Khotbah hari ini adalah pembahasan kedua tentang Ucapan Bahagia. Secara khusus kita akan belajar tentang orang yang lapar dan haus terhadap kebenaran, yang murah hatinya, dan yang suci hatinya.
Orang yang lapar dan haus kebenaran (ayat 6)
Sebelum menyelidiki apa arti “lapar dan haus” di bagian ini, kita sebaiknya menjernihkan arti “kebenaran” (dikaiosynē). Kata yang muncul berkali-kali dalam Alkitab ini memang memiliki cakupan arti yang cukup beragama, sehingga para penafsir pun berbeda pendapat tentang maknanya. Ada yang memahami kebenaran sebagai tindakan Allah dalam penghakiman. Ada pula yang memandangnya sebagai status benar di hadapan Allah karena iman kepada Yesus Kristus. Yang lain memilih untuk menafsirkan kebenaran sebagai ukuran hidup yang benar seperti yang dikehendaki Allah.
Di antara tiga alternatif di atas, yang paling memungkinkan adalah yang terakhir. Pertimbangan konteks dan pemunculan kata dikaiosynē di Injil Matius mendorong kita untuk mengaitkan kebenaran dengan ukuran hidup yang benar. Yang paling jelas adalah Matius 5:20, ketika Tuhan Yesus berkata: “Jika hidup keagamaanmu (lit. “kebenaranmu”) tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” Dari teks ini terlihat bahwa kebenaran dipahami sebagai kesalehan. Di Matius 5:10 kebenaran menjadi alasan mengapa orang-orang Kristen dianiaya, sehingga sulit dipahami jika kebenaran di sana merujuk pada tindakan Allah atau status legal kita di hadapan Allah. Sebelumnya, pada saat Yohanes Pembaptis ragu-ragu untuk melakukan tugasnya, Yesus Kristus berkata: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (3:15, lit. “seluruh kebenaran”). Kebenaran di sini berarti apa yang dilakukan oleh Yohanes dan Yesus (bdk. “kita menggenapkan”), bukan apa yang Allah lakukan maupun status manusia di hadapan Allah.
Orang yang berbahagia adalah mereka yang lapar dan haus terhadap kebenaran (dalam arti ukuran hidup yang benar di depan Allah). Penggunaan metafora “lapar dan haus” menyiratkan beberapa poin analogi yang penting.
Pertama, ada hasrat yang kuat. Sama seperti orang yang sedang kelaparan dan kehausan, keinginan untuk mendapatkan makanan dan minuman bukan sekadar keinginan yang biasa, tetapi hasrat yang kuat. Pemazmur pernah mengungkapkan situasi ini seperti rusa yang haus dan merindukan air (Mzm 42:1-2). Itulah yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus pada waktu Ia dibaptis. Hasrat-Nya yang kuat untuk menggenapi kebenaran mengalahkan kehormatan-Nya sebagai Anak Allah maupun keseganan Yohanes Pembaptis (Mat 3:14-15).
Kedua, ada persandaran yang total. Sama seperti manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa makanan dan minuman demikian pula kita sangat membutuhkan kebenaran. Bahkan tatkala hidup kita terancam sekalipun, kita lebih memilih kebenaran daripada kehidupan. Itulah yang diteladankan oleh Yesus Kristus. Walaupun Ia sangat lapar sesudah berpuasa 40 hari 40 malam, Ia tetap memilih untuk bersandar pada firman Allah daripada memuaskan kelaparan-Nya. Ia berkata kepada Iblis: “Manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (4:4).
Ketiga, ada kesinambungan yang tak terputus. Sebagaimana kebutuhan terhadap makanan dan minuman terjadi setiap hari, demikian pula kebutuhan kita terhadap kebenaran. Kita bahkan harus lebih memikirkan “kerajaan Allah dan kebenaran-Nya” (6:33) daripada kebutuhan kita sehari-hari (makanan dan pakaian). Tuhan Yesus pernah berkata kepada murid-murid-Nya: “Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh 4:34).
Semua poin analogi di atas harus dipahami dalam konteks relijius pada waktu itu. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat merasa diri sudah penuh kebenaran. Ketaatan mereka yang detil pada tradisi membuat mereka sombong. Status sebagai keturunan biologis dari Abraham membuat mereka merasa aman. Mereka tidak merasa membutuhkan kebenaran lagi. Dalam konteks seperti inilah Tuhan Yesus menasihatkan para pengikut-Nya untuk selalu memiliki rasa lapar dan haus terhadap kebenaran.
Apakah ini berarti bahwa kebenaran adalah hasil usaha manusia? Bertolak dari makna dikaiosynē di 5:6, kita tidak dapat menampik bahwa lapar dan haus terhadap kebenaran pasti melibatkan perbuatan. Kita melakukan apa yang benar. Walaupun demikian, kita juga tidak boleh mengabaikan anugerah Allah di dalamnya. Penekanan pada metafora ini lebih terletak pada hasrat daripada tindakan. Kita tidak diperintahkan untuk menghasilkan maupun mencapai kebenaran. Kita hanya merasa lapar dan haus terhadapnya. Konsekuensi yang muncul pun bukan “mereka akan mendapatkannya,” melainkan “mereka akan dipuaskan.” Bentuk pasif di sini menyiratkan Allah sebagai subjek. Dengan kata lain, Allah yang menyediakan kebenaran itu bagi umat-Nya. Di samping itu, kebenaran yang didambakan tetaplah kebenaran Allah (6:33 “kerajaan Allah dan kebenaran-Nya”).
Konsekuensi yang menyertai sikap lapar dan haus terhadap kebenaran adalah kepuasan. Penerjemah LAI:TB dengan tepat memilih terjemahan “dipuaskan” (chortasthēsontai). Bukan hanya tidak lapar lagi, tetapi sampai benar-benar kenyang. Kata dasar chortazō juga muncul di 14:20 dan 15:37 pada saat Matius menceritakan bagaimana ribuan orang makan sampai kenyang hingga masih tersisa beberapa bakul roti. Jadi, ini berbicara tentang kepuasan. Hanya orang-orang yang memiliki hasrat besar terhadap kebenaran yang akan mendapatkan kepuasan ilahi.
Kita seringkali kalah dengan dosa karena kita tidak memiliki hasrat yang cukup kuat. Kita tidak benar-benar menginginkannya. Merasa diri sudah penuh kebenaran adalah bahaya fatal. Menyadari kebutuhan terhadap kebenaran tidaklah cukup. Yang paling penting adalah hasrat yang besar untuk memilikinya.
Orang yang murah hati (ayat 7)
Apa arti “murah hati” dalam konteks ini? Sebagian besar orang memahami murah hati dalam arti suka memberi. Lawan dari murah hati adalah pelit atau kikir.
Pandangan populer ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Hampir semua versi Inggris secara tepat memilih terjemahan “merciful” (berbelas kasihan), bukan “generous” (baik hati dalam memberi). Kata sifat yang sama dikenakan pada Yesus Kristus sebagai imam besar yang berbelas kasihan kepada orang berdosa (Ibr 2:17).
Kata benda eleos juga mengandung makna yang sama. Kata ini selalu dihubungkan dengan sikap yang baik terhadap orang lain yang membutuhkan, misalnya orang berdosa atau orang yang berkekurangan. Eleos berkaitan dengan misi kedatangan Kristus ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa (9:13 “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa”). Orang-orang Farisi dinilai tidak berbelas kasihan karena menghukum orang yang tidak bersalah (12:7). Mereka juga ditegur karena mengabaikan keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan (23:23).
Dari semua pemunculan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa eleēmōn atau eleos seringkali digunakan dalam konteks penghakiman atau penilaian terhadap orang lain. Orang yang eleēmōn adalah dia yang berbelas kasihan pada saat menilai orang lain. Sama seperti Yesus Kristus, seorang yang eleēmōn ingin mengasosiasikan diri dengan orang yang ia sedang nilai, sehingga ia lebih bisa menghargai persepsi orang lain. Dia tidak mudah mengeksploitasi kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita di atas kesalahan orang lain.
Sikap ini sangat kontras dengan gaya hidup banyak orang. Kita cenderung untuk menghakimi daripada mengerti dan mengasihi (7:1-2). Pada waktu menghakimi pun, kita seringkali tidak adil. Ukuran yang berat kita berlakukan untuk orang lain, sedangkan kesalahan kita sendiri dengan mudah terlewatkan (7:3-5). Kita juga kadangkala membanggakan pembalasan kita kepada orang lain yang berbuat salah kepada kita, padahal orang yang berbelas kasihan cenderung melepaskan pengampunan (18:21-35).
Konsekuensi bagi orang yang berbelas kasihan (eleēmōn) adalah “akan beroleh kemurahan” (ayat 7b). Dalam teks Yunani, kata kerja yang muncul sebenarnya berbentuk pasif (NIV “they will be shown mercy”). Sama seperti kata kerja pasif lainnya dalam bagian akhir setiap Ucapan Bahagia, subjek dalam kata kerja itu adalah Allah sendiri. Maksudnya, orang yang berbelas kasihan kepada orang lain akan diberi belas kasihan oleh Allah.
Prinsip ini sekilas mungkin membingungkan. Apakah belas kasihan Allah bersifat bersyarat (jika kita terlebih dahulu berbelas kasihan kepada orang lain)? Tentu saja tidak. Perumpamaan tentang pengampunan di 18:21-35 sangat bermanfaat dalam menjernihkan kebingungan ini. Hamba yang berhutang 10 ribu talenta sudah dibebaskan dari hutangnya karena belas kasihan sang raja. Sang raja tidak memberi persyaratan apapun. Tatkala hamba itu tidak mau melakukan hal yang sama kepada temannya yang berhutang jauh lebih kecil daripada hutangnya dahulu kepada raja, orang itu menunjukkan dirinya sebagai orang yang tidak menghargai belas kasihan raja. Ia pantas untuk dihukum karena ia tidak memahami maupun menghargai belas kasihan ilahi. Di samping itu, Allah sendiri sudah menetapkan sebuah pola kerja rohani. Yakobus 2:13 “Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman.”
Bagaimana dengan Saudara? Apakah Saudara selama ini cenderung mudah menghakimi orang lain? Apakah penghakiman Saudara kepada orang lain terlalu keras? Maukah Saudara meneladani Yesus Kristus yang mau merendahkan diri mencari orang berdosa dan menunjukkan belas kasihan kepada mereka? Soli Deo Gloria!