Ukuran Kerohanian (1 Timotius 3:4-5)

Posted on 10/09/2017 | In Teaching | Leave a comment

Mengetahui tingkat kerohanian seseorang tidaklah selalu mudah untuk dilakukan. Sebagian orang yang sekilas terlihat rohani ternyata tidak demikian. Alkitab memberikan banyak contoh tentang hal ini. Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi yang cukup rendah hati untuk mengunjungi Yesus, ternyata harus dilahirkan kembali (Yoh 3). Paulus yang sangat maju dalam hal-hal relijius ternyata tidak lebih daripada pembangkang di hadapan Allah (Flp 3:4-11). Beberapa orang di Kolose yang menghindari berbagai “kenikmatan duniawi” didapati telah menyimpang dari kebenaran Kristus (Kol 2:20-23).

Banyak cara bisa digunakan untuk mengukur kerohanian seseorang. Banyak hal perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah kehidupan sehari-hari seseorang di dalam keluarganya. Bagaimana seseorang berperilaku di rumah seringkali lebih mengungkapkan diri orang tersebut yang sesungguhnya daripada tindakannya di tempat umum. Di dalam rumah nyaris tidak ada ruang untuk pencitraan diri maupun kemunafikan. Semua serba transparan.

Tidak heran, salah satu persyaratan menjadi penatua adalah kualitas kepemimpinan seseorang di dalam keluarga (1 Tim 3:4-5). Kriteria “tidak bercacat” (3:2a) bukan hanya mencakup karakter maupun talenta (3:2b-3), melainkan juga kepemimpinan di rumah (3:4-5) dan durasi pertobatan (3:6-7). Kualifikasi yang berkaitan dengan keluarga bahkan juga diterapkan pada para diaken (3:11-12). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kehidupan pribadi seseorang di dalam keluarga sebagai salah satu indikator kedewasaan rohani orang tersebut. 

Seorang kepala keluarga yang baik (ayat 4a)

Para penerjemah berbeda pendapat tentang bagaimana bagian ini seharusnya diterjemahkan. Inti perbedaan terletak pada kata partisip proistamenon (LAI:TB “kepala”). Apakah kita sebaiknya memahami ayat 4a sebagai kata benda (LA:TB “seorang kepala keluarga yang baik”) atau kata kerja (mayoritas versi “ia harus mengatur keluarganya dengan baik”)?

Di antara dua opsi ini, yang terakhir tampaknya lebih tepat. Di ayat 2-3 Paulus memang menggunakan kata benda atau kata sifat. Di ayat 4-5 dia mengganti rentetan persyaratan itu dengan partisip. Lagipula, struktur kalimat di ayat 2-3 berbeda dengan yang di ayat 4a. Hanya ayat 4a yang memiliki objek (lit. “keluarganya sendiri”; bdk. “bukan peminum, bukan pemarah, dsb.”). Yang terakhir, pemunculan kata keterangan “dengan baik” (kalōs, versi Inggris “well”) menunjukkan bahwa partisip proistamenon seharusnya dilihat sebagai kata kerja.   

Jika proistamenon di ayat 4a dipahami sebagai kata kerja, tidak salah apabila mayoritas penerjemah menambahkan kata “harus” di depannya. Bagian ini merupakan salah satu persyaratan menjadi seorang penatua (3:1-7). Sebagai sebuah persyaratan, apa yang tertulis di sana bukan hanya bersifat pilihan (opsional), melainkan keharusan. Bukan sekadar nasihat atau usulan, melainkan aturan.

Apa yang dimaksud dengan kata kerja partisip proistamenon? Dari sisi asal-usul kata, kata ini terdiri dari dua kata: pro (“di depan” atau “sebelum”) dan istēmi (“berdiri”). Berdiri di depan.

Makna yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan kepemimpinan (1 Tim 5:17 “yang baik pimpinannya”; Rm 12:8 “siapa yang memberi pimpinan”; 1 Tes 5:12 “yang memimpin kamu”). Ada di depan untuk menunjukkan jalan. Ada di depan untuk memberikan teladan. 

Sesuai dengan teks Yunani, keseluruhan ayat 4a dapat diterjemahkan sebagai berikut: “keluarganya sendiri dengan baik dia harus pimpin”. Penekanan terletak pada “keluarganya sendiri” (tou idiou autou) yang diletakkan di depan. Dia memang akan memimpin keluarga yang lain – yaitu gereja sebagai keluarga besar (ayat 5) – tetapi dia harus menunjukkan kepemimpinan yang baik terlebih dahulu dalam keluarga kecilnya di rumah (ayat 4).

Dua tanda kepemimpinan yang baik (ayat 4b-5)

Dalam teks ini Paulus tidak memberi arahan bagaimana memimpin dengan baik. Dia mengasumsikan para penatua sudah mengetahui hal ini. Karena itu, Paulus hanya berfokus pada tanda-tanda kepemimpinan yang baik. Ada dua tanda yang disinggung di sini.

