Transformasi Radikal Melalui Injil (Yakobus 1:18)

Posted on 17/06/2018 | In Teaching | Leave a comment

Kata “injil” pasti sudah tidak asing di telinga orang-orang Kristen. Mereka juga pasti mengetahui ada keterkaitan antara injil dan keselamatan. Persoalannya, injil seperti apakah yang mereka percayai? Apakah mereka sungguh-sungguh memahami seberapa pentingkah injil itu bagi keselamatan mereka?

Sebagian orang mengidentikkan “injil” (kabar baik) dengan kenyamanan dalam kehidupan: kemakmuran, kesehatan, dan keberhasilan. Bagi sebagian yang lain, injil hanyalah sebuah konsep teologis yang kuno dan tidak relevan. Tidak heran, kehidupan mereka terlihat tidak berbeda dengan dunia, tanpa sentuhan kuasa injil.  

Teks kita hari ini mengajarkan betapa pentingnya injil bagi keselamatan kita. Tanpa injil yang benar manusia tidak mungkin bisa mengalahkan naturnya yang tercemar. Transformasi yang Allah lakukan sangat radikal (sampai ke akar), karena persoalan manusia memang sangat mendasar (natur yang tercemar).

Untuk memahami poin ini, kita perlu mendiskusikan terlebih dahulu apakah teks ini memang sungguh-sungguh berbicara tentang kelahiran kembali. Hal ini perlu diperjelas di awal, karena para penafsir Alkitab berbeda pendapat tentang apa yang dirujuk oleh kata apokyeō (LAI:TB “menjadikan”) di ayat 18 ini. Berdasarkan pemunculan kata ini dalam Alkitab maupun literatur lain, kata ini secara hurufiah dapat diterjemahkan: “melahirkan” (1:15, 18; 4Mak. 15:17). Persoalannya, kata ini bisa merujuk pada penciptaan alam semesta, umat manusia, atau umat pilihan. Apakah Yakobus sedang memikirkan penciptaan (alam semesta atau umat manusia) atau penebusan (umat pilihan)? Atau, dengan istilah lain, apakah ayat ini harus dipahami secara kosmologis (berkaitan dengan keberadaan seluruh alam semesta) atau soteriologis (berkaitan dengan keselamatan orang-orang percaya)?

Memilih salah satu alternatif bukanlah tugas yang mudah. Analisa konteks bisa berpihak pada salah satu opsi, tergantung aspek mana yang ingin ditekankan. Rujukan terhadap penciptaan jelas tidak dapat disangkali. Ungkapan “Bapa segala terang” (ayat 17) dan “segala ciptaan” (ayat 18b) mengarah ke sana. Kisah penciptaan juga melibatkan firman Allah (ayat 18 “oleh firman kebenaran”). Lagipula, kata apokyeō terkesan tidak lazim digunakan untuk kelahiran kembali. Kata yang lebih sering muncul dalam konteks kelahiran kembali adalah gennaō (Yoh. 1:13; 3:3, 5; 1Pet. 1:3, 23). Jika Yakobus memang memikirkan penciptaan alam semesta, kebaikan Allah kepada manusia yang sedang dia bicarakan berhubungan dengan posisi manusia sebagai yang sulung dari segala ciptaan.

Penyelidikan yang lebih seksama mengarahkan kita pada alternatif yang berbeda. Beberapa rujukan tentang kisah penciptaan tidak selalu harus ditafsirkan secara kosmologis. Keselamatan rohani dalam Perjanjian Baru memang sering digambarkan sebagai penciptaan yang baru (2Kor. 5:17; Gal. 6:15; Ef. 2:10), sehingga penggunaan kosa kata atau ide seputar penciptaan jelas tidak terlalu mengagetkan. Sehubungan dengan penggunaan kata apokyeō (bukan gennaō), hal ini tidak perlu dilebih-lebihkan. Kata ini sudah muncul di ayat 15. Pemunculannya di ayat 18 berfungsi untuk menciptakan sebuah kontras: apa yang dihasilkan oleh hawa nafsu dan apa yang dihasilkan oleh Allah. Hawa nafsu melahirkan dosa (1:15, apokyeō), sedangkan Allah melahirkan kita sebagai anak-anak-Nya (1:18, apokyeō). Pemunculan kata “buah sulung” (aparchē) yang dikenakan pada orang-orang Kristen juga bukan hal yang asing (2Tes. 2:13; Why. 14:4; juga Rm. 16:5; 1Kor. 16:15).

