Keraguan terhadap keselamatan kekal seringkali melanda hidup orang Kristen. Faktor utama penyebab keraguan tersebut adalah keberdosaan kita yang selalu terjadi dari waktu ke waktu. Keberdosaan kita menghasilkan pemikiran bahwa, Tuhan telah meninggalkan kita, dan Tuhan tidak mengampuni kita lagi. Akibatnya timbul suatu perasaan keragu-raguan, apakah saya adalah umat pilihan Tuhan? apakah saya akan selamat? apakah saya bisa masuk ke dalam Sorga? Sebagian orang mungkin akan menjawab, saya sepertinya tidak layak, saya sepertinya tidak mungkin diampuni, saya sepertinya tidak masuk Surga!
Pergumulan yang sama (keragu-raguan) juga menjadi fokus Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Roma. Dalam surat Roma 5:3, Paulus menyinggung masalah penderitaan. Hal ini untuk mengantisipasi konsep Yahudi yang berpikir bahwa orang yang benar di mata Allah dapat diukur dari kemakmuran, kesehatan dan keselamatan fisik (Ul. 30; Mzm. 73; Yoh. 9:1-3). Jika mengalami yang penderitaan maka itu akibat dari dosa. Konsep ini tentu saja akan memunculkan keraguan terhadap kebenaran bahwa iman kepada Kristus akan menghasilkan pembenaran dihadapan Allah, karena faktanya adalah orang yang sudah dibenarkan melalui iman ternyata masih mengalami penderitaan. Apakah iman kepada Kristus sungguh-sungguh menghasilkan pembenaran dan membawa manusia pada keselamatan kekal?
Keragu-raguan seperti ini pasti muncul bila kita tidak memahami dasar dan cara Allah menyelamatkan serta menjaminan keselamatan manusia berdosa. Sebaliknya apabila dipahami secara benar akan mempengaruhi setiap aspek kehidupan orang percaya. Ini tidak hanya memberikan kepastian mengenai keselamatan melainkan juga memberikan kepastian mengenai pemeliharaan Allah bagi kehidupan orang percaya.
Ayat 9. Kepastian akan Kelepasan dari Murka Allah.
Dalam bagian ini, Paulus menggunakan argumentasi yang merupakan metode eksegese para rabi “ringan dan berat” yaitu apa yang benar untuk hal-hal yang prinsip akan berlaku juga untuk hal-hal yang kurang penting. Hal ini terlihat dari pengulangan kata pollw/| ma/llon (“lebih-lebih lagi”; EV’s “much more”) di ayat 9 dan 10 (juga ayat 15,17, bdk: Mat. 6:30, 2Kor. 3:9). Argumentasi ini digunakan untuk memberikan dasar bagi kepastian pengharapan orang percaya. Inisitif Allah untuk membenarkan dan mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui kematian Anak-Nya pada saat mereka masih berdosa merupakan dasar yang kuat bahwa orang percaya tidak akan mengalami murka Allah di penghakiman terakhir. Jika Allah mengasihi sedemikian rupa ketika kita masih merupakan pendosa, betapa lebih besar lagi kasih-Nya kepada kita yang sekarang telah menjadi anak-Nya.
Pembenaran adalah Alasan bagi Kelepasan dari Murka Allah.
Mengapa manusia berdosa bisa luput dari murka Allah? Bukankah upah dari keberdosaannya maka manusia harus mengalami murka Allah? Dalam surat Roma 1:16-2:16, jelas sekali Paulus menyatakan bahwa murka Allah memang dipersiapkan dan diperuntukan bagi semua orang tanpa pengecualian karena semua orang telah berbuat dosa (Rom. 3:23).
Dalam bukunya yang berjudul "Mengenal Allah," J.I Packer menuliskan: Murka adalah kata lama bahasa inggris yang dalam kamus saya didefinisikan sebagai “kemarahan dan keberangan yang sangat mendalam.” “Kemarahan” didefinisikan sebagai “dorongan ketidaksenangan karena kebencian dan perlawanan yang kuat, karena perasaan terluka atau terhina.” Kata “keberangan” didefinisikan sebagai “kemarahan yang benar yang ditimbulkan oleh ketidakadilan dan penghinaan.” Itulah murka. Dan Murka adalah bagian atribut Allah, seperti yang dinyatakan oleh Alkitab
Kebiasaan modern sepanjang sejarah Kristen adalah mengabaikan topik murka Allah ini. Orang yang masih percaya terhadap murka Allah (tidak semua orang mempercayainya) hanya membahas sedikit tentang topik ini. Mereka mungkin tidak berpikir banyak tentang hal ini. Kepada zaman yang tanpa malu menjual dirinya sendiri kepada ilah ketamakan, kesombongan, seks dan kehendak sendiri.
