Surat 1 Petrus ditujukan untuk orang-orang Kristen yang merantau di Asia Kecil (1:1). Sebagai pendatang mereka adalah kelompok minoritas (2:11-12). Situasi ini menempatkan mereka pada posisi yang sulit. Mereka difitnah (2:12; 4:4) dan dianiaya (2:19-20; 3:13-17; 4:12-16). Beragam kesulitan hidup berpotensi untuk mempengaruhi iman mereka. Apakah mereka akan bertahan sampai akhir?
Dalam khotbah hari ini kita akan melihat bahwa jaminan keselamatan mereka tidak didasarkan pada kekuatan manusia. Tangan Allah yang berkuasa dan penuh anugerah senantiasa menopang mereka. Meminjam perkataan Paulus, Allah yang sudah memulai sesuatu yang baik dalam diri mereka – yaitu memberikan keselamatan – Ia juga akan meneruskannya sampai kedatangan Kristus kedua kali (Flp 1:6).
Ucapan syukur atas kelahiran kembali (ayat 3a)
Dalam pola penulisan surat kuno, sesudah bagian salam pembuka, seorang penulis biasanya akan mengungkapkan ucapan syukur kepada Allah/dewa. Para penulis Alkitab pun mengikuti pola yang umum seperti ini. Walaupun para penulis Alkitab tidak mengabaikan pola penulisan surat kuno, tetapi mereka juga tetap mempertahankan keunikan mereka. Mereka memperjelas kepada siapa ucapan syukur diberikan, yaitu kepada Bapa dan/atau Tuhan Yesus. Alasan untuk mengucap syukur pun berbeda. Mereka umumnya lebih menyoroti alasan-alasan rohani daripada yang jasmani (kesehatan dan kemakmuran).
Kata yang dipakai untuk mengungkapkan syukur bisa “aku mengucap syukur” (eucharistō) atau “terpujilah” (eulogētos). Petrus memilih yang terakhir. Pilihan ini lebih cocok dengan nuansa sukacita atau kegembiraan yang mewarnai bagian ini (1:6-8). Di samping itu, kata eulogētos di 1:3 (versi Inggris “diberkatilah”) membentuk sebuah inclusio dengan kata eulogeō di 1:9 (LAI:TB “berkat”). Nuansa pujian juga tetap muncul di bagian lain dari surat ini (4:11; 5:11).
Apakah masih ada alasan untuk memuji Allah tatkala kita berada dalam kesusahan dan penganiayaan? Tentu saja! Petrus mengajak para penerima suratnya untuk mengingat karya Allah yang luar biasa dalam kelahiran kembali. Allah adalah yang melahirkan kita kembali (ho...anagennēsas hēmas). Di bagian selanjutnya (1:23), Petrus menerangkan bahwa proses ini dilakukan melalui benih firman Tuhan.
Ungkapan “melahirkan kembali” jelas menyiratkan pemberian anugerah dari Allah.
Pertama, sama seperti kelahiran jasmani, tidak ada orang melahirkan dirinya sendiri. Dalam proses kelahiran semua bayi bersikap pasif. Inisiatif dan proses sepenuhnya ditentukan oleh orang tua. Begitu pula dengan kelahiran kembali secara rohani. Oleh kehendak Allah kita dilahirbarukan (Yoh 1:12-13).
Kedua, kelahiran kembali terjadi menurut rahmat Allah yang besar. Dalam teks Yunani frase “karena rahmat-Nya yang besar” (LAI:TB) bahkan muncul sebelum kata “melahirkan kembali” (ho kata to poly autou eleos anagennēsas hēmas) untuk penekanan. Kita tidak pantas untuk dilahirkan kembali dan dijadikan anak-anak-Nya. Hanya rahmat-Nya yang besar saja yang memungkinkan semuanya ini terjadi. Keadaan kita di dalam dosa yang sangat mengenaskan (Ef 2:1-3) tidak menghalangi Allah untuk membangkitkan kita kembali di dalam Kristus (Ef 2:4-6), sehingga kita menjadi ciptaan baru (Ef 2:10).
Konsekuensi dari kelahiran baru (ayat 3b-5)
Doktrin tentang kelahiran kembali bukanlah sebuah konsep yang teoritis atau abstrak. Apa yang terjadi pada kita waktu kelahiran kembali membawa beberapa konsekuensi yang luar biasa dalam kehidupan kita. Petrus menerangkan ini melalui penggunaan kata depan eis yang menerangkan tujuan sebanyak tiga kali.