Argumen paling kuat bagi penafsiran soteriologis adalah frasa “firman kebenaran” (ho logos tēs aletheias). Frasa ini muncul sebanyak empat kali di Perjanjian Baru; semua merujuk pada injil sebagai instrumen keselamatan (2Kor. 6:7; Ef. 1:13; Kol. 1:5; 2Tim. 2:15). Di samping itu, Yakobus di bagian selanjutnya (1:21-23) menyinggung lagi tentang firman (logos). Secara khusus, dia menyebutkan bahwa firman itu “berkuasa menyelamatkan jiwamu” (ayat 21). Jika dipertimbangkan seluruhnya, kita dengan aman dapat menyimpulkan bahwa kelahiran kembali di ayat 18 terjadi melalui injil. Jadi, ayat ini memang benar-benar berbicara tentang kelahiran kembali.

Bermodalkan penjelasan di atas, marilah kita sekarang mempelajari beberapa aspek penting yang berkaitan erat dengan kelahiran baru. Yang pertama, kelahiran baru berkaitan dengan natur yang berdosa. Seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata apokyeō di ayat 15 dan 18 bukanlah sebuah kebetulan. Yakobus berusaha untuk menekankan sebuah kontras. Hawa nafsu (LAI:TB “keinginan”) melahirkan dosa, sedangkan Allah melahirkan kita sebagai anak-anak-Nya. Poin yang ingin disampaikan cukup jelas: sama seperti hawa nafsu merupakan bagian dari natur manusia yang berdosa, demikian pula kelahiran kembali menyentuh transformasi natur. Natur yang berdosa dikalahkan, sehingga orang berdosa dimampukan untuk meresponi injil dan mengalahkan dosa. Memang natur berdosa tidak seluruhnya diubahkan sekarang. Namun, natur itu dikalahkan pada saat Roh Kudus melahirbarukan seseorang. Tanpa kelahiran baru melalui injil, orang berdosa tidak mungkin bisa menginginkan Allah.

Yang kedua, kelahiran baru merupakan inisiatif dari Allah. Secara logis, hal ini tentu saja sudah jelas. Sama seperti kelahiran secara jasmaniah, tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk ada di dunia. Seorang bayi lahir tanpa kehendaknya sendiri. Begitu pula dengan kelahiran baru. Walaupun demikian, Yakobus tetap memberikan penegasan sebagai sebuah penekanan: “atas kehendak-Nya sendiri” (boulētheis). Poin ini selaras dengan yang diajarkan oleh Yohanes: “orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh. 1:13).

Penekanan pada anugerah Allah ini membawa kita untuk mengaitkan Yakobus 18 dengan ayat sebelumnya. Di ayat 17 Yakobus sudah membahas tentang pemberian Allah yang baik dan anugerah-Nya yang sempurna. Nah, salah satu wujud dari kebaikan itu adalah kelahiran baru. Di antara begitu banyak kebaikan ilahi, Yakobus sengaja berfokus pada kelahiran baru. Dia tidak menyinggung tentang kemakmuran, kesehatan, maupun keberhasilan.   

Yang ketiga, kelahiran baru menjadikan kita buah sulung di antara semua ciptaan. Kelahiran baru bukanlah tidak akhir. Ini hanyalah instrumen. Tujuannya adalah menjadikan orang-orang percaya sebagai buah sulung (aparchē). Metafora ini pasti tidak asing bagi orang-orang Yahudi. Mereka sudah terbiasa dengan konsep buah sulung.

Persoalannya, aspek apa yang ingin disampaikan melalui metafora ini? Dalam Alkitab, buah sulung mengandung dua konotasi. Buah sulung bisa menyiratkan kepemilikan oleh Allah. Semua sulung, baik dari manusia, binatang, atau tanaman, adalah milik Tuhan; mereka dipersembahkan kepada Allah (Kel. 22:29-30; Bil. 18:8-12; Ul. 18:3; 26:2, 10; Im. 27:26; Yeh. 20:40). Buah sulung juga bisa menyiratkan jaminan bagi hasil panen yang penuh di kemudian hari, misalnya Yesus sebagai yang sulung dari orang-orang yang dibangkitkan (1Kor. 15:20; Kol. 1:18). Beberapa orang Kristen merupakan buah sulung di kota tertentu (Rm. 16:5; 2Tes. 2:13).

Kita sebaiknya tidak memisahkan dua konotasi yang ada. Orang-orang percaya adalah milik Allah. Penebusan Kristus menjadikan mereka harta kesayangan Allah. Walaupun demikian, penebusan tidak berhenti sampai di situ saja. Selain bersifat personal, penebusan juga bersifat kosmologikal. Kristus bukan hanya sebagai Kepala Gereja, tetapi sekaligus Kepala dari segala yang ada. Seluruh ciptaan pada akhirnya akan direstorasi oleh Allah melalui Kristus Yesus. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko