Ungkapan “lebih daripada pemenang” (Rom 8:37) sering dikumandangkan di banyak gereja, baik melalui pujian maupun khotbah. Sayangnya, sebagian orang Kristen hanya mengutip ungkapan ini tanpa memperhatikan konteks pembicaraan Paulus secara seksama. Tidak jarang ungkapan ini justru digunakan dalam arti yang bertolak belakang. “Lebih daripada pemenang” dihubungkan dengan mujizat dalam setiap persoalan atau perubahan situasi hidup kita menjadi lebih enak.
Analisa konteks
Perikop terakhir dari Roma 8, yaitu ayat 31-39, berfungsi sebagai konklusi dari semua pembahasan Paulus sejak pasal 1. Secara khusus, bagian ini menjelaskan kepastian rencana keselamatan Allah di 8:29-30. Orang-orang yang dipilih Allah identik dengan mereka yang ditentukan, dipanggil, dibenarkan, dan dimuliakan. Bentuk kata kerja lampau untuk ‘dimuliakan’ (8:30) dimaksudkan sebagai penekanan bahwa sekalipun pemuliaan kita belum berlangsung, namun di mata Allah semuanya sudah genap. Siapa saja yang sudah berada dalam tahap dipanggil atau dibenarkan, maka orang itu sebelumnya sudah dipilih dan ditentukan serta sesudahnya pasti akan dimuliakan.
Bagaimana Allah meyakinkan tentang kepastian keselamatan ini? Roma 8:31-32 membahas tentang pemberian Allah yang terbesar, yaitu Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus. Jika yang paling berharga saja Ia relakan untuk keselamatan kita, maka segala sesuatu yang lain yang berguna untuk keselamatan kita juga pasti akan diberikan kepada kita. Roma 8:33-34 menegaskan kepastian keselamatan dari sisi yang agak berbeda, yaitu kesempurnaan karya ilahi. Allah – sebagai hakim atas seluruh bumi (3:6) – secara legal telah menetapkan kita sebagai orang-orang yang benar berdasarkan karya Kristus di kayu salib bagi kita, karena itu tidak mungkin ada yang mampu dan berani menggagalkan keputusan itu (8:33a). Selain itu, karya penebusan Kristus bersifat sempurna: kematian-Nya menggantikan hukuman dosa bagi kita, kebangkitan-Nya meniadakan upah dosa, kenaikan-Nya ke surga membuktikan otoritas-Nya atas segala sesuatu, dan karya keimaman-Nya sebagai pendoa syafaat kita (versi Inggris ‘berdoa bagi kita’, kontra LAI:TB ‘Pembela kita’) membuat kita tetap kuat. Semua ini merupakan jaminan dari pihak Allah bahwa keselamatan orang-orang percaya bersifat pasti.
Walaupun demikian, beberapa pertanyaan mungkin akan tetap muncul. Bagaimana dengan beragam kesulitan dan penderitaan hidup yang dialami oleh orang-orang percaya? Akankah orang-orang percaya mampu melewati semua itu dan tetap beriman kepada Dia? Apakah kematian di dalam penganiayaan merupakan kekalahan bagi orang-orang percaya? Jawaban terhadap semua pertanyaan ini akan diberikan Paulus di 8:35-39.
Orang-orang Kristen dan kesusahan hidup (ayat 35-36)
Tidak seperti para juru bicara Teologi Kemakmuran yang menjanjikan kehidupan yang nyaman dan enak di dunia ini (kaya, sehat, sukses, populer, dan dihormati, dsb), Paulus bersikap lebih realistis. Menjadi anak-anak Allah tidak berarti kekebalan terhadap penderitaan di dunia (8:14-17). Kemuliaan kekal akan didahului dengan penderitaan sementara di dunia ini (8:18). Bersama-sama dengan segala makhluk, orang-orang Kristen tetap bergumul di tengah penderitaan (8:19-25). Dari sisi ini, tidak ada perbedaan antara orang-orang Kristen dan mereka yang tidak percaya kepada Yesus Kristus.
Perbedaan terletak pada intervensi Allah dan pengharapan kita yang pasti. Roh Kudus akan menolong kita dalam hal berdoa (8:26-27). Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang pilihan (8:28-30). Satu hal lagi, penderitaan hidup di dunia tidak akan bisa memisahkan kita dari kasih Kristus (8:35-39).
Tujuh poin penderitaan yang disebutkan di 8:35, yaitu thlipsis (penderitaan), stenochōria (kesesakan), diōgmos (penganiayaan), limos (kelaparan), gymnotēs (ketelanjangan), kindynos (bahaya), dan machaira (pedang), hanya bersifat perwakilan belaka, karena di ayat 38-39 Paulus jelas memaksudkan apa saja dan segala kemungkinan. Apa yang disebutkan di ayat 35 adalah hal-hal yang tidak mengenakkan dan berpotensi untuk membahayakan iman seseorang.
Tatkala penderitaan datang bertubi-tubi dalam hidup kita, tidak jarang kita meragukan kebaikan dan keadilan Allah. Kita tergoda untuk mempertanyakan keunikan kita sebagai anak-anak Allah. Jika kita memang anak-anak Allah, mengapa Allah kadangkala terkesan tidak memperkecualikan kita dari penderitaan di dunia? Mengapa kita seakan-akan tidak dipedulikan?
Kegalauan ini mendapatkan jawaban di ayat 36. Kutipan dari Mazmur 44:23 di ayat ini bermanfaat untuk menunjukkan bahwa penderitaan karena iman kepada Allah merupakan hal yang seharusnya tidak mengagetkan kita. Umat Allah di masa lampau pun mengalami hal yang sama. Berbagai situasi yang membingungkan dan tidak mengenakkan juga harus mereka hadapi, misalnya kekalahan (44:10-13), cemoohan (44:14-15), dan hal-hal yang memalukan (44:16-17). Walaupun demikian, semua ini bukanlah babak terakhir dari pergumulan umat Allah. Mereka tetap meyakini bahwa TUHAN tetap beserta mereka dan akan memberikan kemenangan (44:2-9, 18-22, 27). Tidak heran, teks ini juga muncul dalam tulisan para rabi Yahudi dalam konteks penganiayaan dan kematian yang dialami oleh para martyr.
Begitu pula dengan perjuangan rohani kita. Bermacam-macam kesulitan hidup pasti menimpa kita. Bagaimanapun, Allah telah berjanji dalam firman-Nya bahwa hal-hal itu tidak akan memisahkan kita dari kasih Kristus (Rom 8:35). Bagi Paulus, kasih Kristus tidak diwujudkan dalam bentuk pengecualian dari beragam kesusahan di dunia. Bukti tertinggi dari kasih Allah telah ditunjukkan melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Pada waktu kita masih lemah, berdosa, seteru Allah, tidak baik dan tidak benar, Kristus rela mati untuk kita (5:6-10).
Hasil dari penderitaan (ayat 37-39)
Kata sambung ‘tetapi’ (alla) di awal ayat 37 berfungsi sebagai penghubung antara ayat 37 dan 35: ayat 37 merupakan jawaban terhadap pertanyaan di ayat 35. Artinya, tidak ada satu penderitaan pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Beberapa versi Inggris secara tepat menerjemahkan alla dengan “tidak” (KJV/ASV/RSV/NIV/ESV).
Bukan hanya itu saja. Ayat 37 juga menyediakan poin tambahan dalam pembahasan Paulus. Ayat ini menerangkan hasil pertama dari penderitaan duniawi bagi orang-orang pilihan. Penderitaan di dunia ini tidak hanya gagal memisahkan kita dari kasih Kristus, namun - sebaliknya – semua itu justru akan membuat kita ‘menjadi lebih daripada pemenang’ (hypernikōmen). Ungkapan ini diterangkan dengan dua anak kalimat kata depan (prepositional phrase): di dalam semua ini (en toutois pasin) dan melalui Dia yang mengasihi kita (dia tou agapēsantos hymas, LAI:TB ‘oleh Dia yang mengasihi kita’). Dua keterangan ini seringkali diabaikan dalam penafsiran. Menjadi ‘lebih daripada pemenang’ tidak terpisahkan dari semua kesulitan hidup. Di dalam semua itu (en toutois pasin) kita menjadi lebih daripada pemenang. Kunci kemenangan tidak terletak pada diri kita, melainkan pada Kristus (dia tou agapēsantos hymas). Kasih Kristus adalah rahasianya, bukan kekuatan, iman, maupun keberanian kita.
Apa arti dari hypernikōmen? Banyak versi Alkitab menerjemahkan ini secara statis (‘kita adalah lebih daripada pemenang’; KJV/ASV/RSV/NIV/ESV). Dalam teks Yunani kata hypernikōmen lebih bernuansa dinamis: “kita menang seutuhnya” (NASB ‘we overwhelmingly conquer’). Bentuk kekinian (present tense) yang digunakan menyiratkan bahwa ayat 37 bukan sekadar sebuah janji yang akan ditepati di kemudian hari (futuris), melainkan sebuah fakta yang tidak berubah (present). Maksudnya, sebelum kita menghadapi semua penderitaan itu, kita sudah diberi jaminan melalui karya Kristus bahwa kita akan menjadi lebih daripada pemenang. Memenangkan sebuah pertempuran yang berimbang akan menjadikan kita pemenang. Memenangkan pertempuran sebelum hal itu terjadi menjadikan kita lebih daripada pemenang.
Fakta rohani di atas menghantar kita pada hasil kedua dari penderitaan duniawi bagi orang-orang pilihan. Jika penderitaan justru menjadikan kita lebih daripada pemenang (ayat 37), maka kita akan semakin diyakinkan dengan keselamatan kita (ayat 38-39). Kebenaran teologis yang obyektif di ayat 37 kini berubah menjadi kebenaran subyektif yang bersifat pribadi. Paulus berkata: “sebab aku yakin” (pepeismai gar). Bentuk perfek pepeismai bisa mengindikasikan sebuah konsistensi (‘dari dahulu sampai sekarang’) atau intensitas (‘sangat yakin’). Di antara dua hal ini, analisa konteks tampaknya lebih mengarah pada alternatif pertama.
Keyakinan pribadi yang muncul dari fakta bahwa kita menang seutuhnya harus dikaitkan dengan pembahasan Paulus di bagian sebelumnya. Di 8:28 ia sudah menjelaskan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Penderitaan bukan hanya tidak mempengaruhi kepastian keselamatan kita, tetapi bahkan membawa hal-hal yang positif (kebaikan). Di samping itu, di 5:3-5 Paulus juga sudah menerangkan bagaimana penderitaan justru mendewasakan karakter Kristiani kita, sehingga pada akhirnya pengharapan kita menjadi lebih teguh. Allah memiliki maksud yang baik di dalam semua penderitaan kita. Ia tidak sedang menyiksa kita. Ia justru sedang mengerjakan hal-hal yang baik bagi kita.
Iman Paulus sendiri merupakan bukti konkrit dari kebenaran ini. Di 2 Korintus 11:26-27 dan 12:10 ia menyebutkan beberapa penderitaan yang ia jalani dalam pelayanan. Dari 7 kata yang muncul di Roma 8:35, hanya yang terakhir yang tidak muncul secara eksplisit di 2 Korintus 11:26-27 dan 12:10. Apakah semua kesusahan hidup ini melemahkan iman Paulus? Sama sekali tidak! Ia justru mengalami bahwa penderitaan dan keputusasaan membuat kepercayaan kepada Allah menjadi lebih murni dan kuat (2 Kor 1:8-9).
Jenis dan kualitas penderitaan kita mungkin berbeda dengan Paulus. Walaupun demikian, kebenaran teologis bagi kita tetap sama. Prisnip rohani ini tidak hanya benar dalam situasi-situasi tertentu, melainkan selalu benar di dalam segala keadaan. Untuk menekankan hal ini, Paulus mencoba untuk meluaskan semua kemungkinan secara tanpa batas. Tidak ada satu pun yang tidak termasuk di dalamnya: “baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain” (ayat 38-39).
Apakah masih ada alasan untuk ketakutan dan kekuatiran? Apakah dibenarkan jika kelemahan dan keterbatasan kita mengurangi keyakinan kita terhadap keselamatan yang Allah sudah berikan secara cuma-cuma kepada kita? Ingatlah, kasih Allah yang terbesar sudah dibuktikan kepada kita, karena itu segala sesuatu yang lain yang menyertai keselamatan kita pasti akan dikaruniakan kepada kita juga. Penghiburan, kerinduan untuk taat, dan kekuatan akan menjadi bagian kita di dalam Kristus sampai selama-lamanya. Soli Deo Gloria.