Apakah Yang Dimaksud Dengan Manusia Terbuat dari Debu dan Tanah (Bagian 2)

Posted on 17/11/2019 | In Do You Know ? | Leave a comment

(Lanjutan tgl 10 November 2019)

Memilih di antara dua kemungkinan ini tidaklah mudah. Keduanya sama-sama mendapat dukungan dari konteks Kejadian 1-3 maupun teks PL lain. Bagaimanapun, pilihan yang lebih tepat mungkin adalah yang terakhir. Manusia memang gambar Allah (1:26-27), tetapi bagaimanapun mereka tetaplah ciptaan yang sangat berbeda dengan Pencipta mereka. Bahkan bahan yang dipakai untuk membentuk mereka (2:7) adalah bahan yang sama yang digunakan Allah untuk membentuk beberapa binatang (2:19). Allah tidak memakai emas atau batu permata yang indah padahal bahan-bahan itu ada di sana  (bdk. 2:11-12) untuk menciptakan manusia. Manusia bukanlah makhluk sorgawi. Makna kehinaan ini bahkan akan menjadi lebih jelas apabila kita membandingkan kisah penciptaan manusia di 2:7 dengan mitos kuno waktu itu. Dalam beberapa mitos kuno diceritakan bahwa manusia memang diciptakan dari tanah liat, namun bahan itu dicampur dengan hakekat keilahian dewa, misalnya daging dan darah dewa. Dalam kisah Alkitab, Allah sama sekali tidak berbagi hakekat keilahian seperti yang diajarkan dalam mitos kuno. Allah memang menghembuskan nafas-Nya ke dalam hidung manusia (sebagai simbol kedekatan antara Allah dan manusia), tetapi tindakan itu tidak berarti berbagi hakekat. Penghembusan nafas ini tidak menjadikan manusia bersifat ilahi dari sisi hakekat.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun manusia adalah hina (hanya debu tanah), namun Allah mengubah debu itu menjadi mahkota ciptaan yang segambar dengan Dia (1:26-27). Ini adalah pekerjaan Allah yang penuh anugerah. Sebaliknya, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, mereka justru kembali menjadi debu (3:19).

Penambahan ‘tanah’ pada frase ‘debu tanah’ (2:7) sekilas tampak tidak diperlukan, karena debu pasti dari tanah. Jika kita menyelidiki arti kata ‘āpār, ternyata kata ini tidak selalu merujuk pada debu tanah (bdk. Ul 9:21). Makna utama dalam kata ini adalah butiran-butiran halus. Berdasarkan pertimbangan ini, penulis Kitab Kejadian merasa perlu untuk menambahkan ‘debu tanah’. Penulis juga memiliki tujuan lain dari penambahan kata ’ădāmâ (tanah) di sini. Ia ingin menampilkan permainan bunyi antara kata ’ādām (Adam atau manusia) dan kata ’ădāmâ (tanah), untuk menunjukkan bahwa manusia berasal dari tanah (2:7), diciptakan untuk mengusahakan tanah (2:5, 15), dan nanti – setelah kejatuhan ke dalam dosa – akan kembali menjadi tanah (3:19; Pkt. 3:20).

Setelah manusia dibentuk dari debu tanah, Allah lalu menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (2:7). Tindakan ini menyiratkan bahwa kehidupan manusia bergantung pada Allah. Ada beberapa petunjuk yang mengarah pada kesimpulan ini: (1) nafas ini (nešÄmâ) disebut “hidup” (2:7); (2) setelah penghembusan nafas hidup ke dalam hidung ini dikatakan manusia menjadi “makhkluk yang hidup” (2:7); (3) Ratapan 4:20 merefleksikan kesalahan bangsa Yehuda yang menganggap Raja Zedekia sebagai “nafas hidup” mereka; dalam arti sebagai pelindung dan pemelihara mereka; (4) beberapa mitos kuno mengisahkan tentang dewa tertentu yang terus-menerus memberikan nafas hidup kepada raja supaya raja tersebut diberi umur panjang; (5) di Ayub 27:3 kata ‘nafas’ (nešÄmâ) disejajarkan dengan ‘Roh Allah’ (rûah ’Ä›lōhîm) dan dipakai dalam arti ‘selama aku hidup’ (bdk. Ul 20:16; Yos 10:40; 1 Raj 17:17); (6) di Yehezkiel 37:9-10 kata ‘menghembuskan’ (nāpah) juga muncul dan dikaitkan dengan nafas hidup yang membuat tulang-tulang kering bisa hidup kembali; (6) Pengkhotbah 12:7 menegaskan perbedaan sumber antara tubuh dan roh/jiwa manusia; yang satu dari debu, yang lain dari Allah.

 Hasil penghembusan ini menjadikan manusia sebagai ‘makhluk hidup’ (nepeš hayyâ). Sebutan ini dipakai untuk manusia atau binatang (1:20-21, 24; 2:7; 7:22; 9:10). Walaupun manusia dan binatang sama-sama disebut ‘makhluk hidup’, tetapi ada perbedaan esensial antara keduanya. ‘Kehidupan’ binatang berasal dari tanah dan sebagai akibat dari penciptaan yang spontan (1:20-21, 24; 2:19), sedangkan ‘kehidupan’ manusia berasal dari nafas Allah dan diciptakan secara bertahap (dibentuk dari tanah dahulu, lalu dihembusi nafas Allah). Cara penciptaan yang berbeda ini menyiratkan bahwa manusia memiliki relasi dengan Allah yang jauh lebih intim daripada relasi binatang dengan Allah. Jadi, keunikan manusia tidak hanya terletak pada hakekat manusia sebagai ‘gambar Allah’ (1:26-27), tetapi juga pada fakta bahwa kehidupan manusia adalah dinafaskan oleh Allah (2:7).

Nike Pamela