayi lahir, berkat Allah juga diperkenankan. Ketiga, ‘meletakkan seorang bayi yang baru lahir di dada’ merupakan lambang simbolis menjadi seorang ibu melalui perempuan lain (adopsi). Isu adopsi anak melalu perempuan lain bukanlah isue yang asing di dalam kisah Alkitab, utamanya di kitab Kejadian.  Sara memberikan Hagar, budaknya untuk tidur dengan suaminya dan memiliki keturunan yang kelak secara hukum saat itu, anak yang lahir menjadi anak Sara, bukan anak Hagar. Dan itu jugalah yang terjadi pada kakak beradik, Lea dan Rahel, yang memberikan budak-budak mereka untuk tidur dengan Yakub, suami mereka, untuk memperoleh keturunan. Dan inilah yang diperkirakan juga terjadi pada Naomi dan Rut; apalagi dalam Rut 4:17 dikatakan, “…pada Naomi telah lahir seorang anak laki-laki…”.  Memang tidak dijelaskan secara langsung apakah proses adopsi terjadi secara otomatis, namun pada bagian akhir kisah dalam Rut pasal 4,  tokoh Rut hilang perlahan-lahan setelah melahirkan anaknya, namun peran tokoh Naomi kembali muncul dan memegang peranan penting terhadap anak bayi yang baru lahir tersebut.

Melahirkan di Pangkuan

Frase ‘melahirkan di pangkuan’ mungkin terasa aneh terdengar di telinga. Terlepas dari keasingan istilah yang didengar, akan lebih aneh jika mengetahui istilah aslinya dalam bahasa Ibrani ‘born on the knees’, lahir di lutut. Ada setidaknya dua penjelasan yang melatarbelakangi pemakaian frase ini.

Pertama, ada indikasi bahwa cara wanita Israel kuno dulu melahirkan seorang bayi melibatkan ‘lutut’ orang lain. Ada beberapa kemungkinan posisi seorang wanita yang akan melahirkan; dia bisa berjongkok ataupun membungkuk. Biasanya orang lain yang membantu proses kelahiran, dalam hal ini bidan, duduk di depan berhadapan muka dengan muka dengan posisi wanita yang entah berjongkok atau membungkuk, dengan kaki dan lutut yang bersiap menerima bayi yang akan segera keluar. Ada juga yang mempergunakan alat tertentu yang disebut dengan ovnayim (Lit : 2 batu). Keluaran 1:16 menyebutkan kemunculan alat ini walaupun LAI tidak menyebutkannya:

Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu anak itu lahir: jika anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia hidup."

Beberapa terjemahan bahasa Inggris menerjemahkannya dengan ‘…..see them upon the birthstool.’ Ovnayim ini berbentuk semacam bangku dengan lubang di tengahnya dimana wanita yang akan melahirkan duduk di lubang tersebut. Sementara itu bidan merentangkan lututnya untuk menerima bayi yang akan keluar. Tidak heran para bidan seringkali dijuluki ‘wanita ovnayim’. Apapun cara melahirkan, entah sang wanita mempergunakan ovnayim atau pun hanya sekedar membungkuk atau berjongkok, ada keterlibatan lutut orang lain yang membantu persalinan bayi. Ayub 3: 12 menyatakan,

Mengapa pangkuan (lutut; berek) menerima aku; mengapa ada buah dada,

sehingga aku dapat menyusu?

Bagian dari keluhan Ayub ini mengindikasikan bahwa ‘lutut’ adalah benda pertama yang ‘menyambut’ bayi yang baru lahir.

Kedua, penggunaan frase ‘born on the knees’ merupakan gambaran simbolis tentang upacara formal pengangkatan seorang anak oleh orang tua lain. Ada berbagai perbedaan penafsiran tentang makna frase ini, ada yang menolak menafsirkan  frase ‘born on the knees’ sebagai frase untuk menyatakan adopsi terhadap seorang anak. Namun tidak banyak yang menolak penafsiran tersebut. Dalam legenda orang Yunani, Hercules diadopsi oleh Hera, istri ayahnya, dewa Zeus. Hera berbaring di atas tempat tidurnya dan berpura-pura hendak melahirkan anak, sedangkan Hercules (yang sebenarnya telah dewasa) muncul dari antara lutut Hera. Setidaknya ide yang menghubungan adopsi dengan lutut telah menjadi legenda yang menghiasi kisah banyak bangsa.

Hal ini akan cocok diterapkan pada kasus Rahel dan Yusuf. Rahel adalah wanita mandul (Kej. 29:31). Dalam budaya hukum orang-orang saat itu, ketika seorang wanita kedapatan mandul, maka dia berhak memberikan budak wanitanya tidur dengan suaminya. Anak yang lahir dari budak wanita dan suaminya itu diangkat anak menjadi anak dari wanita yang mandul tersebut. Begitulah yang terjadi dalam kisah Sarah, Lea dan Rahel. Ketika Rahel kedapatan mandul, dia berkata kepada Yakub suaminya, “Ini Bilha, budakku perempuan, hampirilah dia, supaya ia melahirkan anak di pangkuanku, dan supaya oleh dia akupun mempunyai keturunan” (Kej. 30:3). Ketika Rahel mengatakan ‘supaya ia melahirkan anak di pangkuanku’, secara tersirat dapat dibayangkan bahwa ketika Bilha sedang berusaha melahirkan anaknya, maka Rahel meletakkan lututnya di bawah untuk menunggu bayi yang akan keluar dari rahim Bilha. Tindakan Rahel ini dipahami sebagai upacara resmi pengangkatan seorang anak darirahim Bilha, budaknya. Namun bagaimanakah hal itu berlaku pada kasus Yusuf? Di Mesopotamia kuno frase ‘lahir di pangkuan’ (born on the knees) tidak hanya berlaku secara literal, tetapi juga menjadi semacam idiom yang berlaku di era itu untuk merujuk pada istilah mengadopsi anak orang lain. Ketika dikatakan, “Jadi Yusuf sempat melihat anak cucu Efraim sampai keturunan yang ketiga; juga anak-anak Makhir, anak Manasye, lahir di pangkuan Yusuf” (Kej. 50:23), hal ini berarti Yusuf  mengangkat cucunya, anak Manasye, anak Makhir menjadi anak angkatnya. Mengapa anak Makhir yang mendapat perlakuan istimewa dari Yusuf? Nama Makhir artinya ‘yang dijual’, mengingatkan Yusuf akan peristiwa yang pernah dialami, ketika dia dijual oleh saudara-saudaranya (Kej. 37:28; 45:5)

NK_P

Nike Pamela