Pengharapan yang hidup (ayat 3b)
Ada dua poin penting yang perlu disimak dalam terjemahan LAI:TB. Ungkapan elpida sōsan seharusnya diterjemahkan “pengharapan yang hidup” (versi Inggris “living hope”), bukan “hidup yang penuh pengharapan”. Kata sōsan (“hidup”) menerangkan elpida (“pengharapan”), bukan sebaliknya. Petrus tidak hanya mengatakan bahwa kita memiliki pengharapan (1:21; 3:15), tetapi ia sedang menguraikan karakteristik dari pengharapan kita. Di ayat-ayat selanjutnya (1:4-5) ia menegaskan betapa kuatnya kualitas pengharapan kita.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam terjemahan LAI:TB adalah frase “oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati” (di anastaseōs Iēsou Christou ek nekrōn). Apakah frase ini menerangkan tindakan Allah yang melahirkan kita kembali (seperti disiratkan dalam LAI:TB) atau pengharapan yang hidup (disiratkan versi-versi Inggris)? Alternatif terakhir tampaknya lebih tepat. Dari sisi urutan kata dalam teks Yunani, frase di anastaseōs Iēsou Christou ek nekrōn muncul tepat sesudah elpida sōsan. Urutan ini sekaligus menjelaskan bahwa pengharapan yang hidup bersumber dari kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Sebagaimana kematian tidak mampu membatasi Kristus, demikian pula pengharapan orang percaya akan tetap hidup walaupun mereka mati (4:6).
Warisan yang permanen (ayat 4)
Ayat ini dimulai dengan kata depan eis yang menerangkan tujuan. Kali ini Petrus mengaitkannya dengan harta pusaka (klēronomia, LAI:TB “bagian”; versi Inggris “inheritance”). Dalam Perjanjian Lama kata ini biasanya dihubungkan dengan janji Allah memberikan tanah kepada umat-Nya (Bil 32:19; Ul 2:12; 12:9; 25:19; 26:1; Yos 11:23; Mzm 105:11). Dalam Perjanjian Baru klēronomia seringkali digunakan dalam konteks pengharapan eskhatologis orang percaya di akhir zaman (Gal 3:18; 4:30; Ef 1:11, 14; 5:5; Kol 1:12; 3:24). Kita akan mewarisi kerajaan surga (Mat 19:29; 25:34; Mar 10:17; Luk 10:25; 18:18; 1 Kor 6:9-10; Gal 5:21). Bagi penerima surat 1 Petrus yang sedang mengembara dan mendapatkan tekanan dari kelompok mayoritas, tidak ada yang lebih menghibur daripada janji ilahi bahwa mereka pada akhirnya akan menerima harta pusaka yang indah.
Sebagaimana pengharapan orang percaya dicirikan dengan kata “hidup” (1:3), demikian pula harta pusaka kita memiliki ciri-ciri tertentu. Petrus menggunakan tiga kata sifat dan sebuah partisip untuk menerangkan permanensi harta ini. Harta pusaka kita bersifat tidak dapat binasa (aphthartos). Petrus tampaknya menyukai istilah ini. Ia menggunakannya untuk kekekalan firman Allah (1:23) dan perhiasan batiniah para istri Kristen (3:4). Di tempat lain kata aphthartos dipakai untuk menerangkan Allah yang kekal (Rom 1:23; 1 Tim 1:17) atau kebangkitan tubuh kita (1 Kor 15:22). Ide yang ditekankan dalam kata aphthartos adalah kekekalan atau permanensi.
Harta pusaka kita juga tidak dapat cemar (amiantos). Ide yang ditekankan adalah kemurnian atau kesempurnaan. Kata amiantos bisa merujuk pada ketidakberdosaan kurban Kristus (Ibr 7:26), kesucian pernikahan (Ibr 13:4) maupun kemurnian ibadah (Yak 1:27). Sebagian harta jasmani kita memang tidak musnah, tetapi mereka bisa saja menjadi cemar atau berkarat. Ini tidak akan terjadi dengan harta pusaka rohani kita.
Harta pusaka kita pun tidak dapat layu (amarantos). Akar kata yang sama muncul di tempat lain sebagai keterangan untuk mahkota kemuliaan yang akan diterima oleh para penatua (5:4, amarantinos). Konteks mengarahkan kita untuk memahami mahkota di sini dalam kaitan dengan mahkota juara dalam sebuah pertandingan. Mahkota ini biasanya terbuat dari daun-daunan. Dengan segera mahkota seperti ini akan menjadi layu dan dibuang orang.
Keterangan terakhir untuk harta pusaka adalah “tersimpan di surga” (tetērēmenēn en ouranois). Bentuk pasif pada kata tetērēmenēn merupakan pasif ilahi (Allah sebagai subyek). Keterangan waktu perfek menyiratkan bahwa penyimpanan ini dilakukan dahulu, tetapi hasilnya tetap sampai sekarang. Keterangan tempat “di surga” (en ouranois) menerangkan tempat di mana Kristus duduk di sebelah kanan Bapa dan memegang kuasa atas segala sesuatu (3:22). Jika semua poin ini digabungkan, tidak ada peluang sedikit pun bahwa harta pusaka yang dijanjikan Allah kepada kita dapat binasa, cemar, atau dirampas oleh orang lain. Harta kita berada di tangan yang tepat, yaitu tangan Allah yang berkuasa.
Keselamatan yang telah siap dinyatakan (ayat 5)
Dari sisi sintaks ayat 5 sebenarnya menerangkan “kalian” di akhir ayat 4. Bagaimanapun, pemunculan kata depan eis yang diikuti kata benda sōtērian sekaligus berfungsi menjelaskan konsekuensi ketiga dari kelahiran kembali di ayat 3a. Tidak berbeda dengan ayat 3-4 yang menyoroti kepastian dan permanensi janji Allah, ayat 5 juga menggarisbawahi kepastian keselamatan kita.
Ada beberapa cara yang digunakan Petrus untuk mengekspresikan hal ini. Orang percaya dipelihara dalam kekuatan Allah. Secara hurufiah ayat 5a berbunyi “kalian – yang dalam kekuatan Allah sedang dipelihara”. Dari urutan kata yang ada terlihat bahwa Petrus sedang menekankan “dalam kuasa Allah”. Kata dasar phroureō seringkali dipakai untuk para tentara yang menjaga sebuah kota dari kemungkinan bahaya (Ydt 3:6; 1 Esd 4:56; Keb. Sal. 17:16; 2 Kor 11:32; bdk. Gal 3:23). Walaupun bentuk kekinian pada partisip phrouroumenous biasanya diterjemahkan “sedang dipelihara” (NRSV/ESV “are being protected/guided”), tetapi penjelasan di ayat 5b memberi kesan bahwa pemeliharaan ini juga bersifat terus-menerus sampai Kristus datang kembali yang kedua kali.
Cara lain yang digunakan untuk menekankan kepastian keselamatan adalah melalui frase “telah tersedia untuk dinyatakan” (hetoimēn apokalyphthēnai). Penggunaan kata “telah” dan “dinyatakan” menunjukkan bahwa keselamatan itu sudah ada. Persoalannya terletak pada kapan keselamatan itu dibukakan secara publik, yaitu pada waktu kedatangan Kristus kedua kalinya. Dari penjelasan ini terlihat bahwa Petrus sedang memikirkan keselamatan secara futuris. Keselamatan kita memang bersifat “sudah dan belum” (already but not yet), namun di ayat 5 Petrus lebih menitikberatkan pada yang terakhir.
Bagaimana Allah memelihara keselamatan kita? Petrus menjawab: “melalui iman” (dia pisteōs). Di tengah himpitan yang dihadapi penerima surat, Allah tidak berjanji akan memberikan perlindungan dari bahaya. Ia juga tidak menjanjikan mujizat pembebasan atau kelepasan dari kematian. Kematian mungkin saja terjadi. Pemeliharaan Allah tidak berbentuk pencegahan kematian atau pemberhentian penganiayaan. Pemeliharaan Allah berupa ketahanan iman kita.
Sebagian orang telah keliru memahami kaitan antara pemeliharaan ilahi dan iman kita. Mereka berpikir bahwa iman kita merupakan syarat bagi pemeliharaan Allah. Hal ini jelas tidak sesuai dengan maksud Petrus. Jika iman adalah syarat dipelihara, Petrus tidak perlu menyebutkan – apalagi menekankan – pemeliharan yang berkuasa dari Allah. Bukankah keselamatan memang tidak akan hilang jika seseorang beriman? Dan jika iman ditentukan oleh usaha manusia, untuk apa pemeliharaan ilahi disebutkan di sini? Sesuai dengan konteks yang ada, kita sebaiknya memahami pemeliharaan Allah sebagai sarana yang Allah pakai untuk mempertahankan iman kita. Banyak hal dapat berpotensi menggugurkan iman kita, tetapi Allah berjanji untuk menjaga iman kita. Tugas kita adalah terus menghargai keselamatan yang Ia berikan dan memuji Dia atas segala perbuatan-Nya yang penuh anugerah atas diri kita. Soli Deo Gloria.