Merebaknya wabah virus Corona Covid-19 di seluruh dunia telah menghadirkan kecemasan dan ketakutan. Ketika jumlah pasien Corona di nusantara semakin meningkat secara cukup tajam dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia tidak lagi bisa menganggap sepi ancaman pandemi ini. Semua orang, termasuk orang-orang Kristen, berusaha untuk menyikapi situasi ini sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Seperti yang bisa diduga, tidak semua orang Kristen berbagi keyakinan yang sama. Sebagian mengalami ketakutan yang berlebihan. Sebagian yang lain tampak tenang. Kelompok yang terakhir ini meyakini bahwa wabah dan tulah tidak akan menimpa orang yang beriman. Banyak ayat dimunculkan sebagai dukungan. Salah satunya adalah Mazmur 91.
Penafsiran historis terhadap teks ini menunjukkan bahwa Mazmur 91 memang telah menjadi penghiburan dan pengharapan bagi bangsa Yahudi maupun umat Kristen di sepanjang zaman. Sebagian orang bahkan menjadikan teks ini sebagai mantera maupun bacaan wajib tiap malam, terutama ketika bencana datang menghadang. Beberapa misionaris yang menghadapi tantangan besar di ladang juga menjadikan teks ini sebagai ayat favorit mereka.
Menjadikan Mazmur 91 sebagai penghiburan di tengah bahaya yang datang memang wajar. Beragam kata yang berkaitan dengan perlindungan muncul berkali-kali dalam teks ini: lindungan (ayat 1), naungan (ayat 1), perlindungan (ayat 2, 9), pertahanan (ayat 2), perisai dan pagar tembok (ayat 4), perteduhan (ayat 9), keselamatan (ayat 16). Begitu pula pelbagai kata kerja yang mengarah pada ide yang sama: melepaskan (ayat 3), menudungi (ayat 4), menjaga (ayat 11), menatang (ayat 12), meluputkan dan membentengi (ayat 14). Sehubungan dengan kasus virus Corona Covid-19, mazmur ini menjanjikan bahwa penyakit sampar dan menular tidak akan menakutkan bagi orang yang beriman (ayat 5-6). Walaupun ribuan orang akan rebah, kita hanya akan menonton saja (ayat 7-8).
Benarkah mazmur ini menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya? Benarkah orang Kristen tidak mungkin tertular suatu wabah? Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah peristiwa buruk sama sekali tidak akan menimpa orang percaya.
Pertama, fungsi awal mazmur ini dalam konteks ibadah. Jika kita memerhatikan dengan cermat, mazmur ini menggunakan kata ganti orang yang berlainan. Di ayat 1-2 pemazmur berbicara tentang “orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa”. Mulai ayat 3-13 pemazmur menggunakan sapaan “engkau”. Ayat 14-16 menampilkan Allah sebagai pembicara. Perbedaan kata ganti ini diyakini oleh banyak penafsir sebagai petunjuk ke arah penggunaan mazmur ini dalam konteks ibadah (liturgi). Ada kemungkinan mazmur ini dinyanyikan secara bersahut-sahutan selama ibadah.
Jika benar demikian, semua janji dalam mazmur ini hanya berlaku secara umum bagi umat Allah. Keadaan spesifik masing-masing orang mungkin akan berbeda. Allah mungkin memiliki rencana tertentu bagi individu tertentu. Walaupun demikian, mazmur ini secara umum bisa dijadikan penghiburan di tengah ketakutan.
Kedua, jenis bahaya yang dimaksud. Semua bahaya yang disebutkan dalam mazmur ini – peperangan (ayat 5), penyakit (ayat 6), malapetaka dan tulah (ayat 10) – sebaiknya dipahami sebagai hukuman dari Allah kepada orang-orang fasik. Dugaan ini didukung secara eksplisit oleh ayat 8: “Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik”. Selain itu, penggunaan istilah “jerat penangkap burung” (ayat 3) dan “tulah” (ayat 10) mengarah pada maksud jahat dari orang-orang fasik yang mencoba menciderai orang percaya, tetapi Allah merespon itu dengan hukuman. Dalam situasi seperti ini, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa semua upaya jahat itu tidak akan berhasil. Kalaupun berhasil, hal itu justru akan mengerjakan kebaikan bagi kita (bdk. Kej. 50:20).
Jika maksud pemazmur memang seperti itu, Mazmur 91 tidak boleh diterapkan secara mutlak dalam konteks persebaran Corona Covid-19. Tidak ada tanda-tanda bahwa wabah ini merupakan hukuman Allah bagi orang fasik. Ini adalah persoalan biasa. Siapa saja bisa terpapar. Beberapa pasien Corona adalah orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.
Ketiga, jenis sastra teks ini yang puitis. Untuk memahami maksud suatu teks, pembaca perlu mengetahui jenis sastra (genre) dari teks tersebut. Kita tidak akan membaca buku sejarah layaknya membaca sebuah puisi, begitu pula sebaliknya. Masing-masing jenis sastra memiliki karakteristik dan aturan penafsiran sendiri-sendiri. Hal yang sama berlaku pada Mazmur 91.
Teks ini ditulis dalam bahasa puisi: beragam metafora, permainan kata, pengulangan ide, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Sebagai contoh, marilah kita melihat ayat 13: “Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga”. Apakah kita seharusnya menafsirkan bagian ini secara hurufiah? Tentu saja tidak! Akan sangat konyol dan memalukan kalau ada orang Kristen yang secara gegabah melangkahi dan menginjak binatang-binatang buas sambil berharap dia akan baik-baik saja. Teks ini tidak untuk diterapkan secara hurufiah.
