Mandat budaya (Kejadian 1:28)

Posted on 01/01/2017 | In Do You Know ? | Ditulis oleh Ev. Nike Pamela | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/Mandat-budaya-Kejadian-1-28.jpg Mandat budaya (Kejadian 1:28)

Dari kacamata sejarah ilmu pengetahuan, Kejadian 1:28, yang sering disebut sebagai mandat budaya, telah memainkan peranan yang sangat penting. Ayat inilah yang membuat orang Kristen memiliki pandangan yang unik tentang alam dan akhirnya turut berperan besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa kuno, khususnya dalam budaya Timur, menganggap alam sebagai sesuatu yang keramat dan patut dihormati. Tidak jarang mereka menjadikan alam sebagai objek penyembahan, misalnya dewa matahari, dewa bulan, dewa guruh, dewa kilat, dll. Di sisi lain, bangsa Yunani cenderung melihat alam (materi) sebagai sesuatu yang jahat dan harus dihindari. Dua kutub pemikiran ini tentu saja tidak akan pernah mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Cara pandang Alkitab yang seimbang tentang alam telah mengubah keingintahuan manusia tentang alam, dengan demikian telah memajukan ilmu pengetahuan.

 Dalam jaman modern, sebagian orang justru menganggap bahwa Kejadian 1:28 telah turut memberikan dampak negatif terhadap perlindungan alam. Ayat ini dianggap memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengeksploitasi alam. Ketidakseimbangan ekologi yang terjadi dianggap bersumber dari cara pikir di ayat ini. Kejadian 1:28 dianggap sebagai bentuk kesombongan manusia yang melangkah terlalu jauh dari animisme primitf, yaitu kepercayaan bahwa di setiap benda alam terdapat roh yang harus dihormati. Benarkah ayat ini memberikan ijin bagi eksploitasi alam?

Hal pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa pemberian mandat budaya kepada manusia di Kejadian 1:28 tidak berarti pengalihan kepemilikan atas alam semesta dari Allah kepada manusia. Seluruh bumi tetap menjadi milik Allah (Mzm 24:1), juga binatang-binatang liar di padang dan di gunung (Mzm 50:10-12). Ulangan 22:6 mengajarkan perlunya manusia melestarikan kehidupan binatang. Apa yang dilakukan seseorang terhadap binatang bahkan akan mempengaruhi keadaan orang itu (Ul 22:7). Salah satu tujuan diadakannya hari Sabat adalah supaya binatang dan para budak bisa beristirahat (Kel 23:12). Allah bahkan mengatur penggunaan lahan untuk bertani/berladang, yaitu suatu ladang boleh dipakai secara terus-menerus selama 6 tahun, sesudah itu tanah itu harus dibiarkan begitu saja pada tahun ketujuh (Ul 25:3-4). Ayub bahkan sadar bahwa ladang akan mendakwa dia apabila ia telah menyalahgunakannya (Ay 31:38-40).

Hal berikutnya adalah pembatasan apa yang boleh dimakan oleh manusia. Setelah memberikan mandat budaya, Allah memberitahu manusia bahwa makanan mereka adalah pohon-pohonan yang berbiji. Ia bahkan membedakan makanan manusia dengan makanan binatang (Kej 1:29). Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada makhluk hidup yang dieksploitasi secara berlebihan oleh makhluk hidup lainnya. Gaya hidup vegetarian ini juga didukung oleh gambaran nabi tentang pemulihan jaman akhir melalui karya Mesias. Yesaya 11:7-8 mencatat, “Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak”. Yesaya 65:25 menubuatkan, “Serigala dan anak domba akan bersama-sama makan rumput, singa akan makan jerami seperti lembu dan ular akan hidup dari debu”. Hosea 2:17 juga mengajarkan “Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu dengan binatang-binatang di padang dan dengan burung-burung di udara, dan binatang-binatang melata di muka bumi; Aku akan meniadakan busur panah, pedang dan alat perang dari negeri, dan akan membuat engkau [lit. “mereka”] berbaring dengan tenteram”.

Kebiasaan manusia memakan daging binatang dapat disimpulkan baru muncul setelah kejatuhan manusia di dalam dosa. Allah mengorbankan binatang untuk menutupi ketelanjangan manusia (3:21). Fakta bahwa Habel memelihara ternak (4:2-4) sangat mungkin menyiratkan bahwa ternak tersebut dimaksudkan untuk dikonsumsi manusia. Nuh juga telah mengetahui cara membedakan binatang yang haram dan yang halal untuk dimakan (7:2). Jadi, ucapan Allah di Kejadian 9:3 tidak boleh dipahami sebagai permulaan manusia mengkonsumsi daging binatang. Allah hanya mengesahkan apa yang sudah dilakukan manusia setelah kejatuhan. Allah memelihara semua binatang. Perintah Allah kepada Nuh untuk membawa setiap jenis binatang ke bahtera dalam peristiwa air bah (Kej 6:19-21) merupakan contoh yang jelas tentang perhatian Allah terhadap kelestarian binatang.

Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah arti kata “menaklukkan” (kabash) bumi dan “berkuasa” (radah) atas binatang di Kejadian 1:28. Kata Ibrani kabash (menaklukkan) muncul sekitar 15 kali dalam Perjanjian Lama. Harus diakui, kata ini memang menyiratkan menyiratkan unsur paksaan kepada pihak yang ditaklukkan. Hal ini terlihat dari penggunaan kata kabash untuk pemerkosaan seorang wanita (Est 7:8), pendudukan suatu bangsa oleh bangsa yang lain (Bil 32:22, 29; Yos 18:1; 1Taw 22:18) atau perbudakan dengan paksaan (2Taw 28:10; Neh 5:5; Yer 34:11, 16).

Kata radah (berkuasa) muncul sekitar 25 kali. Dalam beberapa penggunaannya, kata ini memang merupakan kata yang keras (menyiratkan unsur paksaan), misalnya Imamat 26:17, Bilangan 24;19, Nehemia 9:28, Yehezkiel 34:4. Bagaimanapun, makna ini bukanlah satu-satunya makna yang terkandung dalam kata  radah. Kata radah juga dipakai untuk kekuasaan yang tidak semenang-menang, misalnya larangan untuk memerintah (radah) dengan kejam (Im 25:43, 46, 53), pemerintahan Salomo yang penuh damai (1Raj 4:24; 5:16; 9:22-23; 2Taw 8:10), pemerintahan Mesias (Mzm 110:2). Dengan kata lain, makna kata radah harus ditentukan oleh konteks di mana kata tersebut muncul. Dalam konteks Kejadian 1:28, kata radah harus dilihat dari kacamata ayat 29.

Selanjutnya, bagaimana kita bisa mengharmoniskan arti kabash dan radah di atas yang tampak bertentangan? Apa yang kita bisa dapatkan dari studi kata “menaklukkan” (kabash) dan “berkuasa” (radah) tersebut? Dua kata tersebut sebaiknya dimengerti dalam satu kesatuan, di mana kata kerja radah mengontrol arti kata kerja kabash. Mengapa? Karena dalam ayat 26 Allah hanya memakai satu kata kerja saja untuk dominasi manusia atas ciptaan lain, dan kata itu adalah kata radah (bukan kabash).

Lalu mengapa Allah juga menggunakan kata kabash yang berkonotasi negatif dalam hubungan antara manusia dengan bumi? Kata ini mungkin hanya menyiratkan adanya unsur usaha dari manusia dalam menaklukkan bumi, bukan unsur paksaan. Bumi tidak langsung memberikan sesuatu kepada manusia. Manusia perlu mengusahakannya (Kej 2:15). Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, usaha yang dibutuhkan menjadi semakin besar (Kej 3:17-19).

Penjelasan lain yang lebih masuk akal adalah dengan melihat Kejadian 1:28 dalam perspektif Pentateukh secara umum. Kata kabash di sini adalah kata yang sama yang dipakai Musa untuk penaklukan tanah (eres) Kanaan oleh bangsa Israel (Bil 32:22, 29). Melalui penggunaan kata ini Musa ingin mengajarkan bahwa sebagaimana sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa penaklukkan bumi (eres) merupakan berkat Allah (ayat 28 “Allah memberkati mereka dan berkata...”), demikian juga Allah akan membuat bangsa Israel mampu menaklukkan tanah (eres) Kanaan apabila mereka taat kepada-Nya. Hal ini juga tampaknya didukung oleh penulis kitab Hakim-hakim. Hakim-hakim 2:20-21 mencatat “karena bangsa ini melanggar perjanjian yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyang mereka, dan tidak mendengarkan firman-Ku, maka Akupun tidak mau menghalau lagi dari depan mereka satupun dari bangsa-bangsa yang ditinggalkan Yosua pada waktu matinya”.

 

NK_P

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Ev. Nike Pamela

Reformed Exodus Community