Seperti yang sudah diterangkan di awal seri khotbah ini, jumlah ucapan bahagia adalah delapan. Ayat 11 dan 12 hanya merupakan penjelasan terhadap ucapan yang terakhir. Ketiganya sama-sama berbicara tentang penganiayaan, sebagaimana ditunjukkan melalui pemunculan kata kerja diōkō di tiap ayat ini.
Di antara semua ucapan bahagia, poin terakhir ini mungkin yang paling menarik (sekaligus mengagetkan). Ucapan-ucapan yang lain bersifat aktif, sedangkan ucapan ini bersifat pasif. Ini tentang apa yang dilakukan oleh orang lain kepada kita, bukan tentang apa yang kita lakukan. Lagipula, penganiayaan jelas bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Penganiayaan berdekatan dengan penderitaan. Mungkin karena itulah Tuhan Yesus sengaja memberi penegasan pada ide tentang kebahagiaan. Kata makarioi (“berbahagialah”) muncul dua kali (ayat 10-11). Ayat 12 bahkan menambahkan kata “bersukacita” (chairete) dan “bergembiralah” (agalliasthe).
Orang yang dianiaya
Teks kita hari ini tidak membicarakan tentang sembarang penderitaan. Tidak semua penderitaan adalah penganiayaan. Bahkan tidak semua penganiayaan termasuk dalam kategori penganiayaan yang membawa berkat.
Kita perlu membedakan penganiayaan yang dimaksud Tuhan Yesus di sini dengan penderitaan karena kesalahan. Jika kita menderita karena kesalahan sendiri, hal itu disebut hukuman. Wujud tindakan yang diterima mungkin sama, yaitu penganiayaan, tetapi alasannya berbeda.
Rasul Petrus pernah menyinggung tentang jenis penderitaan seperti ini (1 Pet 1:20a; 3:17). Teguran ini tampaknya tidak terlalu disimak oleh orang-orang Kristen. Sejarah gereja mencatat bahwa sebagian orang Kristen telah menderita secara cuma-cuma dan konyol. Mereka menderita karena kesalahan sendiri. Mereka tidak berhikmat dalam memberitakan injil.
Bahkan tatkala seorang Kristen menderita tanpa berbuat kesalahan, hal itu belum tentu tergolong penganiayaan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus di Matius 5:10-12. Kita bisa saja diperlakukan secara buruk oleh orang lain yang salah memahami kita. Kita juga mungkin mengalami perlakuan buruk yang tidak ada kena-mengenanya dengan alasan-alasan relijius. Bukan ini yang dimaksud di teks kita hari ini.
Penganiayaan yang sedang dibahas oleh Tuhan Yesus memiliki beberapa karakteristik. Yang pertama, penderitaan ini karena kebenaran (ayat 10). Sebagaimana sudah diuraikan di seri khotbah yang terdahulu (5:6), “kebenaran” merujuk pada gaya hidup yang benar (kesalehan). Gaya hidup kita yang benar sebagai warga kerajaan Allah bisa saja dipandang sebagai ancaman bagi orang lain, apalagi jika gaya hidup tersebut terlihat lebih baik dan benar dibandingkan gaya hidup yang ada. Sebagai contoh, kesalehan orang Kristen yang melebihi kesalehan legalistik orang-orang Farisi dan ahli Taurat (5:20) bisa menjadi sumber kebencian bagi dua golongan relijius ini.
Kedua, penderitaan ini karena Kristus (ayat 11). Penambahan “karena Aku” memberikan nuansa personal sekaligus spesifikasi. Ini bukan tentang sembarang kesalehan. Penambahan semacam ini memang diperlukan, karena dalam konteks keagamaan Yahudi pada waktu itu memang ada beragam tipe kesalehan. Di luar golongan Farisi dan ahli Taurat masih ada golongan Saduki dan Essenes (masyarakat Qumran?). Kesalehan yang dipikirkan di ayat 11 bukan hanya berkaitan dengan tradisi, melainkan dengan pribadi. Ini bukan tentang ritual atau peraturan.
