Banyak orang merasa sendirian di tengah keramaian. Tidak ada perhatian. Tidak ada kebersamaan. Merasa asing, bahkan di tengah habitatnya sendiri. Itulah potret dunia.
Bagaimana dengan situasi di gereja-gereja? Adakah orang-orang yang merasa “terhilang” di tengah-tengah kita? Adakah yang merasa terabaikan, bahkan tercampakkan?
Dalam teks hari ini Paulus menunjukkan kesamaan dan kebersamaan seluruh orang percaya. Walaupun yang dia sorot terutama adalah gereja secara universal yang tidak terlihat, tetapi prinsipnya tetap berlaku pada gereja-gereja lokal yang terlihat. Bukankah gereja lokal merupakan cerminan gereja universal?
Seperti yang sudah diuraikan di khotbah sebelumnya dari ayat 11-18, dalam konteks ini Paulus sedang membahas tentang tembok kultural yang membentang antara bangsa Yahudi dan bangsa lain. Halangan rasial ini sempat mempengaruhi hubungan di antara orang percaya. Apakah yang non-Yahudi harus disunat dan dituntut menaati Hukum Taurat? Apakah aturan halal - haram atau tahir – najis versi Yahudi perlu dipertahankan dan diberlakukan pada semua orang percaya?
Di tengah situasi yang pelik ini, Paulus memulai dengan membangun sebuah teologi yang tepat. Teologi harus mendahului strategi. Identitas (di hadapan Tuhan) harus mendahului aktivitas (di depan orang). Siapa kita (who) lebih penting daripada apa (what) atau bagaimana (how) kita melakukan. Melalui karya penebusan Kristus, semua orang percaya – tidak peduli latar belakang etnis mereka – dipersatukan dan memperoleh jalan masuk yang sama kepada Allah yang benar (2:11-18).
Nah, ayat 19-22 yang akan dibahas hari ini merupakan kelanjutan atau rangkuman dari apa yang sudah disampaikan di ayat 11-18 tadi. Ada perubahan status (identitas) yang terjadi di dalam Kristus. Bangsa-bangsa non-Yahudi yang dahulu jauh dan terpisah sekarang sudah menjadi dekat (2:11-13, 17). Bukan cuma dekat, tetapi bahkan menjadi satu manusia baru (2:14-16).
Paulus mencoba menerangkan kedekatan dan kesatuan ini melalui tiga metafora yang berbeda: kewarganegaraan (2:19a), kekeluargaan (2:19b) dan bangunan (2:20-22). Poin utama yang ditekankan pada masing-masing metafora berbeda-beda, namun saling melengkapi dan menegaskan satu dengan lainnya.
Satu warga negara (ayat 19a)
Di bagian sebelumnya (ayat 12) Paulus sudah menyatakan bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi dahulu tidak termasuk kewargaan (politeia) Israel. Artinya, mereka bukan umat perjanjian dengan segala keistimewaan dan kelebihannya. Mereka dipandang sebelah mata. Mereka hanyalah masyarakat kelas dua.
Keadaan mereka dahulu dapat digambarkan dengan dua kata: orang asing (xenos) dan pendatang (paroikos). Tidak mudah membedakan arti keduanya, karena sangat berkaitan, bahkan dalam beberapa kasus sinonim (terutama di Septuaginta). Jika pembedaan tetap ingin dilakukan, yang ke-1 mungkin lebih ke arah pelancong atau pendatang, sedangkan yang ke-2 ke arah orang yang diam bersama tetapi berasal dari tempat lain (residen asing).
Terlepas dari bagaimana seseorang menyamakan atau membedakannya, xenos dan paroikis digunakan sebagai kontras dengan warga negara. Orang-orang non-Yahudi yang dulu tidak termasuk kewargaan Israel (politeia, ayat 12) sekarang disebut “kawan sewarga” (sympolitēs, ayat 19a). Kewarganegaraan di sini jelas bukan merujuk pada teokrasi Yahudi, tetapi kerajaan Allah (bdk. Flp. 1:27). Mereka bukan hanya sewarga dengan orang-orang Yahudi Kristen, tetapi kawan sewarga dari orang-orang kudus. Sebutan ini merujuk pada seluruh orang percaya, baik di Efesus (1:1) maupun tempat-tempat lain (1:15). Jika demikian, mereka termasuk yang memiliki pengharapan tentang kekayaan kemuliaan (1:18).
Bagi jemaat mula-mula waktu itu, kewarganegaraan merupakan hal yang penting. Menjadi warga negara berarti memiliki hak dan keistimewaan tertentu (bdk. kegunaan warga negara Romawi bagi Paulus di Kis. 16:38). Bagaimana dengan warna negara kerajaan Allah? Mereka merasa tenang karena seluruh kekuasaan dan pemerintahan berada di bawah Kristus Yesus (1:20-21).
Satu keluarga (ayat 19b)
Perpindahan metafora dari warga negara (sympolitēs) ke keluarga (oikeios) sangat bisa dipahami. Dari yang luas menjadi sempit. Dari yang legal menjadi relasional. Intinya, perpindahan ini menyiratkan hubungan yang lebih intim.
Di samping itu, kata keluarga (oikeios) memiliki akar kata oikos (lit. “rumah”). Nah, akar kata yang sama juga muncul untuk kata-kata lain di ayat 19-22: “pendatang” = paroikos (2:19a), “dibangun” = epoikodomēthentes (2:20), “bangunan” = pokodomē (2:21), “dibangunkan” = synoikodomeisthe (2:22), “tempat kediaman” = katoikētērion (2:22).
Gambaran ini menyiratkan relasi antar orang percaya dan sekaligus relasi mereka dengan Allah sebagai Bapa. Allah bukan hanya Bapa dalam arti secara umum sebagai sumber keberadaan kita (bdk. 3:14-15), tetapi Dia adalah Bapa dalam arti yang khusus: kita adalah anak-anak Allah melalui karya Kristus (1:5). Di dalam Kristus kita telah diadopsi sebagai anak. Status ini menyediakan salah satu fondasi kesatuan yang penting (4:6).
Menurut budaya pada waktu itu, istilah oikeios tidak hanya berbicara tentang keintiman. Ini juga berbicara tentang banyak hal: perteduhan, perlindungan, identitas, dan keamanan. Situasi ini memang topikal masyarakat Mediteranian kuno. Berbeda dengan budaya sekarang yang cenderung individual, masyarakat dulu cenderung komunal. Tidak ada pribadi yang benar-benar mandiri. Kehidupan seseorang dikaitkan dengan dan sangat bergantung dengan komunitasnya. Dalam hal ini adalah keluarga besarnya.
Apakah gereja lokal – sebagai cerminan dari gereja universal – sudah menjadi tempat perteduhan dan perlindungan di mana semua jemaat merayakan identitas mereka sebagai anak-anak Allah dan merasa aman di dalamnya? Sebuah pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban segera.
Satu bangunan (ayat 20-22)
Pergeseran metafora terjadi lagi di bagian ini. Dari keluarga ke bangunan (yaitu bait Allah). Pergeseran ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Bait Allah juga sering disebut sebagai rumah Allah. Lagipula, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, beberapa kata di ayat 20-22 memiliki akar kata yang sama dengan oikeios, yaitu oikos.
Orang-orang non-Yahudi yang percaya kepada Yesus Kristus bukan hanya memiliki jalan masuk kepada Bapa (2:18). Mereka sekaligus sebagai bait Allah yang kudus (2:21), tempat kediaman Allah (2:22). Kebenaran ini merupakan penggenapan berbagai nubuat dalam kitab suci bahwa orang-orang dari berbagai bangsa akan bersatu dengan orang-orang Israel di bait Allah (Yes. 2:4; Mik. 4:3). Bukan bait Allah secara fisik di Yerusalem, namun seluruh orang percaya sebagai tempat kediaman Allah.
Proses pembangunan bait Allah ini tidak bisa dikerjakan secara sembarangan. Ada fondasi. Ada batu penjuru. Ada tiap-tiap bagian dari bangunan tersebut.
Fondasinya adalah para rasul dan para nabi (2:20a). Sebagian penafsir memahami bagian ini sebagai rujukan untuk ajaran para nabi (PL) dan para rasul (PB). Penafsiran semacam ini mungkin tidak tepat. Urutan yang dipakai bukan para nabi dan para rasul, tetapi sebaliknya. Para rasul disebutkan lebih dahulu. Dari sisi tata bahasa, kesatuan para rasul dan nabi terlihat ditekankan (satu artikel untuk dua kata benda, tōn apostolōn kai prophetōn). Baik urutan maupun keterkaitan ini cocok dengan urutan jabatan rohaniwan di 4:11 (para rasul, para nabi, para pemberita Injil, para gembala, dan para pengajar). Jika ini diterima, maka frasa “dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi” (2:20a) merujuk pada pengajaran normatif para rasul yang bersumber dari wahyu Allah. Para rasul meneruskan ajaran Tuhan Yesus maupun menerima wahyu khusus dari Allah. Para nabi meneguhkan pengajaran itu melalui pewahyuan ilahi. Satu ayat yang penting bagi poin ini ada di 3:5 “yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak manusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus”.
Apa yang Roh nyatakan dahulu melalui para rasul dan para nabi sudah tercatat di dalam kitab suci. Apa yang tertulis di sana tidak bisa diubah atau dibatalkan. Sama seperti sebuah fondasi tidak mungkin diubah tanpa menggoncang seluruh bangunan, demikian pula gereja harus tetap didirikan di atas kitab suci.
Batu penjurunya adalah Kristus (2:20b). Keunikan posisi Kristus sangat ditekankan di sini. Dia bukan hanya salah satu bagian dari fondasi, tetapi batu penjurunya. Secara tata bahasa, bagian ini bahkan seharusnya diterjemahkan “dengan Kristus Yesus sendiri sebagai batu penjuru” (ada kata autou, lihat semua versi Inggris).
Menurut kebiasaan kuno, setiap fondasi wajib memiliki batu penjuru yang berfungsi sebagai patokan dan penguat seluruh bangunan. Kristus adalah batu penjuru itu (Yes. 28:16). Seluruh bangunan ditopang dan ditegakkan berdasarkan batu itu. Tidak ada satu aspek gerejapun yang tepat jika tidak diarahkan pada Kristus.
Setiap bagiannya adalah orang percaya (2:21-22). Sebuah bangunan tidak hanya terdiri dari fondasi dan batu penjuru. Ada bahan atau batu lain yang digunakan untuk membangunnya. Menariknya, kali ini Paulus tidak memberi pembedaan apapun pada batu-batu tersebut. Semua sama. Baik Yahudi Kristen maupun orang percaya dari etnis lain sama-sama digunakan dalam pembangunan bait Allah.
Bagi kita yang hidup sekarang, gambaran ini mungkin terlihat biasa. Namun, tidak begitu bagi masyarakat kuno. Pada zaman bait Allah masih ada di Yerusalem, tempat bersembahyang orang Yahudi dibedakan dari yang non-Yahudi. Walaupun sama-sama beriman pada Allah yang satu, tempat sembahyang tetap beda. Di dalam Kristus, pembedaan tempat ini bukan hanya ditiadakan, tetapi setiap orang bahkan menjadi bagian dari bait Allah secara rohani. Soli Deo Gloria.