Gereja mengoceh tentang kebaikan Allah, tetapi tidak mengatakan kebenaran tentang penghakiman-Nya. Berapa kali Anda mendengar, atau jika Anda pendeta, berapa kali Anda berkotbah tentang murka Allah tahun lalu? Saya tidak yakin sudah berapa lama orang Kristen berbicara langsung tentang topik ini di radio atau televisi, atau dalam satu kolom kecil kotbah yang muncul dalam beberapa korang dan majalah nasional? (Dan jika seseorang melakukannnya, berapa lama ia akan diminta untuk berbicara atau menulis lagi?). Faktanya adalah topik tentang murka Allah telah menjadi hal yang tabu dalam masyarakat modern, dan orang Kristen pada umumnya menerimanya dan mengekang dirinya untuk tidak pernah mempermasalahkannya.
A.W.Pink, dalam bukunya "The Attitudes of God," menyatakan: “Studi melalui konkordansi akan menunjukkan bahwa ada lebih banyak referensi dalam Alkitab tentang kemarahan, kegeraman, dan murka Allah, ketimbang referensi tetang kasih dan kelembutan-Nya.”
Gambaran tentang murka Allah setidaknya dinyatakan dalam Nahum 1:2-6; 2Tes. 1:8-9, dan contoh penyataan murka Allah dalam sejarah dunia adalah peristiwa air bah (Kej. 6) dan peristiwa Sodom dan Gomora (Kej. 19). Sekalipun demikian, Murka Allah dalam Alkitab tidak pernah merupakan hal yang berubah-ubah (moody), menurut hawa nafsu, mudah tersinggung atau secara moral tercela seperti halnya kemarahan manusia. Sebaliknya, murka Allah merupakan reaksi yang benar dan perlu untuk menentang kejahatan moral. Allah hanya marah di mana kemarahan diperlukan. Semua kemarahan Allah itu benar adanya karena merupakan bagian dari ketetapan hukum-Nya.
Mengapa manusia berdosa bisa terlepas dari murka Allah yang pasti dan sangat menakutkan? karena manusia berdosa mendapat pembenaran dari Allah, dan ini sesuai dengan ketetapan hukum-Nya bahwa orang benar mendapat perkenaan Allah (Maz. 34:16; 37:39).
“sekarang telah dibenarkan” Ini adalah bentuk aorist passive participle, yang menekankan pembenaran sebagai suatu tindakan lengkap yang telah dilakukan secara sempurna oleh Allah.
Pembenaran artinya “dipandang benar” di hadapan Tuhan. Status benar memungkinkan seseorang diterima sepenuhnya oleh Tuhan. Pembenaran berarti kita diperhitungkan sebagai orang benar dan diterima dalam pandangan Tuhan, tanpa memperhitungkan dosa-dosa, kegagalan dan kelemahan kita. Hasil dari pembenaran yang sempurna adalah kelepasan atau keluputan dari murka Allah.
Darah Kristus sebagai Dasar Pembenaran
Bagaimana orang berdosa bisa diperhitungkan sebagai orang benar dalam pandangan Allah? Status sebagai orang benar tidak didapatkan melalui segala usaha perbuatan baik kita. Karena kita semua berdosa, maka mustahil kita “dibenarkan” di hadapan Tuhan berdasarkan perbuatan kita sendiri.
Paulus dengan jelas menegaskan bahwa manusia dibenarkan oleh/melalui darah Kristus. Ini adalah merujuk kepada “kematian” Kristus (bdk: Rom. 3:5; Mark. 10:45; 2Kor. 5:21). pengorbanan Kristus merupakan korban yang bersifat propisiasi (korban pendamaian), yang melaluinya status sebagai orang benar akan diberikan kepada setiap orang yang beriman kepada Kristus.
Meskipun kata propisiasi digunakan dalam Alkitab, namun kata tersebut tidak digunakan dengan cara yang sama dalam tulisan-tulisan pada umumnya. Dalam ritual-ritual kafir, korban merupakan cara manusia meredakan amarah dewa yang tersinggung hatinya. Tetapi dalam kekristenan Allah sendiri yang mengorbankan diri-Nya melalui Kristus untuk meredakan murka-Nya. Manusia tidak pernah berinisiatif untuk membuat korban.
Ayat 10. Kepastian akan Keselamatan
Bagian ini mengandung ide yang hampir sama seperti di ayat 9, walaupun ditulis dalam bentuk yang berbeda. Kata "musuh-musuh" yang ditujukan pada kita tidak hanya menggambarkan karakter moral yang berdosa, tetapi juga menjelaskan sebuah relasi yang mana kita berdiri di hadapan Allah sebagai obyek ketidaksenangan-Nya. Kondisi kita tidak hanya sebagai orang jahat yang beroposisi dengan Allah, tetapi pada saat yang sama Allah yang suci mengoposisikan diri-Nya dengan kita yang berdosa. Kondisi ini sangat mematikan bagi kita karena berada dalam keterpisahan dengan Allah secara relasi.
Manusia dipandang sebagai musuh Allah bukan hanya karena kelemahan manusia, tetapi juga karena mengabaikan Allah. Ini sebenarnya adalah suatu pemberontakan terhadap Sang Pencipta. Manusia harus menjauhkan diri dari khayalan tentang "berdiri di atas kaki sendiri." Ini sesungguhnya sikap yang tidak lebih dewasa daripada amukan kekanak-kanakan (bdk: Yak. 4:6).
Namun dalam kondisi yang demikian, Kristus mau memberikan nyawa-Nya sebagai korban pendamaian (propisiasi) untuk merekonsiliasi relasi antara Allah dan manusia. Kita diperdamaikan dengan Allah berarti pemulihan hubungan yang tepat manusia dengan Tuhan. Melalui kematian Kristus, Allah tidak lagi memandang kita sebagai musuh yang harus dihancurkan, tetapi sebagai sahabat atau anak atau mempelai-Nya yang sangat dikasihi.
Jika pendamaian itu Allah lakukan ketika kita masih dimusuhi, maka sudah pasti Allah akan memperlakukan kita dengan lebih istimewa lagi ketika kita sekarang telah menjadi umat-Nya. Jika orang percaya bahkan sekarang mengalami rekonsiliasi dengan Allah sebagai hubungan yang sudah dipulihkan, maka kita dapat yakin bahwa relasi ini akan menghasilkan kepastian akan keselamatan.
“kita pasti akan diselamatkan” Ini adalah bentuk future pasif indicative. Hal ini menunjuk kepada keselamatan yang tertinggi yang disebut “pemuliaan (glorifikasi)” (bdk: ay 2; 8:30; 1Yoh. 3:2).
Kehidupan Kristus adalah dasar bagi Kepastian Keselamatan
"Kita pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya". Ini adalah frasa yang tidak umum. Frasa ini merupakan korespondensi kepada kata-kata "oleh kematiannya" pada klausa sebelumnya, dan merupakan contoh mencolok dari gaya tulisan antitesis Paulus (bdk: Gal. 3:3; 2Kor. 3:6). Artinya jelas: "Jika sementara kami adalah musuh, kami dikembalikan ke pengasihan Allah oleh kematian Anak-Nya, fakta bahwa ia hidup pasti akan menjamin keselamatan akhir kita."
Poin yang Paulus sedang utarakan adalah bahwa dasar harapan orang percaya bukan hanya pada peristiwa masa lalu (kematian Yesus), tetapi juga pada Yesus yang bangkit dan sekarang hidup. Kohesi antara kematian dan kebangkitan Kristus sama-sama merupakan manifestasi dari kasih Allah. Bagian ini juga merupakan penegasan bahwa tujuan Allah untuk menarik manusia kembali ke dalam hubungan yang tepat dengan Dia adalah sesuatu yang dicapai tidak secara instan (berhenti pada kematian Yesus saja), tetapi dalam proses yang berkelanjutan yang mana kuasa Kristus yang bangkit dan hidup memainkan peran. Dengan kata lain, kehidupan dan kematian duniawi Yesus dan juga kehidupannya yang ditinggikan adalah dasar dari kepastian keselamatan kita.
Ayat 11. Kepastian akan Kelepasan dari Murka Allah, dan Kepastian akan Keselamatan Menghasilkan Sukacita Sejati.
Berdasarkan penggunaan kalimat transisi ouv mo,non de, (LAI:TB “bukan hanya ini saja”) dalam tulisan Paulus (Rom. 5:3; 8:23; 9:10), frase ini tampaknya merujuk pada kalimat sebelumnya, yaitu tentang keselamatan (ay. 10). Dengan demikian ayat 11 dapat dimengerti sebagai: "bukan hanya kita pasti akan diselamatkan, tetapi juga bersukacita/bermegah...,” yaitu bersukacita dalam Allah oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Karakteristik kehidupan orang yang sudah didamaikan dengan Allah adalah bersukacita atas semua yang telah Allah perbuat.
Aplikasi:
Manusia berdosa adalah musuh Allah yang siap untuk dimurkai. Karena itu serahkan hidup saudara kepada Yesus Kristus, terimalah Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat maka saudara akan diperdamaikan dengan Allah dan dilepaskan dari murka-Nya. Hanya ini satu-satunya jalan yang Allah sediakan.
Kasih Allah yang sangat Ajaib, mengasihi ketika kita masih menjadi musuh-Nya mejadi alasan bagi keyakinan kita bahwa setelah menjadi umat-Nya dengan cara beriman sungguh kepada Yesus Kristus, kita tidak akan binasa sampai selamanya.
Jaminan bagi kepastian keselamatan sepenuhnya didasarkan pada kasih karunia Allah yang berdaulat dan tidak berubah, bukan karena perbuatan kita. Karena itu kita dapat meyakini bahwa sekali Allah menyelamatkan, selamanya kita akan diselamatkan oleh Allah.
Keselamatan yang Allah kerjakan bagi kita harusnya membuat kita selalu bersukacita dalam segala keadaan, dan tidak pernah meragukan kasih setia serta segala janji-janji-Nya.