Dalam beberapa mitologi kuno dikisahkan bagaimana perseteruan para dewa di sorga telah menyebabkan kesengsaraan bagi umat manusia di bumi. Beberapa dewa yang saling berebut kekuasaan atau wanita berperang satu sama lain. Akibat dari perseteruan ini adalah bencana bagi manusia. Kesalahan para dewa membawa konsekuensi buruk bagi manusia.
Tidak demikian halnya dengan kisah di dalam Alkitab. Keberdosaan manusia justru menjadi penyebab Allah datang ke dalam dunia dan menderita sebagai manusia yang tinggal bersama orang-orang berdosa. Allah tidak mengirim utusan-Nya yang lain. Dalam kasih dan hikmat-Nya yang tak terpahami Ia sendiri rela datang ke dalam dunia. Kesalahan manusia menyebabkan sebuah peristiwa besar dalam sejarah: inkarnasi Kristus!
Perkataan yang benar (ayat 15)
Ungkapan “perkataan ini benar” (pistos ho logos) secara hurufiah berarti: “perkataan ini setia” (KJV/ASV) atau “perkataan ini pasti” (RSV), dalam arti “perkataan ini dapat dipercaya” (NASB/NIV/ESV). Berdasarkan pemunculan ungkapan ini beberapa kali dalam surat-surat Paulus (1 Tim 1:15; 3:1; 2 Tim 2:11; Tit 3:8), para penafsir Alkitab meyakini bahwa pistos ho logos merujuk pada pernyataan atau ajaran penting yang sudah populer di kalangan gereja mula-mula. Paulus hanya mengutip apa yang sudah diketahui oleh jemaat secara umum. Dugaan ini sesuai dengan nasihat Paulus kepada para penilik jemaat supaya mereka “berpegang kepada perkataan yang benar (pistou logou), yang sesuai dengan ajaran (tēn didachēn) yang sehat.”
Keberadaan perkataan-perkataan semacam itu bagi gereja mula-mula adalah sangat penting. Mereka hanya memiliki Perjanjian Lama sebagai kitab suci mereka. Masih banyak kitab atau surat Perjanjian Baru yang belum ditulis atau disebarluaskan. Gereja mula-mula sangat bergantung pada ajaran-ajaran lisan. Dalam kondisi seperti ini, mereka perlu mengingat beberapa pernyataan iman atau ajaran yang dasar dan mempersatukan semua gereja di berbagai tempat.
Dalam 1 Timotius 1:15 perkataan yang dikutip adalah: “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa.” Perkataan ini sangat mungkin didasarkan pada ajaran Yesus sendiri, karena Ia sering berkata “Aku datang untuk...” (Mat 5:17; 9:13; 10:34-35; Mar 2:17; Luk 5:32; 12:51). Dalam Injil Yohanes ide tentang Kristus datang ke dunia juga sering ditemukan (1:9; 3:19; 6:14; 9:39; 11:27; 12:46; 16:28; 18:37).
Menjadi alasan bagi kedatangan Kristus ke dunia merupakan hal yang istiewa. Lebih istimewa lagi, hal itu terjadi bukan karena kebaikan kita, namun keberdosaan kita. Betapa seriusnya dosa kita di mata Allah sampai Ia sendiri datang untuk menyelesaikannya! Seandainya dosa kita tidak serius, Allah hanya perlu mengirim salah seorang malaikat-Nya untuk membereskan dosa itu. Karena itu, merayakan Natal tanpa menyadari kejijikan dosa kita adalah sebuah penyangkalan mendalam terhadap makna Natal yang sebenarnya.
Respon terhadap perkataan yang benar (ayat 15-17)
Pernyataan iman tidak hanya untuk diperdebatkan. Pernyataan-pernyataan itu dirumuskan untuk keperluan praktis. Dengan kata lain, kebenaran teologis merupakan dasar bagi tindakan-tindakan praktis. Respon seperti apa yang seharusnya kita tunjukkan?
Pertama, kita harus menerima sepenuhnya (ayat 15). Ungkapan “patut diterima sepenuhnya” (pasēs apodochēs axios) kemungkinan besar tidak termasuk bagian dari formula pengutipan pistos ho logos. Dalam beberapa pemunculan pistos ho logos, Paulus tidak menyertakan “patut diterima sepenuhnya.” Jika ini benar, frase ini merupakan bagian dari nasihat Paulus kepada jemaat (bdk. 4:9). Orang-orang Kristen di Efesus tidak hanya diingatkan tentang sebuah kebenaran teologis yang penting, tetapi juga untuk menerima kebenaran itu sepenuhnya.
Ada beberapa hal yang menarik dari nasihat ini. Penerimaan itu terutama tidak didasarkan pada manfaat yang kita peroleh, tetapi pada isi dari pernyataan itu. Perkataan itu memang dapat dipercaya (pistos) dan layak (axios) untuk diterima. Ada kebenaran intrinsik dalam perkataan tersebut. Walaupun manfaat praktis jelas akan mengikuti sebuah kebenaran, tetapi kekuatan dari kebenaran itu tidak ditentukan oleh manfaatnya.
Hal lain yang menarik adalah kata kualitas penerimaan yang dituntut. Tambahan “diterima sepenuhnya” (lit. “penerimaan penuh,” versi Inggris “full acceptance”) berkaitan dengan situasi khusus jemaat Efesus. Mereka sedang menghadapi ajaran sesat (4:1-16). Para guru palsu itu mencoba menambahkan hal-hal lain sebagai persyaratan keselamatan, misalnya keharusan hidup berselibat dan bertarak dari berbagai macam makanan (4:3). Di tengah situasi semacam ini, Paulus mendorong jemaat untuk menerima finalitas keselamatan di dalam Kristus Yesus secara penuh: tanpa ragu dan tanpa perlu tambahan apa pun. Christ is enough for us!
Kedua, kita harus sungguh-sungguh menyadari keberdosaan kita (ayat 15-16). Sesudah mengutip pernyataan iman populer, Paulus segera menambahkan “dan di antara mereka [orang-orang berdosa] akulah yang paling berdosa” (ayat 15b). Dalam suart-surat sebelumnya, Paulus sudah mengakui bahwa dirinya adalah yang paling hina di antara semua rasul (1 Kor 15:9) maupun yang paling hina di antara semua orang kudus (Ef 3:8). Kini dia melangkah lebih lanjut dengan menyatakan dirinya sebagai yang paling berdosa di antara orang berdosa (1 Tim 1:15b hōn prōtos eimi egō).
Cara Paulus mengungkapkan hal ini penuh dengan penekanan. Ia meletakkan kata prōtos (lit. “pertama/utama”) di bagian awal kalimat. Kata ini juga muncul lagi di ayat berikutnya (1:16). Di ayat 15b Paulus juga menambahkan kata egō (“aku”) setelah kata eimi (“aku adalah”), dengan demikian seolah-olah sedang menegaskan dirinya dua kali. Dia – bukan orang lain – adalah yang paling berdosa.
Pengakuan ini cukup menarik, karena Paulus baru saja mengatakan bahwa dosanya dilakukan karena ketidaktahuan (ayat 13). Ia bisa saja menjadikan ketidaktahuan itu sebagai alasan (excuse) bagi keseriusan dosa-dosanya. Tetapi, Paulus tidak berupaya meringankan dosanya atau memberikan pembelaan diri. Solusi bagi dosa-dosa kita bukanlah penyangkalan atau pembelaan, melainkan pengakuan.
Bagaimana kita sebaiknya memahami pernyataan Paulus di ayat 15b? Sebagian penafsir meyakini bahwa Paulus dahulu memang manusia paling berdosa karena ia menganiaya jemaat Tuhan (1:13; 1 Kor 15:9; Gal 1:13). Kelemahan dari penafsiran ini adalah bentuk kekinian “aku adalah” (versi Inggris “I am”). Paulus tidak mengatakan: “aku dahulu adalah...”
Sebagian yang lain memahami ucapan Paulus apa adanya: Paulus memang yang paling buruk di antara orang-orang berdosa yang lain. Menurut para teolog ini, pergumulan Paulus melawan dosa di Roma 7 merupakan gambaran kehidupan Paulus sesudah bertobat. Kesulitan dari pandangan ini adalah sulit membanyangkan bahwa Paulus benar-benar lebih buruk daripada semua orang berdosa. Walaupun ia tidak sempurna, tetapi kesungguhannya untuk mengenal Kristus tidak diragukan lagi (Flp 3:10-14).
Yang lain mencoba menafsirkan ulang berdasarkan arti lain dari kata prōtos. Kata ini mempunyai beragam arti: pertama, terutama, paling penting, atau paling terlihat. Paulus mungkin tidak bermaksud menempatkan diri sebagai “yang paling berdosa”, tetapi “yang paling mewakili orang berdosa.” Keberdosaannya sedemikian besar dan terkenal, sehingga layak dijadikan contoh (bdk. 1:16 “aku menjadi contoh”). Satu-satunya kelemahan dari teori ini adalah arti kata prōtos yang tidak terlalu umum.
Penafsir yang lain lebih menyoroti perasaan Paulus tatkala merenungkan keberdosaannya daripada keadaan riil dirinya yang berdosa. Maksudnya, Paulus kini memang bukan orang yang paling berdosa, tetapi tiap kali ia mengingat dosa masa lalu, ia merasa sebagai orang yang paling berdosa. Bukan berarti ia tidak meyakini bahwa dosa-dosanya telah dimapuni. Hanya saja, ia terus-menerus dibuat kagum oleh kemurahan Allah yang mau mengampuni dosanya.
Terlepas dari penafsiran mana yang lebih tepat, poin yang ingin disampaikan Paulus tetap sama: kedatangan Kristus Yesus ke dunia (Natal) seharusnya merendahkan kita. Kita diingatkan dan diperhadapkan dengan keseriusan dosa kita. Semakin kita menyadari betapa berdosanya diri kita, semakin bermakna hidup kita. Keberdosaan kita berfungsi sebagai bukti kesabaran Allah dan teladan bagi orang-orang lain (ayat 16).
Bukti kesabaran Allah, karena kesabaran Allah menjadi lebih terlihat pada saat Ia memberikan kesempatan dan anugerah kepada orang yang paling berdosa untuk bertobat. Kesalahan kecil hanya membutuhkan kesabaran sedikit. Dosa fatal membutuhkan kesabaran terbesar.
Teladan bagi orang-orang lain, karena tidak ada orang yang dosanya terlalu besar untuk diampuni. Anugerah Allah cukup untuk semua dosa kita. Kalau Paulus yang menganiaya jemaat Tuhan saja diampuni, apalagi orang lain yang kesalahannya tidak seberapa dibandingkan Paulus. Jadi, pengampunan bukan didasarkan pada kualitas dosa kita, tetapi kualitas pengorbanan Kristus.
Ketiga, kita harus memuji Dia (ayat 17). Salah satu kebiasaan Paulus dalam menulis adalah mengungkapkan perasaannya dalam bentuk pujian (doksologi) tatkala ia dipenuhi dengan ucapan syukur atau kekaguman terhadap Allah (misalnya Rom 9:5; 11:33-36; Ef 3:21). Menariknya, doksologi-doksologi tersebut beberapa kali muncul di tengah-tengah surat. Dengan kata lain, Paulus tidak tahan untuk mengungkapkan kekagumannya pada Allah!
Terlepas dari obyek doksologi Paulus di ayat 17 – apakah ditujukan kepada Kristus atau Allah – isi dari pujian ini sangat relevan dengan topik yang sedang dibahas. Kedatangan Kristus Yesus ke dunia menjadi semakin terlihat luar biasa kalau kita menghubungkannya dengan beberapa sifat Allah.
1. Ia ada di segala zaman. Allah yang tidak terbatas waktu rela masuk ke dalam waktu melalui inkarnasi Kristus Yesus.
2. Ia kekal. Dalam versi Inggris diterjemahkan “tidak dapat mati” atau “tidak dapat binasa”. Allah yang tidak dapat mati mengambil hakekat insani (manusia) yang fana agar Ia dapat mati demi dosa-dosa kita.
3. Ia tidak nampak. Kemuliaan Allah yang sempurna membuat Dia menjadi tidak terhampiri oleh manusia (6:16). Satu-satunya cara agar Ia terlihat adalah melalui inkarnasi Kristus Yesus ke dalam dunia (Yoh 1:18)
4. Ia esa. Inkarnasi Kristus Yesus ke dalam dunia dengan tidak melepaskan keilahian-Nya memberikan pemahaman baru tentang keesaan Allah. Yang esa adalah hakekat-Nya (hanya ada satu Allah), bukan pribadi-Nya (satu Allah dalam tiga Pribadi).
Dari penjelasan di atas kita melihat keterkaitan erat antara doktrin dan emosi. Perenungan kognitif tentang Allah seharusnya berdampak pada perasaan kita kepada Allah. Teologi berujung pada doksologi. Pengetahuan bermuara pada kekaguman. Semakin kita mengenal Allah, semakin kita mengagumi Dia. Soli Deo Gloria.