Tingkatan konteks berikutnya yang kita perlu ketahui adalah konteks Alkitab. Sebagai sebuah kumpulan buku yang membahas topik yang sama, Alkitab membentuk sebuah konteks tersendiri. Pernyataan ini jelas didasarkan pada asumsi teologis tentang kesatuan Alkitab. Tanpa ‘kesatuan’ tidak mungkin tercipta ‘satu konteks’.
Implikasi konsep di atas bagi penafsiran sangat besar. Sebuah konsep yang ada di Alkitab, baik PL maupun PB, seringkali berbeda dengan apa yang ada di tulisan-tulisan kuno lain yang sezaman dengan Alkitab. Kita tidak boleh terburu-buru mengaitkan sebuah teks dengan kitab-kitab di luar Alkitab, padahal teks itu bersumber dari atau berkaitan dengan bagian Alkitab yang lain. Sebagai contoh, sebagian teolog cenderung memandang konsep-konsep di PB dalam terang tulisan-tulisan kuno di luar Alkitab yang berbudaya Hellenis, padahal konsep-konsep tersebut lebih mirip dengan konsep di PL. Kesalahan ini disebut ‘paralelomania’, yaitu menganggap suatu teks Alkitab dipengaruhi oleh konsep non-biblikal berdasarkan kesamaan tertentu dengan tulisan-tulisan di luar Alkitab yang superfisial, padahal teks itu justru bersumber dari bagian lain Alkitab.
Contoh terkenal dalam hal ini adalah keragaman interpretasi tentang logos (LAI:TB ‘Firman’) di Yohanes 1:1-18. Sebagian penafsir yang mengasumsikan budaya Yunani di balik Injil Yohanes langsung mengaitkan sebuan logos dengan sebutan yang sama di beragam filsafat Yunani. Pandangan ini semakin diperkuat dengan nuansa dualistik Injil Yohanes – misalnya terang-gelap, atas-bawah, dsb – yang biasanya dihubungkan dengan dualisme Yunani.
Dengan berkembangnya penelitian biblika dan ditemukannya naskah-naskah Laut Mati, banyak penafsir sekarang memilih budaya Yahudi sebagai latar belakang Injil Yohanes. Masyarakat Yahudi di Laut Mati – biasa disebut Masyarakat Qumran – ternyata juga memiliki konsep dualisme yang sangat kental. Jadi, nuansa dualisme tidak selalu identik dengan budaya Yunani.
Lebih jauh lagi, pembacaan yang lebih teliti menunjukkan bahwa konsep tentang logos di Yohanes 1:1-18 lebih mirip dengan konsep ‘firman TUHAN’ (deber/dabar YHWH) di PL. Yohanes sedang mengajarkan bahwa kesamaan fungsi antara Yesus dan firman Allah di PL. Perlu diingat, kesamaan ini terbatas pada fungsi, bukan pada hakekat. Yesus bukan firman Allah (dalam arti kata-kata Allah). Ia adalah Pribadi kedua dalam Allah Tritunggal. Yohanes 1:1-18 hanya menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Kristus sejajar dengan fungsi firman Allah di PL, yaitu dalam area penciptaan (1:3-4), pembaruan (1:12-13), dan pengungkapan diri Allah (1:18).
Semua penjelasan di atas tidak berarti bahwa Alkitab merupakan konteks yang tertutup, tanpa keterkaitan dengan tulisan-tulisan kuno lain. Kesamaan dengan tulisan lain terlihat jelas dan seringkali memang berkaitan. Bagaimanapun, keterkaitan semacam itu baru boleh ditegakkan atas dukungan yang benar-benar esensial dan meyakinkan. Pada saat kualitas keterkaitan antara kitab-kitab Alkitab dan tulisan-tulisan lain berimbang, penafsir seyogyanya lebih mengasumsikan keterkaitan di antara sesama kitab Alkitab. Jadi, ini masalah prioritas (tingkatan) konteks yang lebih menentukan. --- bersambung ---