(Lanjutan tgl 23 Februari 2020)
Ide di atas sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebuah tafsiran kuno mengungkapkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk yang terletak sangat dekat dengan hati dan rusuk sendiri bertugas menjaga hati. Ini menyiratkan makna kasih yang mendalam. Beberapa penafsir abad pertengahan bahkan menganggap kisah ini sebagai tipologi Kristus. Sebagaimana Adam tidur ketika Allah menjadikan Hawa, demikian pula Kristus mati (‘tidur’) ketika Allah membangun mempelai perempuan Kristus (‘gereja’). Sebagaimana Adam memberikan bagian samping tubuhnya untuk menciptakan Hawa, demikian pula Kristus mengorbankan lambung-Nya (‘bagian sebelah tubuh’) di kayu salib supaya manusia bisa diselamatkan (Yoh 19:41).
Hal ini semakin dipertegas dengan Allah yang menciptakan Hawa dengan cara membentuknya. Kata kerja membentuk, bÄnâ sering dipakai untuk tindakan membangun sesuatu, baik kota (4:17; 10:11; 11:4), bahtera (8:20), atau bangunan lain (11:5, 8; 12:7). Dalam bahasa Timur Dekat Kuno lain akar kata yang sama juga dipakai untuk tindakan penciptaan yang dilakukan dewa. Tidak ada makna khusus di balik pemakaian kata bÄnâ di 2:22, kecuali perubahan gambaran dari penjunan (2:5-7, 19-20) ke pembangun (2:22). Sama seperti tindakan “membentuk” yang menyiratkan keintiman, demikian pula kata “membangun” yang dipakai di bagian ini.
Setelah Hawa dibentuk, Allah membawanya kepada Adam. Ada beberapa poin yang menarik dalam ayat ini. Pertama, tindakan Allah “membawa” Hawa kepada Adam menyiratkan keaktifan dari pihak Allah. Ini sesuai dengan 2:21 ketika Adam tertidur (pasif) dan Allah (aktif) menyediakan pasangan baginya. Kedua, Adam kali ini tidak diberi pilihan seperti sebelumnya (2:19-20). Adam tidak ‘mencari’ pasangannya, tetapi hanya secara pasif menerima apa yang Tuhan berikan kepadanya. Dalam bagian Kitab Kejadian yang lain konsep jodoh sebagai pemberian TUHAN ini juga muncul kembali dan ditekankan berkali-kali (24:7, 12, 15, 26-27, 48, 50, 56).
Dengan demikian pemahaman ‘perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki’ tidak bisa dipahami literal bahwa setiap istri memiliki bagian tertentu (tukang rusuk) dari suaminya sekarang sejak dia diciptakan, bahkan menjadi bagian dari penciptaannya. Hal itu memiliki makna simbolis yang menekankan kesatuan suami dan istri.