Apakah Cakrawala itu? (Kejadian 1:6-8)

Posted on 30/07/2017 | In Do You Know ? | Leave a comment

Kej. 1:8 menyatakan bahwa Allah menamai ‘cakrawala’ itu dengan ‘langit’. Apakah cakrawala itu dan apakah memang cakrawala itu sama dnegan langit? 

Salah satu persoalan berkaitan dengan frase ini adalah pengertian yang tepat dari kata ‘cakrawala’ rāqîa’. Terjemahan LAI:TB “cakrawala” mengikuti mayoritas versi Inggris (KJV/NKJV/ASV/RSV “firmament”) yang juga mengadopsi pilihan penerjemah versi Latin Vulgata (firmamentum). Versi Inggris yang lebih modern cenderung memilih untuk memberikan terjemahan yang hurufiah, misalnya “sebuah bidang yang sangat luas” (“expanse”, NASB/NET/ESV) atau “kolong/kubah” (NJB “vault”; NRSV “dome”). Penerjemah NLT berusaha membantu pembaca dengan memilih “sebuah ruang antara air-air” (“a space between the waters”). Dari semua cara terjemahan ini, tidak ada satu pun yang memberikan keterangan yang jelas dan spesifik tentang apa yang dimaksud dengan rāqîa’.

Para penafsir juga memahami kata tersebut secara berbeda. Sebagian berpendapat bahwa rāqîa’ merujuk pada atmosfir, sedangkan yang lain memilih langit yang kita lihat sehari-hari. Manakah yang benar di antara dua pilihan ini?

Beberapa penafsir mencoba memahami arti kata ini berdasarkan penggunaan kata kerja rāqa’. Arti dasar dari kata ini adalah “menghamparkan” atau “menyebarkan”, secara khusus dipakai untuk menghamparkan bumi (Mzm 136:6; Yer 42:5; 44:24) atau langit (Ay 37:18). Kata ini kadangkala dipakai dengan arti “melapisi” (Yes 40:19) atau “menempa” (Kel 39:3). Dengan demikian kata benda rāqîa’ dapat dipahami sebagai suatu benda yang berbentuk hamparan pada suatu permukaan yang luas. Sayangnya, arti ini tetap tidak terlalu banyak menolong.

Cara paling tepat untuk menemukan arti kata rāqîa’ adalah melihat konteks pemakaian kata ini dalam Kejadian 1. Kata rāqîa’ adalah tempat TUHAN meletakkan benda-benda penerang (1;14-15, 17), sekaligus tempat burung-burung hidup (1:20). Di 1:8 rāqîa’ disebut sebagai “langit” (šāmayim). Dari penggunaan ini terlihat bahwa kata rāqîa’ dipahami Musa dan pembacanya secara fenomenologis. Artinya, semua dilihat dari perspektif sehari-hari penulis (apa yang diamati dalam kehidupan praktis sehari-hari). Penulis Alkitab tidak berusaha memberikan keterangan ilmiah yang sangat mendetil berdasarkan pengamatan menggunakan teleskop atau satelit. Penulis juga tidak menggunakan ungkapan kosmologis kuno Timur Dekat yang memandang kehidupan dalam tiga lapisan dunia: bawah bumi, bumi, dan atas bumi. Istilah “langit” mungkin bisa mencakup arti umum dalam kata rāqîa’.

Dengan menampilkan Allah sebagai pencipta langit dan pemberi nama “langit” (1:8a), Musa sedang menyatakan hal yang secara teologis sangat penting. Ia ingin menunjukkan bahwa Allah sajalah yang menguasai langit. Kebenaran seperti ini sangat kontras dengan konsep kosmologis kuno waktu itu. Dalam sebuah mitos kuno diceritakan bahwa langit diciptakan oleh Dewa Marduk dari salah satu bagian tubuh dewi yang jahat bernama Tiamat. Marduk selanjutnya menyediakan gembok dan para penjaga agar Tiamat tidak melepaskan air ke bumi. Secara umum kosmologi kuno juga menganggap langit sebagai pusat kekuasaan dewa. Mereka mempercayai dewa langit (Anu) dan dewa atmosfir (Enlil) yang mengontrol dan menentukan kesejahteraan di bumi. Baal dalam konsep Ugarit ditampilkan sebagai dewa guntur dan hujan (1 Raj 18) yang mengendarai awan-awan. Bagi bangsa Israel langit tidak lebih dari sebuah ciptaan. Langit bukan hanya tidak boleh disembah, namun keberadaannya justru dimaksudkan sebagai sarana untuk melayani kehidupan manusia di bumi. Allah harus menjadi obyek penyembahan satu-satunya, karena Dialah yang layak berkendara melintasi awan-awan (Mzm 68:5).

Fungsi dari rāqîa’ adalah untuk memisahkan air yang di atas dan yang di bawah (1:6-7). Yang dimaksud dengan “air yang di bawah” sudah sangat jelas bagi pembaca, karena air ini nanti akan diatur lagi dan dikumpulkan menjadi satu tempat sehingga menjadi laut (1:9). Air yang di bawah jelas merujuk pada mata air samudera raya (Kej 7:11; Ams 8:28). Yang agak sulit dipahami adalah “air yang di atas”. Apa yang dimaksud dengan ungkapan ini?

Alkitab memberikan beberapa petunjuk penting bahwa “air yang di atas” kemungkinan besar merujuk pada titit-titik air di awan-awan. Di Amsal 8:28 air yang di atas dan di bawah diterangkan dengan ungkapan “awan-awan di atas” dan “mata air samudera raya”. Dalam konsep kosmologis Alkitab, awan dipahami sebagai penghasil hujan. Hujan terjadi ketika Allah membuka langit (Ul 28:12; Hak 5:4; 1 Raj 18:44-45; 2 Raj 7:2; Mzm 104:3; Pkt 11:3; Yes 5:6).

Pemisahan air yang di atas dan yang di bawah harus dipahami sebagai tindakan Allah yang berkuasa dan penuh kasih. Berkuasa, karena keberadaan cakrawala membuktikan bahwa Allah telah menguasai kekacauan di 1:2 yang diakibatkan limpahan air yang memenuhi bumi. Penuh kasih, karena tindakan ini – yang nanti diikuti oleh penataan laut (1:9-10) – memungkinkan manusia untuk hidup di darat dan tanah pun bisa menghasilkan makanan bagi manusia (1:11-12).

Sebaliknya, ketika manusia gagal meresponi pemberian Allah yang indah, Allah menghukum mereka dengan cara mencampurkan semua air yang ada (7:11-12). Ironi ini akan terlihat lebih jelas apabila dilihat dari kata Ibrani yang dipakai. Allah yang menguasai těhôm (1:2 “samudera raya”) dan memisahkannya menjadi air di atas dan di bawah adalah Allah yang sama yang membuka těhôm (7:11) sehingga bumi kembali dipenuhi air seperti di 1:2.  NK_P            

Nike Pamela