(Lanjutan tgl 11 Agustus 2019)
Perkembangan Penggunaan Istilah Testament
Martin Luther terus mengikuti pendekatan Jerome dalam pemakaian kata testament, tapi tidak secara sembarangan. Dalam terjemahan Alkitab bahasa Jerman-nya, dia membedakan secara tajam pemakaian kata-kata yang artinya adalah perjanjian. Dia membedakan kata Bund (covenant) dan Testaments (testament) yang sama-sama berarti perjanjian. Jika konteks perjanjian yang dimaksud hanya sekedar janji biasa (promise), Luther menggunakan istilah Bund; tetapi jika konteks yang dimaksud berarti penggenapan dari janji perjanjian, utamanya jika berhubungan dengan kematian Yesus dan karya-karya-Nya sebagai Anak manusia dan Anak Allah, maka Luther menggunakan istilah Testaments.
Menurut Luther, kata Testaments memiliki arti khusus. Dari sisi essensi-nya, kata berith dalam PL merupakan janji Injil tentang Yesus Kristus sedangkan kata diatheke dalam PB merupakan janji Injil yang telah digenapi dalam diri Kristus yang mati, bangkit dan akan datang kembali. Itulah sebabnya dia mengatakan, “And so that little word ‘testaments’ is a short summary of all God’s wonders and grace, fullfilled in Christ.” Pembedaannya ini kembali ditekankan dengan pernyataannya “Between a testament and a promise there is this difference: a testament is made by someone who is about to die: a promise, however, is made by someone who expects to continue living…. Since God in the Scriptures again and again calls his promise a testament he means to announce thereby that he will die;…. A testament is nothing but the last will of one who is dying, telling how his heirs are to live with and dispose of his properties after his death…. The testator is Christ, who is about to die."
Ide tentang Old and New Covenant
Reformasi terus menyebar ke berbagai penjuru bumi. Salah satu akibatnya adalah Kitab Suci juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Mengikuti pandangan Jerome dan Luther, beberapa terjemahan bahasa Inggris, misalnya King James Version (KJV) dan Authorized Version (AV) menerjemahkan diatheke dengan istilah “covenant” maupun “testament” menurut pemahaman dasar yang dinyatakan Luther.
Namun pada tahun 1881-1885 versi revisi dari KJV menerjemahkan diaqh,kh dengan istilah ‘covenant’ untuk semua kondisi. Tren pemakaian istilah ‘covenant’ menggantikan ‘testament’ semakin merebak. Namun ada beberapa orang, seperti Adolf Deissmann dan Gerhardus Vos yang bukan sekedar menganjurkan untuk kembali pada istilah ‘testament’ dalam beberapa bagian Alkitab (misalnya pada peristiwa Lord’s Supper), tetapi mereka juga memiliki konsep yang jelas tentang perbedaan antara ‘old’ diatheke dan ‘new’ diatheke. Deissmann sendiri bahkan mempertanyakan kemungkinan untuk mengubah istilah ‘Old Testament’ dan “New Testament’ menjadi “Old Covenant’ dan “New Covenant.’ Menurutnya, “Perhaps the most necessary investigation still waiting to be made is that relating to the word diatheke, which so many scholars translate unhesitatingly "covenant" …. To St. Paul the word [diatheke] meant what it meant in his Greek Old Testament, "a unilateral enactment," in particular "a will or testament." This one point concerns more than the merely superficial question whether we are to write "New Testament" or "New Covenant" on the title-page of the sacred volume; it becomes ultimately the great question of all religious history: a religion of grace, or a religion of works?”
Bersambung…………