lanjutan)
Kekeliruan dalam penafsiran ini sangat kentara. Injil Yohanes banyak memuat permainan kata yang bersifat sinonim. Perbedaan kata tidak selalu diiringi dengan perbedaan arti. Dalam Yohanes 21:15-17 pun ada permainan kata yang lain: ‘gembalakan’ (boskō dan poimainō), ‘domba-domba’ (arnion dan probaton). Contoh sinonim lain terdapat pada kalimat “Bapa mengasihi Anak” di 3:35 dan 5:20. Di 3:35 kata yang digunakan adalah agapaō, sedangkan di 5:20 adalah phileō, padahal keduanya sama-sama merujuk pada kasih Bapa kepada Tuhan Yesus. Sebutan ‘murid yang dikasihi Tuhan’ yang muncul beberapa kali dalam injil ini pun secara variatif menggunakan agapaō atau phileō (13:23; 20:2; 21:7, 20).
Data di luar Injil Yohanes juga membuktikan bahwa agapē atau agapaō tidak selalu menunjuk pada kasih vertikal. 2 Timotius 4:10 “karena Demas telah mengasihi dunia”. Dalam Septuaginta, kata agapaō digunakan dalam dua kasus pemerkosaan, yaitu Sikhem terhadap Dina (Kej 34:1-2) dan Amnon terhadap Tamar (2 Samuel 13:1-15). Semua data ini tidak perlu merisaukan kita apabila kita tidak mengadopsi pembedaan populer antara agapē (kasih antara Allah dan manusia?) philia (kasih antar sahabat?), storgē (kasih antar keluarga) dan eros (kasih antar kekasih/kasihberahi?).
Kesalahan lain yang tidak kalah populer adalah pembedaan antara rhēma dan logos. Di banyak gereja doa sebelum firman Tuhan seringkali diwarnai dengan permintaan agar logos (firman yang tertulis?) menjadi rhēma (firman yang mengena dalam hati?). Sayangnya, pandangan ini tidak didukung oleh bukti dan alasan yang cukup. Kata rhēma terkadang justru digunakan secara negatif, misalnya ‘perkataan yang sia-sia’ (Mat 12:36). Pada saat murid-murid tidak mengerti ‘perkataan’ Yesus, kata yang digunakan di sini bukan logos, tetapi rhēma (Mar 9:32). Bagaimana rhēma yang tidak dimengerti bisa mengena dalam hati? Ayat yang paling telak meruntuhkan pembedaan logos dan rhēma ada di Kisah Para Rasul 10:44 “ketika Petrus sedang mengucapkan perkataan itu (rhēma), turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu (logos)”. Bukankah seharusnya Petrus mengucapkan logos dan mereka yang dipenuhi Roh Kudus menerima rhēma? Kebingungan semacam ini tidak perlu terjadi apabila penafsir bersikap kritis terhadap pandangan populer yang keliru seperti itu.
Kedelapan, kosa-kata tertentu yang terkesan tipikal Kristiani perlu diteliti lagi untuk mendapatkan arti yang lebih tepat. Pada bagian sebelumnya kita sudah mempelajari bahwa kata ekklēsia hanya berarti ‘kumpulan orang’. Bagaimana situasi atau karakteristik kumpulan ini harus ditentukan oleh konteks yang ada. Kita tidak boleh secara sembarangan menyamaratakan bahwa ekklēsia berarti kumpulan orang percaya yang dipanggil dari kegelapan dosa kepada terang Tuhan yang ajaib. Contoh lain adalah kata agapē. Seorang dosen Bahasa Yunani di sebuah sekolah tinggi teologi pernah mengajarkan bahwa kata ini diciptakan secara khusus oleh Roh Kudus, karena tidak ada kata apapun yang pantas untuk menggambarkan kasih Allah kepada manusia. Kesalahan ini jelas sangat fatal. Sebelum kekristenan muncul di abad ke-1 M, kata agapē sudah ditemukan di berbagai tulisan lain di luar Alkitab.
Tamat