Pertama, ketundukan anak-anaknya (ayat 4b “disegani dan dihormati oleh anak-anaknya”). Bagaimana perilaku seseorang di dalam rumah kadangkala sukar untuk diteropong oleh orang lain. Beberapa keluarga sangat menekankan privasi. Mereka tidak ingin membuka diri di depan orang lain. Sebagian yang lain terjebak pada pencitraan publik dan kemunafikan. Apa yang dilakukan di rumah sangat berbeda dengan di arena publik. Cara paling mudah untuk mengetahui kualitas kepemimpinan seseorang di rumah adalah dengan melihat hasilnya. Bagaimana isteri dan anak-anak berperilaku seringkali mengungkapkan kualitas seorang kepala keluarga.

Prinsip di atas memang tidak bisa diterapkan secara mutlak pada setiap keluarga. Kadangkala seorang kepala keluarga yang buruk – oleh angerah Allah - tetap memiliki anak-anak yang manis sikapnya. Sebaliknya, mereka yang bersusah-payah memimpin dengan baik kadangkala harus berhadapan dengan anak-anak yang sangat keras dan susah diatur. Bagaimanapun, secara umum prinsip di atas tetap bisa dijadikan pegangan. Anak-anak yang dididik dengan baik cenderung menghasilkan buah yang baik pula (Ams 22:6). Begitu pula kepemimpinan yang buruk mendatangkan celaka atas keluarga (1 Sam 2:22-36).

Dalam teks asli, 1 Timotius 3:4b berbunyi: “memiliki anak-anak dalam ketundukan, dengan segala kehormatan/keseriusan”. Poin utama terletak pada ketundukan anak-anak kepada ayahnya. Bukan sekadar disegani (kontra LAI:TB), tetapi ditaati.

Yang seringkali diperdebatkan oleh para penafsir adalah bagian terakhir ayat 4. Apakah “dengan segala kehormatan/keseriusan” (meta pasēs semnotētos) menerangkan tindakan ayah (ESV “with all dignity keeping his children submissive”) atau anak-anaknya (mayoritas versi)? Apakah yang dimaksud dengan semnotēs di sini: “kehormatan” atau “keseriusan”?

Tidak mudah mengambil keputusan tegas di antara dua alternatif yang ada. Berdasarkan posisi frasa meta pasēs semnotētos di bagian akhir ayat 4, saya cenderung memahami frasa ini sebagai keterangan terhadap tindakan anak-anak. Artinya, ketundukan anak-anak dilakukan dengan segala kehormatan/keseriusan. Jika pilihan ini diterima, semnotēs mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan “kehormatan”. Maksudnya, anak-anak tunduk kepada ayah mereka dengan penuh rasa hormat. Penerjemah LAI:TB memilih “disegani dan dihormati”.

Tambahan di atas sangat penting untuk diperhatikan. Ada banyak alasan mengapa seorang anak tunduk kepada orang tuanya. Beberapa karena kasihan. Beberapa karena ketakutan. Ada pula yang didorong oleh keinginan mendapatkan  sesuatu dari orang tua. Ketundukan yang baik adalah yang disertai dengan rasa hormat. Bukan takut, melainkan hormat.

Kedua, perhatian ayahnya (ayat 5). Ayat sebelumnya mungkin memberi kesan tentang seorang ayah yang tegas dan serius serta berdisiplin. Relasi dengan anak-anak terlihat sangat formal dan hirarkhis.

Kesan semacam ini ternyata keliru. Frasa “Bagaimanakah dia dapat mengurus jemaat Allah?” di akhir ayat 5 mengungkapkan sisi lain dari pemimpin keluarga yang baik. Kata “mengurus” (epimeleomai) di sini lebih tepat diterjemahkan “merawat” (lihat semua versi Inggris). Dalam Perjanjian Baru, kata epimeleomai hanya muncul di dua tempat. Pemunculan yang lain adalah dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Orang asing ini rela merawat korban perampokan oleh para penyamun (Lk 10:34-35). Jadi, ada belas kasihan, kasih, kemurahan, dan kelembutan di balik kata epimeleomai.

Memimpin keluarga dengan baik ternyata tidak hanya menuntut ketegasan, tetapi juga belas kasihan. Bukan hanya diperlukan kedisiplinan, melainkan juga kedekatan. Kasihnya tidak meniadakan disiplin. Begitu pula ketegasannya tidak meniadakan belas kasihan dan kemurahan. Ini adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

Menjaga keseimbangan di antara keduanya merupakan tugas yang tidak mudah. Bagaimanapun, hal ini merupakan ukuran kerohanian yang sejati. Seorang ayah yang rohani di rumah akan ditaati dan dihormati oleh anak-anaknya. Dia juga membangun kedekatan yang penuh kasih dengan anak-anaknya.

Begitu pula dengan anggota keluarga yang lain. Kita semua harus menjadi anggota keluarga yang baik. Saling memperhatikan dan mengasihi. Saling mengalah dan menghargai. Di situlah letak kerohanian yang sejati. Kiranya di Bulan Keluarga REC 2017 ini setiap kita menjadikan keluarga sebagai pusat kerohanian. Tempat di mana kita tampil apa adanya dan berproses menjadi seperti Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kita. Kiranya Roh Kudus memperbarui keluarga kita setiap hari. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko