Ucapan Bahagia Bagian 3 (Matius 5:8-9)

Posted on 21/08/2016 | In Teaching | Leave a comment

Orang yang suci hatinya (ayat 8)

Yang dimaksud “hati” di sini bukanlah organ dalam tubuh kita. Bukan pula sekadar perasaan. Hati berdiri sebagai pusat kehidupan. Ini mencakup pikiran dan perasaan. Ini tentang aspek batiniah manusia. Hati merujuk pada kondisi moral dan relijius manusia.

Ucapan tentang kesucian hati ini sebaiknya dipahami dalam konteks relijius pada waktu itu. Orang-orang Yahudi cenderung terpaku pada berbagai macam aturan. Relasi mereka dengan Allah bersifat legalistik. Ketaatan dibatasi pada ritual dan tradisi.

Tuhan Yesus beberapa kali menegur kesalahan ini. Dia menegur golongan Farisi yang menjadikan tradisi manusia sebagai pengganti firman Allah (Mat 15:1-6). Mereka lebih menekankan ritual yang eksternal daripada kesucian internal (Mat 15:7-9). Hal ini adalah kesalahan fatal, karena segala macam kejahatan justru bermula dari hati (Mat 15:18-19). Di kesempatan yang lain, Tuhan Yesus menegur mereka: “Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik, sedangkan kamu sendiri jahat? Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Mat 12:34).

Teguran yang sama diberikan di pasal 23:25-28. Golongan Farisi mementingkan reputasi daripada karakter. Mereka lebih memusingkan penampilan luar. Apa yang ada dalam hati mereka justru kekotoran dan kebusukan. Ini sebuah kesalahan besar. Allah tidak pernah terkesan dengan penampilan. Ia melihat ke dalam hati manusia. 

Sebagai kontras dengan mayoritas bangsa Yahudi yang hatinya telah menebal (13:15), warga kerajaan Allah dituntut untuk mempunyai kesucian hati (5:8). Hal ini tidak berarti bahwa kesalehan di luar tidak penting. Sama seperti tindakan benar dimulai dari hasrat yang kuat terhadap kebenaran (lapar dan haus kebenaran), demikian pula kesucian ritual dan tindakan harus dimulai dari kesucian hati. Jadi, poin yang hendak ditekankan adalah sumbernya. Penampilan luar yang baik tetapi tidak disertai dengan kebaikan dari dalam adalah kemunafikan. Kebaikan di dalam yang tidak terpancar keluar adalah pembohongan diri sendiri. Yang di dalam pasti keluar. Yang di luar belum tentu berasal dari dalam.

Konsekuensi yang diterima oleh orang-orang yang suci hatinya adalah “melihat Allah” (5:8b). Sama seperti konsekuensi dalam ucapan bahagia yang lain, melihat Allah sebaiknya dipahami dari sisi kekinian dan futuristik. Dalam kaitan dengan yang kekinian, Mazmur 24 mengajarkan bahwa melihat Allah berarti menikmati semua kebaikan Allah. Yang boleh menumpang di rumah Allah adalah yang memiliki kesucian hati (24:4). Mereka akan menerima berkat dan keadilan (lit. “kebenaran”) dari TUHAN, karena mereka mencari wajah Allah (24:5-6). Hal yang sama diungkapkan oleh Asaf dalam mazmurnya. TUHAN baik kepada mereka yang tulus dan bersih hatinya (Mzm 73:1).

Dalam kaitan dengan yang futuristik, melihat Allah hanya terjadi pada Yerusalem Baru. Di surga kelak kita akan melihat wajah Allah (Why 22:4; 1 Kor 13:12; 1 Yoh 3:2). Ini akan menjadi pengalaman yang menakjubkan bagi kita. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang dapat melihat wajah Allah dalam kemuliaan-Nya yang sempurna (Yoh 1:18; 1 Tim 1:17; 6:16). Siapa saja yang berjumpa dengan Dia pasti akan mati. Tidak demikian halnya dengan di surga kelak. Kita akan melihat Dia muka dengan muka tanpa mengalami ketakutan dan kematian.

