Jika mengamati kisah penciptaan manusia di Kejadian 1 dan 2, seakan ada 2 versi kisah penciptaan manusia, yaitu penciptaan melalui firman (Kej. 1:26-27) dan penciptaan melalui bahan tertentu (Kej. 2). Kalau sebelumnya penulis Kitab Kejadian hanya menyatakan sebuah fakta sederhana bahwa Allah menciptakan manusia (1:26-27), sekarang di Kej. 2 ia menguraikan proses dari penciptaan tersebut. Hal itu bukanlah merupakan 2 versi melainkan 2 tujuan. Jika di Kej. 1 hal yang dipentingkan hanyalah masalah urutan penciptaan sehingga proses bagaimana urutan penciptaan terjadi tidak perlu ditampilkan, maka Kej. 2 memberikan penekanan pada proses bagaimana puncak penciptaan Allah, yaitu manusia, itu diciptakan. Detil proses penciptaan pada Kej. 2 hanya ditampilkan pada penciptaan yang berhubungan langsung dengan manusia. Salah satunya adalah proses penciptaan manusia yang dikatakan terbuat dari debu dan tanah.
Nuansa keintiman (personal) di Kej. 1:26 (“Baiklah Kita...”) sekarang didiskripsikan secara konkrit dan detil di Kej. 2:7. Dalam gaya bahasa anthropomorfis (memakai bentuk atau bahasa manusia), Allah diceritakan sedang membentuk manusia (2:7-8, 19, 22). Kata Ibrani yÄÅŸar (membentuk) seringkali dipakai untuk tindakan seorang penjunan (Yes 29:16; Yer 18:2, 4-6) atau pembuatan patung (Yes 44:9-10, 12; Hab 2:18). Mengingat penciptaan manusia adalah dari tanah, maka gambaran untuk Allah di 2:7 lebih tepat dipahami sebagai seorang penjunan daripada pemahat.
Penggambaran ini harus ditafsirkan secara hati-hati. Kita tidak dapat memaksakan setiap poin kesamaan antara tindakan Allah dan penjunan. Teks pun memberikan petunjuk yang jelas bahwa ada perbedaan antara kedua hal tersebut. Kalau penjunan bekerja dengan menggunakan tanah liat, Allah bekerja dengan debu tanah. Kalau penjunan perlu mengulang pekerjaannya beberapa kali untuk mendapatkan hasil yang sempurna, Allah tidak memerlukan pengulangan seperti itu. Ide utama yang ingin ditekankan dalam gambaran ini adalah pekerjaan seni yang memerlukan ketrampilan dan perencanaan. Ide inilah yang selalu kita temukan pada saat kata yÄÅŸar diterapkan pada Allah, walaupun bahan dan obyek yang dibentuk berbeda-beda. Ia membentuk Israel (Yes 27:11; 45:9, 11), hamba-hamba TUHAN (Yes 49:5; Yer 1:5), alam (Mzm 95:5; Yes 45:18; Am 4:13) dan Lewiatan (Mzm 104:26).
Konsep di atas juga perlu dilihat dalam kontras terhadap mitologi kuno. Di beberapa tradisi kuno tentang penciptaan manusia ada kecenderungan bahwa penciptaan manusia didorong oleh motivasi yang tidak terencana, misalnya peperangan antar dewa yang menyebabkan dewa yang kalah selanjutnya dibunuh dan darahnya dicampur dengan tanah untuk menghasilkan manusia. Menurut Alkitab manusia merpakan hasil penciptaan yang penuh ketrampilan dan perencanaan.
Bahan yang dipakai untuk membentuk manusia adalah debu tanah. Pemakaian kata ‘ÄpÄr (debu) dalam PL menunjuk pada butiran-butiran sangat halus yang ada di atas tanah (Kel 8:16-17). Ide tentang penciptaan manusia dari debu selanjutnya akan menjadi kebenaran yang sering diulang-ulang dalam PL (Ay 10:9; Yes 29:16; Mzm 90:3; 104:29). Ide apa yang ingin ditunjukkan melalui penggunaan bahan debu? Beberapa penafsir memilih ide tentang ‘ketidakpermanenan’ atau ‘kerapuhan’ hidup manusia. Secara khusus mereka mengaitkan 2:7 dengan hukuman Allah bahwa manusia akan kembali menjadi debu (3:19; Ay 34:15; Mzm 103:14). Sebagian penafsir yang lain mengusulkan ide tentang ‘kehinaan’ manusia. Alasan yang dipakai sebagai dukungan adalah hukuman untuk ular di 3:14 dan perspektif keseluruhan PL yang memandang debu sebagai kehinaan atau kerendahan (18:27; 1 Sam 2:8; 1 Raj 16:2; Mzm 113:7; Yes 65:25; Mik 7:17).
Bersambung………