Kejadian 2:24 merupakan komentar penulis kitab Kejadian terhadap kisah yang ia ceritakan. Ia mengatakan bahwa laki-laki akan meninggalkan ayah dan hidupnya dan bersatu dengan istrinya. Sekilas, pernyataan ini tampaknya melarang seorang laki-laki tinggal bersama orang tuanya lagi setelah ia menikah. Hal ini menariknya juga sering kita temui dalam budaya kita. Orang tua dari pihak istri biasanya di hari tua mereka tinggal bersama menantu laki-laki, tetapi sangat jarang kita temukan orang tua dari pihak suami yang tinggal bersama menantu wanita. Apakah yang terjadi di dalam masyarakat kita sekarang memang lebih Alkitabiah? Dengan kata lain, apakah Kejadian 2:24 memang mengajarkan bahwa laki-laki harus meninggalkan rumah dan orang tuanya setelah ia menikah?
Kita mungkin akan terkejut apabila mengetahui kebiasaan orang Yahudi dalam pernikahan. Pernikahan mereka bersifat patrilokal, yaitu suami tetap tinggal bersama dengan orang tua. Sebaliknya, mempelai perempuanlah yang meninggalkan rumah dan orang tuanya untuk hidup bersama suami dan mertua. Hal ini juga mendapatkan dukungan implisit dari Matius 8:21-22. Sebagian sarjana memahami alasan menguburkan ayah di ayat 21 ini bukan merujuk pada upacara pemakaman ayahnya yang baru saja meninggal, tetapi komitmen orang tersebut untuk menemani ayahnya sampai ayahnya meninggal dunia. Seandainya tafsiran ini benar, maka ayat ini memberikan contoh lain tentang hubungan laki-laki dengan orang tuanya, walaupun ayat ini tidak menjelaskan secara eksplisit apakah orang ini sudah menikah atau batasan menemani ayahnya (tinggal satu rumah?).
Apakah kebiasaan orang Yahudi di atas menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan di Kejadian 2:24? Tampaknya tidak. Ayat ini sebenarnya tidak harus dimengerti dalam arti meninggalkan rumah orang tua. Ayat ini hanya menyatakan kalau laki-laki Yahudi harus meninggalkan ayah dan ibunya serta bersatu dengan istrinya. Apakah arti “meninggalkan” dan “bersatu” di ayat ini?
Kata Ibrani ‘azab (“meninggalkan”) maupun dabaq (“bersatu”) dalam Perjanjian Lama dipakai di dalam konteks perjanjian antara TUHAN dan bangsa Israel. Kata ‘azab seringkali menggambarkan penolakan atau ketidaksetiaan Israel terhadap hubungan perjanjian dengan TUHAN (Yer 1:16; 2:13, 17, 19; 5:7; 16:11; 17:13; 19:4; 22:9). Sebagai kontras, kata dabaq sering menunjukkan pemeliharaan perjanjian (Ul 4:4; 10:20; 11:22; 13:5; 30:20). Dari arti dua kata tersebut kita bisa melihat bahwa ‘azab dan dabaq berkaitan dengan loyalitas atau komitmen terhadap sesuatu. Hubungan pernikahan di Kejadian 2:24 merupakan sebuah perjanjian antara suami dan istri, sehingga menuntut loyalitas dari masing-masing pasangan. Loyalitas ini melebihi loyalitas terhadap orang tua yang sebelumnya sangat dijunjung tinggi oleh setiap orang Yahudi (Kel 20:12; Ul 5:16). Ucapan Elkana kepada Hana di 1Samuel 1:8 “bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki” juga menyiratkan bahwa hubungan suami-istri bersifat lebih intim daripada hubungan antara orang tua dan anak. Tidak heran, Allah sering menggambarkan kasih-Nya kepada bangsa Israel melalui metafora suami-istri (Yes 54:5; 62:4-5; band. Ef 5:31-32). Ketika bangsa Israel menyembah berhala, tindakan ini seringkali disebut sebagai perzinahan secara rohani (1Taw 5:25; 21:11-13; Yer 3:1, 9; 5:7; 9:2; 23:10, 14; Yeh 6:9; Hos 4:12).
Ada satu indikasi lagi yang mendukung pemahaman di atas bahwa “meninggalkan” dan “bersatu” menyangkut relasi/loyalitas/komitmen, bukan masalah tempat tinggal. Kejadian 2:24b merangkum proses meninggalkan dan bersatu ini ke dalam satu kalimat “keduanya menjadi satu daging”. Seandainya meninggalkan dan bersatu terkait dengan rumah, maka ayat 24b mungkin berbunyi “keduanya menjadi satu atap/rumah”, bukan “satu daging”. Ungkapan “satu daging” jelas menunjukkan keintiman dalam hal relasi, bukan kedekatan secara tempat. Konteks Kejadian 2:21-23 juga mendukung keintiman relasi ini. Ini pula yang mungkin mendasari pikiran Paulus ketika ia menyebut perzinahan dengan pelacur sebagai “menjadi satu tubuh” dengan pelacur tersebut (1Kor 6:16).
NK_P