Ketiga, penderitaan ini melibatkan kesalahan orang lain (ayat 11). Kata “mencela” (oneidizō) belum tentu menyiratkan kesalahan dari pihak yang mencela. Tuhan Yesus pernah mencela (mengecam) orang-orang Yahudi di kota-kota tertentu (11:20; bdk. Mrk 16:14). Karena itu, Tuhan Yesus perlu menambahkan keterangan “eipōsin pan ponēron kath’ hymōn pseudomenoi” (LAI:TB “kepada kamu difitnahkan segala yang jahat”), yang secara hurufiah berarti “mereka mengucapkan segala yang jahat tentang kalian secara keliru” (lihat KJV/ASV/RSV/NIV/ESV). “Segala yang jahat” tidak terbatas pada fitnahan saja. Ini bisa berarti tuduhan, hinaan, dan lain-lain. “Secara keliru” menunjukkan bahwa orang-orang Kristen dalam posisi tidak bersalah. Yang salah adalah orang lain.
Keempat, penderitaan ini bisa berbentuk verbal maupun non-verbal (ayat 11). Penganiayaan secara verbal tergambar jelas dari ayat 11. Ada celaan dan perkataan jahat lainnya. Namun, bukan cuma itu penderitaan yang menghadang orang-orang Kristen. Pemunculan kata “menganiaya” (diōkō) di tempat lain secara jelas menunjukkan bahwa kata ini tidak terbatas pada penganiayaan secara verbal. Orang-orang Kristen akan dikejar dari satu kota ke kota yang lain (10:23). Penganiayaan ini juga dapat berbentuk penyesahan sampai pembunuhan (23:34). Rujuan tentang penganiayaan yang dialami para nabi (5:12) menyiratkan bahwa penganiayaan di sini mencakup pembunuhan (23:35).
Penghiburan bagi yang dianiaya
Penganiayaan memang tidak menyenangkan. Resiko yang tercakup di dalamnya seringkali begitu berat. Pada dirinya sendiri penganiayaan tentu saja tidak menghadirkan penganiayaan. Walaupun demikian, melalui mata iman dan pengetahuan yang benar, kita dapat menemukan alasan-alasan untuk bersukacita.
Orang yang dianiaya karena kebenaran di dalam Kristus akan memiliki kerajaan surga (ayat 10b). Konsekuensi ini sama persis dengan yang akan diberikan pada mereka yang miskin di hadapan Allah (ayat 3). Mempunyai kerajaan Allah berarti menikmati semua kebaikan dalam kerajaan Allah (5:4-9; 11:4-5; Luk 4:17-21).
Kesamaan peredaksian dan posisi pemunculan yang unik (ada di awal dan akhir ucapan bahagia) mendorong banyak penafsir untuk menemukan kesamaan sikap antara orang yang miskin di hadapan Allah dan orang yang dianiaya karena kebenaran di dalam Kristus. Inti kesamaan terletak pada ketidakmampuan dan persandaran pada Allah. Sama seperti orang-orang miskin di hadapan Allah yang memilih untuk berharap kepada Allah saja, demikian pula mereka yang dianiaya karena kebenaran tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Mereka justru menjadi pembawa damai (5:9). Mereka memilih untuk menyerahkan semua persoalan kepada Allah.
Orang-orang yang teraniaya karena kebenaran di dalam Kristus tidak hanya memiliki kerajaan surga. Mereka juga disamakan dengan para nabi Allah (ayat 12). Poin yang disampaikan adalah kehormatan. Tuhan Yesus menyamakan mereka dalam deretan para nabi yang mati secara terhormat bagi Allah (23: 34-35; bdk. Ibr 11:32-38). Walaupun mereka tidak memiliki jabatan atau status formal sebagai nabi, namun kehidupan dan kesaksian mereka mempunyai pesan dan otoritas profetis. Mereka telah menjadi nabi secara status.
Nuansa kehormatan di atas tidak akan tertangkap dengan baik apabila kita tidak memahami konteks kultural dan relijius masyarakat Yahudi. Para nabi dan orang saleh begitu diagungkan oleh banyak orang Yahudi. Mereka rela membangun makan dan mendirikan tugu peringatan bagi nabi dan orang saleh (23:29). Kehidupan keagamaan mereka dari dahulu sampai pada abad ke-1 tidak dapat terpisahkan dari suara para nabi yang membawa pesan dari Allah.
Disamakan dengan para nabi bukan hanya menyiratkan kehormatan, melainkan juga penghiburan. Para pengikut Kristus tidak perlu merasa sendirian pada waktu menghadapi penganiayaan. Mereka bukan orang pertama yang diperlakukan secara jahat dan kejam oleh dunia. Jika para nabi mampu menghadapi penderitaan sampai pada akhirnya, mereka juga pasti akan dimampukan oleh Allah untuk menjalaninya sampai titik yang penghabisan. Soli Deo Gloria.