Keempat, cakupan penerima janji. Semua janji di mazmur ini bersifat bersyarat (kondisional). Janji-janji itu tidak berlaku untuk semua orang atau siapa saja. Di awal mazmur ini sudah diajarkan bahwa kebaikan Allah di sini hanya ditujukan kepada mereka yang “duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa” (ayat 1). Kata “duduk” (Ibrani yÄshab) seharusnya diterjemahkan “berdiam”. Bukan sekadar duduk, tetapi memang tinggal di sana (lihat semua versi Inggris). Terjemahan “bermalam” (lûn) menyiratkan istirahat atau ketenangan setelah bepergian jauh (LAI:TB “bermalam”). Dengan kata lain, orang yang berdiam dan bermalam dalam TUHAN adalah mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan kubu pertahanan (ayat 2). Metafora di ayat 1-2 ini selanjutnya diulang lagi di ayat 9. Jadi, sekali lagi, janji ini hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan.
Apakah yang dimaksud dengan “menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan”? Pemazmur menjelaskan itu di ayat 14-15. Berlindung dan berteduh pada TUHAN berarti memiliki relasi personal dengan Allah yang intim (ayat 14). Keintiman ini diungkapkan melalui frasa “hatinya melekat kepada-Ku” (LAI:TB). Kata Ibrani di balik terjemahan ini bisa berarti “mengasihi” atau “menempel pada sesuatu”. Beberapa versi Inggris menggabungkan dua makna ini sekaligus (ESV “he holds fast to me in love”; RSV “he cleaves to me in love”). Ungkapan lain yang menggambarkan keintiman tersebut adalah “mengenal nama-Ku”. Kata kerja “mengenal” di sini tentu saja bukan sekadar tahu, tetapi benar-benar dekat. Istilah “nama” di sini pun bukan sekadar sebutan atau panggilan. Nama berbicara tentang Pribadi. Dengan kata lain, mengenal nama berarti mengenal secara dekat.
Menjadikan TUHAN sebagai perlindungan dan perteduhan juga berarti menyandarkan diri pada Allah melalui doa (ayat 15). Yang mendapatkan janji TUHAN adalah mereka yang “berseru kepada-Ku”. Doa ini lahir dari kelemahan, keterbatasan, dan ketidakberdayaan (“dalam kesesakan”). Di samping itu, doa ini juga muncul dari iman, dari hati yang berani berkata: “Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai” (ayat 2).
Kelima, pemahaman Tuhan Yesus tentang mazmur ini. Pada momen pencobaan di padang gurun, Iblis mengutip salah satu ayat dari mazmur ini (ayat 11-12). Yang dikutip tentu saja yang berisi janji ilahi bahwa TUHAN akan menyuruh para malaikat untuk menopang orang benar sehingga kakinya tidak akan terantuk (Mat. 4:6). Bukankah Yesus orang yang benar? Bukankah para malaikat pasti akan menatang Dia? Lalu apakah Yesus akhirnya benar-benar melompat dari bubungan bait Allah? Tentu saja tidak! Tuhan Yesus memahami bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan dan diterapkan secara sembarangan. Menggunakan ayat ini secara sembrono berarti mencobai TUHAN (Mat. 4:7).
Dengan memahami 5 (poin) di atas, kita tidak akan kaget ketika melihat seorang yang sungguh-sungguh beriman ternyata terkena suatu wabah atau bencana. Janji-janji di Mazmur 91 memang berlaku secara umum. TUHAN pasti memiliki rencana yang lebih baik bagi orang tersebut. Sikap Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis dengan menggunakan ayat ini memberikan pencerahan penting untuk memandang janji-janji ilahi ini dengan benar. Bagi Yesus Kristus, yang terpenting bukan perlindungan bagi diri sendiri, melainkan penggenapan rencana Allah. Untuk apa memperoleh perlindungan tetapi gagal memenuhi panggilan Allah? Bukankah perlindungan dari Allah seharusnya ditujukan untuk penggenapan rencana-Nya? Jika Allah memandang bahwa kematian seseorang lebih memuliakan Dia, untuk apa Dia memberikan kelepasan dari kematian? Namun, jika kelepasan memang lebih bermanfaat bagi penggenapan rencana-Nya, Allah pasti akan campur tangan. Intinya, baik hidup atau mati, semua untuk kepentingan Allah. Mana saja yang lebih memuliakan TUHAN, itu yang kita jadikan pilihan.
Pemahaman di atas juga menghindarkan kita dari gaya hidup yang sembrono. Semua upaya untuk menghindarkan diri dari pandemi virus ini harus dilakukan: sering mencuci tangan dengan benar, menjaga pola makan yang sehat, beristirahat dengan cukup, tidak stres, rajin berolah raga dan menghindari kerumunan orang. Kita juga berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi penyebar atau perantara virus. Hindari aktivitas yang bisa membuat kita terpapar. Sama seperti Kristus yang tidak mau sembarangan menerapkan janji-janji Allah di mazmur ini, demikian pula dengan kita. Bagian kita adalah menjaga diri sebaik mungkin sambil terus mendekat kepada Allah. Jika sesuatu yang buruk tetap terjadi, hal itu berarti Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik daripada sekadar perlindungan. Allah sedang menyertakan kita dalam rencana-Nya. Soli Deo Gloria.