Ucapan Bahagia Bagian 1 (Matius 5:3-5)

Posted on 07/08/2016 | In Teaching | Leave a comment

Salah satu ajaran Tuhan Yesus yang terpopuler selain Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) adalah Ucapan Bahagia (Mat 5:3-10). Bagian ini mengajarkan nilai-nilai kehidupan dalam kerajaan Allah. Jika dibandingkan dengan norma-norma masyarakat pada waktu itu, Ucapan Bahagia terlihat begitu berbeda. Apa yang dipuji dalam bagian ini seringkali justru direndahkan dalam tatanan dunia. Bahkan tatkala keduanya membicarakan topik yang sama, konsep di dalamnya tetap berlainan. Tidak sulit untuk menemukan kesan paradoks yang kental dalam Ucapan Bahagia.

Sebelum menguraikan masing-masing ucapan secara lebih detil, ada beberapa hal pengantar yang perlu untuk diketahui terlebih dahulu. Pertama, jumlah ucapan adalah delapan (ayat 3-10). Ayat 11-12 hanya penjelasan terhadap ayat 10. Struktur kalimat di dua ayat ini juga berbeda dengan ayat 3-10. Kata ganti yang digunakan adalah orang kedua (“kamu”), sedangkan ayat 3-10 memakai orang ketiga (“mereka”). Tidak ada janji atau konsekuensi di bagian terakhir ayat 11-12, padahal ayat 3-10 secara konsisten menulis “karena mereka akan…..”

Kedua, istilah “bahagia” (makarios) lebih mengarah pada “perasaan bahagia yang didasarkan pada sebuah fakta rohani yang baik.” Terjemahan “berbahagialah” bisa menimbulkan kesan yang subjektif dan tidak stabil. Perasaan orang sering berubah-ubah. Terjemahan “diberkatilah” terkesan kurang menekankan aspek subjektivitas yang ada. Makarios adalah titik temu antara perasaan berbahagia (psikologis) dan fakta rohani yang baik (theologis). Kita berbahagia karena kita menyadari keadaan rohani kita di hadapan Allah.

Ketiga, bagian kedua dari setiap ucapan (“karena mereka akan…”) lebih merupakan sebuah konsekuensi daripada upah, janji, atau alasan. Nilai-nilai kerajaan Allah di bagian awal Ucapan Bahagia akan membawa pada situasi di bagian terakhir. Kita akan menikmati semua di bagian akhir setiap ucapan bukan karena usaha kita. Apa yang kita nikmati tersebut juga bukan alasan mengapa kita perlu menunjukkan sikap miskin di hadapan Allah, berdukacita, bermurah hati, dan sebagainya. Apa yang akan kita nikmati juga bukan sekadar janji. Semua itu adalah konsekuensi tak terelakkan. Orang yang sudah hidup dalam kerajaan Allah pasti akan memperlihatkan nilai-nilai kerajaan dan pasti akan menikmati hasilnya.

Orang yang miskin di hadapan Allah (ayat 3)

Orang-orang miskin (hoi ptōchoi) sering disebut dalam Alkitab. Kata ptōchos kadangkala dibedakan dari penēs. Yang terakhir berarti “tidak memiliki kemewahan” (hidup sangat sederhana), yang pertama berarti “tidak memiliki apa-apa sama sekali.” Seorang ptōchos hanya mengandalkan pemberian orang lain untuk bertahan hidup.

Demikian pula dengan orang yang miskin secara rohani. Orang yang miskin di hadapan Allah menyadari bahwa ia tidak akan dapat hidup dengan kekuatannya sendiri. Ia menggantungkan hidup sepenuhnya pada Allah. Orang-orang seperti inilah yang dicari oleh Allah. Dalam Yesaya 66:2b TUHAN bersabda: “Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas (KJV/ASV “poor”) dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku.” Mazmur 34:7 “Orang yang tertindas ini (lit. “yang miskin ini”) berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya.”

Beberapa theolog mencoba memahami miskin di sini secara hurufiah dan absolut. Maksudnya, ucapan ini berlaku untuk semua orang yang miskin secara ekonomi tanpa terkecuali. Orang-orang Kristen ditantang untuk menghadirkan kebahagiaan kerajaan surga bagi mereka.