Orang yang membawa damai (ayat 9)

LAI:TB menerjemahkan hoi eirēnopoioi dengan “orang-orang yang membawa damai,” padahal kata ini lebih tepat diterjemahkan “pembuat damai” (versi Inggris “peacemakers”; dari kata eirēnē + poieō). Tuntutan untuk membuat damai tidak boleh disamakan dengan menjaga perdamaian atau menghindari pertengkaran. Kita memang tidak boleh memulai suatu konflik, namun yang dibicarakan di sini lebih dari itu. Kita diminta untuk menghadirkan kedamaian di tengah konflik.

Dalam bagian selanjutnya, Tuhan Yesus memberikan beberapa contoh konkrit tentang hal ini. Kita diperintahkan untuk membereskan pertengkaran dengan orang lain (5:23). Langkah ini dipandang lebih penting daripada memberikan kurban kepada Allah. Yang perlu dicatat, perasaan tidak enak ini bukan ada pada kita, tetapi pada orang lain (ayat 23b “engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau”). Jikalau pada orang lain saja kita dituntut untuk segera menyelesaikan, apalagi jika perasaan itu ada pada kita.

Tuhan Yesus juga melarang pembalasan dendam (5:39-42). Ini merupakan salah satu langkah membuat kedamaian. Bukan hanya tidak membalas, tetapi kita juga dinasihati untuk memberikan lebih banyak daripada yang seharusnya. Jika kita mampu memberikan lebih banyak dan lebih baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita, mengapa kita tidak mau melakukannya?

Dasar dari dua tuntutan di atas adalah kasih (5:43-44). Jika kita hanya mengasihi orang yang dekat atau baik terhadap kita, menghadirkan kedamaian untuk musuh akan menjadi tugas yang sukar untuk dilakukan. Sebaliknya, jika kita mengasihi semua orang, kita akan mampu membawa kedamaian bagi mereka semua.

Allah tentu saja tidak berharap bahwa kedamaian akan selalu ada. Sebaik apapun tindakan kita kepada orang lain, konflik kadangkala tidak terhindarkan. Sebagai contoh, sebagai para pengikut Yesus, kita pasti akan mengalami penganiayaan dari mereka yang menolak Dia (10:34; bdk. ayat 21-22). Nasihat bijak Paulus sangat relevan dalam hal ini: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (12:18).

Konsekuensi bagi para pembuat kedamaian adalah “disebut anak-anak Allah” (5:9b). Bentuk pasif yang digunakan menyiratkan Allah sebagai subjek. Allah akan menyebut para pembuat kedamaian sebagai anak-anak-Nya.

Kalimat di atas tidak berarti bahwa membawa damai merupakan syarat menjadi anak-anak Allah. Kata kerja yang digunakan bukan “akan dijadikan,” melainkan “akan disebut.” Kita sebaiknya melihat ini dalam terang 5:43-48. Sebagai anak-anak Allah, kita dituntut untuk meneladani Dia. Salah satunya adalah dalam hal kasih (perdamaian). Itulah bukti bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Bukan hanya bukti, tetapi juga pengakuan dari Allah (“disebut anak-anak Allah”). Pengakuan ini seharusnya menjadi berkat yang luar biasa bagi kita. Ini adalah kebanggaan kita. Allah tidak malu menyebut kita anak-anak-Nya. Allah bahkan mengakui hal tersebut.

Jika dikaitkan dengan aspek futuris dari konsekuensi ini, “disebut anak-anak Allah” merujuk pada kemuliaan sebagai anak-anak Allah (8:19, 21, 23). Kelak kita akan diproklamasikan sebagai anak-anak-Nya di dalam kemuliaan. Kita akan dibedakan dari orang-orang lain.

Hal ini sepatutnya menjadi penghiburan yang besar. Tatkala kita membuat damai di dunia ini, kita seringkali merasa dirugikan. Kebebasan kita terampas. Perasaan kita tersakiti. Kita bahkan direndahkan di depan orang. Namun, situasi ini akan terbalik pada saat penghakiman terakhir. Para pembuat kedamaian akan dimuliakan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko