Di dalam dunia yang sudah rusak oleh dosa, kita tidak mungkin menemukan seorang pun yang tanpa kesalahan. Semangat dunia ini seringkali bertabrakan dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah. Natur kita yang berdosa mencondongkan kita pada kejahatan dan kesalahan. Baik kita maupun orang lain pasti akan berbuat kesalahan. Tidak ada seorang pun yang sempurna.
Jika situasinya seperti ini, mengharapkan orang lain untuk tidak pernah berbuat salah adalah hal mustahil. Yang perlu dipikirkan secara serius adalah bagaimana menyikapi kesalahan orang lain secara tepat. Poin inilah yang sedang diajarkan oleh Tuhan Yesus di Matius 7:1-5.
Jangan menghakimi (ayat 1)
Larangan untuk menghakimi (mē krinete) di teks ini seringkali dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk menghindari penilaian terhadap orang lain. Dalam konteks postmodernisme yang mendewakan relativisme (tidak ada kebenaran yang mutlak), ayat ini benar-benar menjadi senjata pamungkas yang mematikan. Tidak seorang pun berhak menilai pendapat maupun tindakan orang lain.
Hal di atas jelas tidak sesuai dengan maksud Tuhan Yesus. Yang dikecam di teks ini bukanlah tindakan menilai orang lain, melainkan menilai dengan cara yang keliru. Bukan tindakannya yang sedang dipersoalkan, melainkan cara tindakan itu dilakukan. Di ayat 5 Tuhan Yesus tidak melarang kita untuk mengambil selumbar di mata orang lain. Hanya saja, kita harus melakukannya dengan cara yang benar, yaitu dengan menyingkirkan segala sesuatu yang menghalangi pandangan kita. Lagipula, jika segala bentuk penilaian dilarang, bagaimana kita bisa membedakan manakah yang termasuk “anjing” atau “babi” yang kepadanya kita tidak boleh memberikan mutiara (7:6)? Bukankah ayat ini justru melarang sikap yang permisif dan terlalu lunak terhadap kesalahan orang lain yang tegar tengkuk? Jika segala penilaian terhadap orang lain adalah salah, bagaimana kita dapat mengenali nabi-nabi palsu yang menyamar seperti domba padahal mereka adalah serigala (7:15)? Bukankah diperlukan kewaspadaan dan ketelitian untuk mengenali hal ini? Jadi, menghakimi (krinō) di 7:1-5 sebaiknya dipahami sebagai menghakimi dengan cara-cara yang salah.
Tujuan dari larangan “jangan menghakimi” adalah untuk menghindari penghakiman dari pihak lain. Jabatan sebagai hakim tidak menjamin bahwa seseorang tidak akan menjadi terdakwa. Beberapa hakim terbukti bersalah dan harus dihakimi oleh hakim yang lain. Demikian pula dengan kita.
Ketidakadaan subyek pada ayat 1b “supaya kamu tidak dihakimi” menyiratkan bahwa Allah adalah subyeknya. Dia yang berhak untuk menghakimi. Dia satu-satunya yang tidak mungkin didudukkan pada kursi terdakwa. Dengan pemikiran seperti ini, kita seyogyanya mencamkan peringatan dari Paulus: “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri” (Rm 14:4a). Pada saat kita berada dalam situasi yang menggoda kita untuk menghakimi orang lain, baiklah kita mengingat sebuah nasihat firman Tuhan: “Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang” (1 Kor 4:5a).
Alasan untuk tidak menghakimi (ayat 2-4)
Peringatan “supaya kamu tidak dihakimi” di ayat 1b bukan sekadar gertakan kosong. Ini bukan hanya sebuah kemungkinan, melainkan sebuah kepastian. Bukan pilihan, melainkan keniscayaan.
Mengapa penghakiman terhadap mereka yang suka menghakimi merupakan hal yang tak terelakkan?
Ayat 2 menerangkan alasan pertama (lihat kata sambung “karena” di awal ayat ini). Bagaimana kita menghakimi orang lain akan menentukan bagaimana kita akan dihakimi oleh orang lain dan, terutama, oleh Allah. Alkitab mengajarkan dengan tegas bahwa penghakiman yang tidak berbelas-kasihan akan menimpa mereka yang tidak berbelas-kasihan (Yak 2:13). Jika kita tidak mau penghakiman yang tidak berbelas-kasihan menimpa kita, kita pun harus menghindari sikap yang sama terhadap orang lain (bdk. Mat 7:12a “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”).
Di samping itu, tatkala kita menjadikan diri sebagai hakim, kita menganggap diri kita lebih tahu tentang banyak hal dibandingkan dengan orang yang sedang dihakimi. Pengetahuan seperti ini (atau, paling tidak, anggapan seperti ini) membuat kita akan dihakimi secara lebih berat (Yak 3:1b). Mereka yang tahu apa yang baik tetapi tidak melakukannya akan mendapatkan hukuman lebih banyak daripada mereka yang tidak tahu, sebab siapa yang banyak diberi, ia akan lebih banyak dituntut (Luk 12:48). Masihkah kita menginginkan jabatan sebagai hakim dan menganggap diri kita lebih tahu serta lebih baik daripada orang lain?
Alasan kedua ada di ayat 3-4. Kita tidak boleh menghakimi orang lain karena kita sendiri tidak lebih baik daripada orang tersebut. Bahkan, kita seringkali justru lebih buruk daripada orang itu. Jika orang lain yang tidak seburuk kita saja menerima penghakiman yang tidak berbelas-kasihan dari kita, bagaimana dengan penghakiman ilahi yang akan menimpa kita? Ini jelas merupakan peringatan yang tidak boleh diremehkan.
Untuk mendaratkan poin di atas, yaitu kebobrokan diri kita sendiri, Tuhan Yesus menggunakan sebuah metafora yang ekstrim dan humoris. Mereka yang suka menghakimi digambarkan sebagai orang yang mampu melihat selumbar di mata orang lain padahal matanya sendiri tertutup oleh balok. Istilah “selumbar” (karphos) bisa merujuk pada benda apapun yang sangat kecil, baik serpihan jerami atau kayu. Beberapa versi Inggris bahkan memilih “serbuk kayu” (NIV “speck of sawdust”) untuk mempertegas betapa kecilnya barang yang dilihat. Entah kita memilih serbuk kayu (yang sangat kecil dan lembut) atau selumbar/suban (yang sedikit lebih besar), makna yang ingin disampaikan tetap sama. Kesalahan orang lain mungkin sangat sepele, namun mereka yang suka menghakimi orang lain pasti akan menemukan hal itu. Apa yang tidak penting dijadikan penting. Apa yang kecil telah dibesar-besarkan.
Istilah “balok” (dokos) merujuk pada balok kayu besar yang biasanya digunakan sebagai palang utama atap rumah atau lantai. Ini bukan sekadar potongan kayu berukuran kecil atau sedang. Ini adalah balok utama dalam konstruksi sebuah rumah. Dari sini terlihat betapa berbedanya ukuran karphos dan dokos.
Untuk menambah kontras, Tuhan Yesus menggunakan dua kata kerja yang berbeda di ayat 3, yaitu melihat (blepō) dan mengetahui (katanoeō). Kata yang kedua ini menyiratkan sebuah pandangan yang lebih seksama daripada yang pertama (RSV/NRSV/ESV “see versus notice”). Katanoeō mencakup perhatian dan pertimbangan (NIV “pay attention; KJV/ASV “considerest”). Melalui penggunaan dua kata kerja ini kita dapat menangkap nuansa humor yang lebih kental dalam perkataan Tuhan Yesus. Orang yang suka menghakimi sudah sedemikian terlatih untuk menemukan kesalahan orang lain, sehingga ia hanya perlu melihat secara sekilas untuk mendapati kesalahan tersebut. Ironisnya, ia tidak memperhatikan kesalahan sendiri secara seksama. Tidak heran, apa yang begitu kentara di depan mata justru tidak terlihat.
Lebih humoris lagi adalah keinginan dan tawarannya untuk membantu mengeluarkan selumbar di mata orang lain sementara matanya tertutup balok yang begitu besar (ayat 4). Bagaimana mungkin dia dapat melihat dan mengeluarkan sesuatu yang kecil di mata orang lain dalam keadaan matanya terhalangi oleh balok yang sedemikian besar? Perumpamaan tentang orang buta menuntun orang buta bahkan tidak selucu gambaran di sini. Orang yang suka menghakimi benar-benar buta (seluruh mata tertutup balok), namun ia berusaha menuntun orang lain yang masih dapat melihat (karena hanya tertutup serbuk kayu).
Nasihat untuk yang suka menghakimi (ayat 5)
Ayat ini mengajarkan bahwa menilai orang lain pada dirinya sendiri tidaklah keliru. Membantu orang lain untuk mengenali dan membersihkan kesalahan pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang terpuji. Tuhan Yesus tidak melarang kita untuk membantu orang lain mengeluarkan selumbar di mata mereka. Kasih Kristiani bahkan mendorong kita untuk melakukan hal tersebut. Alkitab berkali-kali menasihati kita untuk membimbing maupun menegur orang lain yang bersalah (Gal 6:1; Kol 3:16; 2 Tim 2:25).
Yang dipersoalkan oleh Tuhan Yesus adalah kemunafikan pada saat menolong orang lain yang bersalah. Kita berbuat seolah-olah diri kita lebih baik daripada orang lain. Kita menganggap kesalahan orang lain lebih kentara daripada kesalahan kita sendiri. Kenyataannya, kita kadangkala lebih buruk daripada orang lain. Kesalahan kita lebih kentara daripada orang lain. Kita layak dimasukkan dalam sebutan “hai orang-orang munafik” (ayat 5a).
Perilaku seperti ini sangat mirip dengan legalisme orang-orang Yahudi pada zaman Tuhan Yesus. Mereka hanya bisa mengajar dan menghakimi orang lain, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang diajarkan (23:3). Mereka membebani banyak orang dengan aturan-aturan yang begitu berat, namun mereka sendiri tidak mau menyentuhnya (23:4). Kesalahan orang lain yang sepele dibesar-besarkan, tetapi kesalahan mereka yang fatal justru terlewatkan dengan mudah (15:1-6).
Supaya kita layak untuk menilai orang lain, kita perlu lebih dahulu mengeluarkan balok di mata kita (7:5b). Untuk mengeluarkannya, kita perlu lebih dahulu menyadari bahwa ada balok di mata kita. Selama kita merasa diri baik-baik saja, kita tidak akan bertambah baik. Kita cenderung lebih peka dan jeli dalam mengenali kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri. Sikap ini perlu diperangi.
Tatkala kita sudah memahami betapa bobroknya diri kita, terutama di hadapan Allah yang mahakudus, kita tetap akan mampu melihat kesalahan orang lain. Hanya saja, kali ini cara pandang kita akan berbeda. Kita akan memperlakukan dia sama seperti Allah telah memperlakukan kita. Penilaian kita akan diwarnai dengan belas-kasihan, kelemah-lembutan, dan kasih. Soli Deo Gloria.