Apakah maksud kata “Kita” yang dikenakan pada Allah? Kej. 1:28 (Bagian 2)

Posted on 06/10/2019 | In Do You Know ? | Leave a comment

(Lanjutan tgl 29 September 2019)

Teori ini memiliki banyak kelemahan. Ucapan “hendaklah bumi....” sangat berbeda dengan ucapan di 1:26 “baiklah Kita...” Pada ucapan sebelumnya dipakai bentuk kata ganti orang ke-3, sedangkan di 1:26 digunakan kata ganti orang ke-1 jamak. Selain itu, ayat 27 menerangkan bahwa Allah adalah Pencipta tunggal. Ini diperjelas lagi di pasal 2 (2:5-7, 21-22). Lebih jauh, di 1:26-27 manusia disebut sebagai “gambar-Nya” (tunggal). Ini sesuai dengan ajaran Alkitab di tempat lain. Manusia tidak pernah dikatakan sebagai gambar dan rupa bumi/langit. Manusia adalah gambar Allah (5:1; 9:6).

Ketiga, bentuk ini adalah bentuk jamak kemuliaan (plural of majesty atau honorific plural), yang menunjukkan kepenuhan sifat dan kuasa dalam ke-Allahan. Dukungan utama untuk hal ini terutama didasarkan pada bentuk jamak ’Ä›lōhîm untuk Allah yang dipakai berkali-kali di kisah penciptaan. Dukungan lain diambil dari pemunculan bentuk jamak di teks lain yang secara jelas menyiratkan kemuliaan Allah (Yes 6:8). Dalam istilah modern hal ini disamakan dengan penggunaan kata “kami” yang sering dipakai untuk penghormatan.

Pandangan ini cukup menarik. Bagaimanapun, dua kelemahan mendasar membuat teori ini sulit dipertahankan. Yang terutama, penekanan di 1:26 terletak pada relasi Allah dengan manusia dan dominasi manusia atas ciptaan lain. Teks ini tidak menyoroti tentang kemuliaan Allah. Kelemahan lain, dalam Alkitab keberadaan jamak kemuliaan hanya dalam kaitan dengan kata benda, sedangkan di 1:26 dikaitkan dengan kata kerja.

Keempat, bentuk jamak merupakan dialog antara Allah dan para malaikat. Pandangan ini merupakan pandangan populer di kalangan penafsir Yahudi. Beberapa alasan yang diajukan sebagai argumen antara lain: (1) Alkitab memberikan beberapa contoh tentang ‘musyawarah’ antara Allah dan malaikat (1Raj 22:19-22; Ay 1:6-2:6; 15:8; 38:7; Yer 23:18); (2) dalam mitologi kuno waktu itu musyawarah antara dewa dan malaikat merupakan fenomena yang umum; (3) bentuk jamak di Yesaya 6:8 dalam konteks TUHAN menampakkan diri bersama dengan para serafim (6:1-2); (4) ajaran Alkitab di tempat lain yang menyiratkan bahwa para malaikat diciptakan lebih dahulu sebelum bumi dijadikan (Ay 38:7); (5) Frase “hampir sama seperti ’Ä›lōhîm“ (Mzm 8:6) dalam Septuaginta diterjemahkan “malaikat” (Ibr 2:7). Jika hal ini benar, maka teks ini merupakan salah satu petunjuk bahwa manusia diciptakan hampir serupa dengan [dalam rupa?] malaikat.

Pandangan di atas relatif lebih kuat daripada beberapa pandangan sebelumnya. Walaupun demikian, pandangan ini bukan tanpa kelemahan yang serius. Bentuk tunggal “menurut gambar-Nya” (1:27, juga 5:1) jelas merujuk pada Allah saja. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah dan malaikat. Teks-teks lain juga mendukung pandangan bahwa Allah menciptakan dunia sendirian (Ay 38:4, 7; Kej 40:13-14; 44:24).

Di samping dua kelemahan serius di atas, argumen yang dipakai untuk mendukung teori ini juga tidak sekuat yang diperkirakan: (1) petunjuk bahwa Allah berdialog dengan para malaikat tidak pernah muncul dalam konteks penciptaan. Sebaliknya, Alkitab beberapa kali menegaskan bahwa dalam penciptaan Allah tidak membutuhkan siapapun; (2) kemiripan dengan mitologi kuno tidak menambah dukungan apapun, karena penciptaan Alkitab justru merupakan kritik terhadap mitos-mitos yang beredar waktu itu; (3) pemunculan serafim di Yesaya 6 tidak berarti bahwa mereka termasuk dalam “Kami” di ayat 8. Konteks secara keseluruhan justru menekankan ketidaklayakan serafim di hadapan TUHAN yang begitu mulia (6:2-3). Mereka harus menutupi wajah dan kaki mereka di hadapan TUHAN. Dalam konteks seperti ini sangat janggal apabila Allah menyejajarkan diri-Nya dengan serafim di 6:8; (4) petunjuk bahwa malaikat diciptakan lebih dahulu daripada bumi juga tidak otomatis membuktikan bahwa mereka terlibat dalam penciptaan. Data lain dalam Alkitab justru mengarah pada kesimpulan yang berlainan; (5) penerjemahan ’Ä›lōhîm dengan “malaikat” di Mazmur 8:6 (LXX) masih menyisakan masalah. Kita sulit menentukan apakah terjemahan ini adalah tepat.

 

Bersambung………

Nike Pamela