Kita perlu berhati-hati dengan usulan ini. Walaupun mengentaskan kemiskinan juga menjadi tugas setiap orang Kristen, yang ditekankan di ayat 3 adalah sikap seperti orang miskin. Pada dirinya sendiri kemiskinan belum tentu baik. Ada orang miskin tetapi sombong. Atau, orang miskin tetapi melakukan kejahatan untuk mengatasi kemiskinannya. Kemiskinan baru menjadi baik apabila disertai dengan sikap yang tak berdaya di hadapan Allah. Dengan kata lain, ucapan bahagia ini dapat berlaku pada siapapun (baik kaya maupun miskin), selama orang itu menunjukkan persandaran yang total pada Allah.

Konsekuensi yang akan dinikmati oleh mereka yang miskin di hadapan Allah adalah “merekalah yang empunya kerajaan surga.” Fakta bahwa “memiliki kerajaan surga” muncul di bagian paling awal (ayat 3) dan akhir (ayat 10) menyiratkan betapa pentingnya konsekuensi ini. Ini memayungi semua yang ada di tengah-tengahnya. Maksudnya, apapun yang akan dinikmati di ayat 4-9, semua itu harus dipahami dalam konteks kepemilikan kerajaan surga.

Istilah “kerajaan surga” tidak perlu dibatasi pada kerajaan di kekekalan. Dalam Injil Matius, istilah “kerajaan surga” seringkali sinonim dengan “kerajaan Allah.” Tidak seperti penulis lain yang menggunakan “kerajaan Allah,” Matius lebih memilih “kerajaan surga.” Jadi, kerajaan surga adalah kerajaan Allah.

Mempunyai kerajaan Allah berarti menikmati semua berkat di dalamnya, baik sekarang maupun di kekekalan kekal. Melalui pelayanan Mesias, kabar baik diberitakan pada mereka yang miskin (11:4-5; bdk. Yes 61:1). Segala sesuatu yang baik yang menjadi karakteristik kerajaan Allah akan menjadi milik mereka yang bersandar total pada Allah. Jadi, mereka yang menyadari dirinya tidak memiliki apa-apa sebenarnya adalah mereka yang mempunyai segala-galanya.

Orang yang berdukacita (ayat 4)

Sekilas ungkapan “berbahagialah orang yang berdukacita” tampak kontradiktif. Bagaimana seorang yang berdukacita dapat berbahagia? Tuhan Yesus jelas tidak sedang membicarakan segala jenis dukacita. Ia tidak sedang memikirkan perasaan susah akibat kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai.

Dukacita yang dimaksud dalam ucapan bahagia ini berkaitan dengan kerajaan Allah dan kedatangan Yesus sebagai Mesias. Jika orang miskin di ayat 3 bersumber dari nubuat mesianis di Yesaya 61:1, maka orang yang berdukacita di ayat 4 ini juga harus dihubungkan dengan teks mesianis itu. Yesaya 61:2-3 menjelaskan bahwa Mesias akan datang untuk menghibur semua orang yang berkabung dan menggantikan semua tanda kedukaan dengan sukacita yang melimpah.

Mereka yang sedang berkabung di Yesaya 61:1-3 adalah bangsa Yehuda yang sedang merenungkan pembuangan ke Babel. Ketidaktaatan mereka terhadap Hukum Taurat membuat mereka dibuang oleh TUHAN dari tanah perjanjian. Mereka dalam keadaan keadaan sengsara, remuk hati, tertawan dan terkurung akibat dosa-dosa mereka. Itulah kedukaan mereka, berduka karena dosa. Kedukaan yang berhubungan dengan pertobatan dari dosa.

Paulus pernah menyinggung tentang kedukaan semacam ini. Tegurannya yang keras terhadap jemaat Korintus membuat mereka bersusah hati. Namun, kesusahan itu justru menjadi jembatan pertobatan (2 Kor 7:8-11). Berkali-kali dalam teks ini Paulus menyebut dukacita ini “menurut kehendak Allah.”

Bukan hanya dosa kita sendiri yang perlu ditangisi. Kita juga sepatutnya meratapi begitu banyak dosa lain dalam dunia. Begitu banyak orang yang melakukan dan membanggakan dosa mereka. Bahkan mereka memandang dosa sebagai kenikmatan. Sama seperti Lot, kita seharusnya “terus-menerus menderita oleh cara hidup orang-orang yang tak mengenal hukum dan yang hanya mengikuti hawa nafsu mereka saja” (2 Pet 2:7). Pemazmur dengan sedih berkata: “Air mataku berlinang seperti aliran air, karena orang tidak berpegang pada Taurat-Mu” (Mzm 119:136).

Siapa saja yang berdukacita seperti ini, entah karena dosanya sendiri atau dosa-dosa orang lain, ia akan dihibur. Bentuk kata kerja pasif yang tidak disertai subjek eksplisit ini mengarah pada Allah sebagai subjek. Ini biasanya disebut pasif ilahi (divine passive). Allah akan memberikan penghiburan.

Sesuai dengan konteksnya, penghiburan ini berhubungan dengan perluasan kerajaan Allah. Seperti biji sesawi yang bertumbuh menjadi tanaman yang besar dan ragi yang mengkhamirkan seluruh adonan, demikianlah kerajaan Allah akan terus melebar di muka bumi (13:31-33). Itulah pengharapan mesianis yang dinubuatkan oleh para nabi. Habakuk bernubuat: “Sebab bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang menutupi dasar laut” (Hab 2:14). Senada dengan itu, Yesaya juga berkata: “Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes 11:9).

Orang yang lemah-lembut (ayat 5)

Ungkapan “lemah-lembut” dalam Bahasa Indonesia dapat menimbulkan kesan yang keliru, seolah-olah hal ini berhubungan dengan kelemahan. Orang yang lemah-lembut seringkali dipahami sebagai orang dengan karakter yang lemah, tidak mempunyai kekuatan, atau tukang kompromi yang penakut. Semua ini tidak cocok dengan kata hoi praeis di ayat ini. Tuhan Yesus menyebut diri-Nya sebagai seorang yang praus (11:29). Pada waktu Ia memasuki Yerusalem sebagai Raja dengan menunggangi keledai, penulis Injil Matius me,andang itu sebagai penggenapan sebuah nubuat dari kitab suci: “Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut (praus) dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda” (21:5; Zak 9:9). Jadi, kelemahlembutan tidak identik dengan kelemahan.

Penekanan pada istilah “lemah-lembut” terletak pada sikap orang itu, bukan pada apa yang ia miliki. Tidak peduli apakah orang itu lemah atau kuat, yang disorot adalah sikapnya. Orang yang memilih untuk berserah kepada Allah daripada mengandalkan kekuatan sendiri tergolong lemah-lembut. Orang yang tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk menekan orang lain juga layak dikategorikan sebagai orang yang lemah-lembut. Pada dasarnya orang yang lemah-lembut adalah orang yang kuat untuk mengendalikan kekuatannya. Ia tidak diperbudak oleh kekuatannya. Dalam kaitan dengan mereka yang tidak memiliki kekuatan apapun, kelemah-lembutan berarti kesediaan yang tulus untuk menantikan pertolongan Tuhan. Tidak mengomel dan mengumpat di tempat sunyi, tidak mengutuk maupun menyimpan kepahitan di dalam hati. Hanya berserah saja.

Ada konsekuensi manis bagi yang lemah-lembut. Mereka akan mewarisi bumi (ayat 5b). Ini merupakan kutipan dari Mazmur 37:11: “Tetapi orang-orang yang rendah hati (lit. “lemah-lembut”) akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah.” Terlepas dari apakah ayat ini dipahami secara hurufiah atau figuratif, inti poin yang ingin disampaikan adalah pembalikan keadaan. Orang yang lemah-lembut sekarang mungkin terlihat lemah. Orang yang mengalah sekarang mungkin dianggap kalah. Namun, di kemudian hari, dalam kerajaan Allah yang semakin luas dan pasti, orang-orang yang lemah-lembut dan mengalah ini yang justru akan mendapatkan tempat terhormat. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko