Sukacita (Filipi 1:3-5)

Posted on 17/04/2016 | In Teaching | Leave a comment

Alkitab lebih banyak membicarakan tentang sukacita daripada kebahagiaan. Perhitungan komputer berdasarkan terjemahan Bahasa Indonesia Terjemahan Baru (LAI:TB) menunjukkan kata “sukacita” muncul 225 kali, sedangkan “bahagia” hanya 43 kali. Berdasarkan English Standar Version (ESV) dihasilkan: “sukacita” muncul 199 kali, “bahagia” hanya 13 kali. Perbedaan statistik yang cukup signifikan ini menyiratkan perbedaan konsep antara “sukacita” dan “bahagia.”

Kamus Inggris Oxford tahun 2014 membedakan dua kata itu berdasarkan kualitasnya. Sukacita mencakup bahagia, tetapi tidak sebaliknya. Sukacita adalah “sebuah perasaan kesenangan dan kebahagiaan yang besar.” Menurut Alkitab, perbedaan yang ada bukan hanya dari sisi kualitas atau jumlah.

Gambaran Alkitab tentang sukacita sangat berbeda dengan gambaran populer tentang bahagia. Banyak orang mengaitkan kebahagiaan dengan kesenangan dan kenyamanan yang bersumber dari situasi hidup yang baik. Tidak heran, kebahagiaan dipandang sebagai antonim dari kesusahan.

Tidak demikian dengan konsep Alkitab tentang sukacita. Sukacita bukan lawan dari kesusahan hidup. Orang Kristen tetap dapat bersukacita di tengah berbagai ujian hidup yang menyusahkan (Yak 1:2-3 “kebahagiaan” = lit. “sukacita”; “pencobaan” = lit. “ujian”). Kita bahkan bermegah di dalam penderitaan (Rom 5:3). 1 Petrus 1:6 memberikan nasihat: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan” (lit. “bergembiralah” = lit. “bersukacitalah”). Paulus malah mengucapkan sebuah paradoks yang indah: “sebagai orang yang berdukacita, namun senantiasa bersukacita” (1 Kor 6:10). Inilah keunikan sukacita Kristiani!

Jika memang sukacita Kristiani begitu luar biasa seperti itu, mengapa ada banyak orang yang mengaku Kristen dan rajin beribadah tetapi hidupnya terbelenggu oleh kesedihan, kekecewaan, dan kepahitan? Apa yang salah dengan situasi ini? Bagaimana menikmati sukacita yang sejati?

Hari ini kita akan membahas sukacita Kristiani dari terang Filipi 1:3-5. Bukan kebetulan kalau teks kita berasal dari Surat Filipi. Surat yang singkat ini memuat kata “sukacita” sebanyak 14 kali (kata benda chara = 5x, kata kerja chairō = 9x). Lebih menariknya lagi, surat yang dipenuhi nuansa sukacita ini ditulis oleh Paulus pada saat ia berada di dalam penjara (1:12-13).

Di dalam penjara Paulus tidak dapat pergi dengan leluasa. Ia selalu berada dalam pengawalan ketat para sipir penjara. Apa yang paling dia sukai, yaitu berkeliling dari kota ke kota untuk memberitakan injil, tidak bisa dilakukan lagi. Dia pun berada di dalam ketidakpastian, entah dia akan dibebaskan atau dijatuhi hukuman mati (1:20-24).

Bagaimana Paulus dapat merasakan sukacita yang besar di tengah situasi yang begitu sukar? Filipi 1:3-5 mengajarkan tiga rahasia. Semua ini juga akan membawa sukacita bagi kita.

Rahasia pertama: hidup berpusat pada Allah (ayat 3a)

Di tengah kesusahan Paulus masih mampu bersyukur. Kata Yunani eucharisteō merupakan kombinasi dari dua kata yang sama-sama indah: eu = baik dan charis = pemberian. Dalam konteks kekristenan, pemberian ini tentu saja dihubungkan dengan kebaikan Allah.

Orang yang selalu memikirkan kebaikan Allah akan bersukacita. Ia akan selalu memiliki alasan untuk memuji Allah. Tidak heran Daud mengajak jiwanya untuk memuji TUHAN sambil mengingat semua kebaikan-Nya (Mzm 103:2).

Sebaliknya, banyak orang terbelenggu oleh kesedihan karena mereka hanya memikirkan apa yang belum mereka miliki atau dapatkan. Mereka lupa menghitung apa yang mereka sudah dapatkan dari Allah. Mereka hanya terpaku pada hal-hal yang menurut mereka buruk, tetapi mengabaikan hal-hal yang baik dari Allah.

Paulus mampu melihat banyak kebaikan ilahi di tengah penderitaan yang ia alami. Dijebloskan ke dalam penjara karena tidak bersalah memang tidak mengenakkan, tetapi Paulus bersukacita sebab hal itu telah memungkinkan pemberitaan injil kepada pejabat penjara dan istana serta keluarga mereka (1:12-13). Kegigihannya dalam memberitakan injil juga menyemangati orang-orang Kristen lain untuk berani memberitakan injil (1:14). Tatkala ada orang lain yang berusaha memperberat bebannya di dalam penjara melalui pemberitaan injil yang tidak tulus, Paulus tetap memandang situasi tidak ideal itu sebagai kebaikan karena bagaimanapun Kristus tetap diberitakan (1:17-18). 

Walaupun kebaikan Allah nyata baginya, Paulus memilih untuk lebih memfokuskan pada relasinya dengan Allah daripada berkat-berkat Allah. Dia bukan hanya bersyukur. Ia berkata, “Aku beryukur kepada Allahku” (1:3a). Beberapa kali ia memang menggunakan ungkapan “Allahku” untuk menekankan kedekatannya dengan Allah (Rom 1:8; 1 Kor 1:4; Flm 1:4). Dia tidak bermaksud egois. Ia tidak sedang memperlakukan dirinya secara istimewa. Ia hanya ingin menegaskan kedekatan-Nya dengan Allah.

Dalam konteks Filipi 1, kedekatan Paulus dengan Allah juga terlihat di ayat 8. Ia memanggil Allah sebagai saksi yang mengenal hatinya. Ia pun mengalami kasih mesra Kristus Yesus yang ia ingin tunjukkan kepada jemaat Filipi. Betapa indah relasi Paulus dengan Allah!

Hanya mereka yang menjadikan Allah sebagai pusat hidup mereka yang akan menikmati sukacita. Meletakkan pusat hidup pada hal-hal yang sementara akan berakhir dengan kekecewaan, kesedihan, dan penyesalan. Katekismus Westminster artikel 1 menjelaskan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah “untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”. Kenikmatan hidup bersumber dari kemuliaan Allah. Dengan melakukan segala sesuatu bagi kemuliaan Allah (1 Kor 10:31), kita akan selalu mendapatkan sukacita ilahi.   

Rahasia kedua: hidup yang memperhatikan orang lain (ayat 3b-4)

Paulus tidak hanya memandang kepada Allah. Ia juga memperhatikan orang lain. Sukacitanya muncul dari perhatian yang tulus untuk jemaat Filipi. Dalam ingatan tentang mereka (ayat 3b), Paulus mendapatkan kesukaan. Dalam doa dan permohonan bagi mereka (ayat 4), Paulus mengalami sukacita ilahi.

Yang menarik di bagian ini adalah pemunculan kata “semua” (pas) sebanyak dua kali. Ayat 3b secara hurufiah berbunyi: “Aku bersyukur kepada Allahku atas semua (pas) ingatan tentang kalian”. Selanjutnya dikatakan “selalu dalam doaku untuk kalian semua (pas) aku memohonkan dengan sukacita”. Jadi, Paulus mensyukuri setiap ingatan tentang jemaat Filipi. Bukan hanya untuk beberapa orang, melainkan untuk semua.

Poin ini jelas menarik. Tidak semua ingatan tentang gereja di Filipi adalah positif. Pada awal pelayanan di sana Paulus menghadapi penganiayaan (1:29-30; Kis 16). Jemaat Filipi juga bukan jemaat yang sempurna. Ada perselisihan yang sedang terjadi (2:1-4, 14-15; 4:10). Bahaya sesat dari pihak ajaran Yahudi juga sedang mengancam (3:1-3).

Walaupun demikian, Paulus tetap bersukacita atas setiap jemaat dan atas setiap peristiwa yang terjadi. Sama seperti ia berusaha menemukan kebaikan ilahi di setiap situasi sulit yang ia hadapi, demikian pula ia berusaha mencari kebaikan-kebaikan dalam diri orang lain. Ketidaksempurnaan orang lain tidak menghalangi ucapan syukurnya bagi orang itu. Ketidaksempurnaan situasi tidak mencegah dia untuk bersukacita.

Sebagian orang kehilangan sukacita karena terlalu berkutat dengan diri mereka sendiri. Pekerjaan yang tidak lancar, situasi rumah yang tidak ideal, kondisi kesehatan yang buruk, dan hal-hal lain lagi tentang kita membuat kita kesulitan menemukan alasan untuk bersyukur dan bersukacita. Mulailah memandang ke sekeliling! Ucapkan syukur atas keberhasilan orang lain. Bersukacita dengan orang lain yang bersukacita.

Paulus tidak hanya mengingat jemaat Filipi. Ia juga mendoakan mereka (1:4). Inipun dia lakukan secara konsisten (“senantiasa”).

Dengan mendoakan orang lain, kita telah mengambil bagian dalam pergumulan orang itu. Ini membuat hidup kita lebih bermakna. Kita hidup bagi orang lain. Ada berapa banyak tokoh sejarah yang dipandang hebat karena mereka telah memberikan diri bagi kesejahteraan orang lain? David Livingstone di Afrika, Hudson Taylor di Tiongkok, William Carey di India, dan masih banyak lagi.

Rahasia ketiga: hidup bagi perluasan injil (ayat 5)

Ada banyak hal dalam jemaat Filipi yang bisa dijadikan alasan untuk ucapan syukur dan sukacita Paulus. Di antara semua itu, Paulus menyebutkan persekutuan mereka yang konsisten dalam berita injil. Kata “persekutuan” (koinōnia) di sini tidak terlalu berkaitan dengan persekutuan doa atau semacamnya. Koinōnia lebih ke arah “kemitraan” (RSV/NIV/ESV “partnership”).

Jemaat Filipi memang secara konsisten mengambil bagian dalam pelayanan Paulus dalam bentuk pemberian bantuan. Bagaimanapun situasi pelayanan Paulus, mereka siap memberi dukungan (1:7). Pada saat menulis surat ini pun, Paulus baru saja menerima bantuan materi dari mereka melalui Epafroditus (2:25). Bantuan ini tentu saja bukan yang pertama (4:15-18). Apa yang mereka lakukan untuk pemberitaan injil sudah cukup menjadi alasan bagi Paulus untuk bersukacita.

Mengapa hidup bagi perluasan injil merupakan alasan untuk bersukacita? Tujuan hidup manusia adalah Kristus (1:21). Mati atau hidup tidak masalah, yang penting kemuliaan Kristus dinyatakan (1:20). Dengan cara berpikir seperti di atas, setiap upaya yang kita lakukan untuk perluasan injil berarti bagian dari pemenuhan tujuan hidup tersebut. Tujuan hidup yang sedang dipenuhi tentu saja sudah memadai sebagai alasan untuk bersukacita.

Biografi para pekabar injil yang terkenal menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu bersukacita. Apakah mereka memiliki kehidupan yang nyaman? Tidak! Kehidupan awal mereka di Amerika atau Eropa jauh lebih menyenangkan. Apakah mereka sedang menikmati kesuksesan dalam pelayanan mereka? Tidak! Perjuangan berat dan lama kadangkala tidak menghasilkan buah yang banyak maupun kentara. Hanya dengan melibatkan diri dalam perluasan injil sudah cukup untuk menghadirkan sukacita dalam hidup mereka.

Situasi di atas bertolak belakang dengan kematian tragis beberapa selebriti dunia. Di tengah ketenaran, kenyamanan hidup, dan kemewahan, mereka justru putus asa dan bunuh diri. Situasi di atas juga berseberangan dengan keadaan sebagian orang Kristen sekarang. Mereka tidak semiskin para misionaris itu, tetapi hidup mereka tidak menunjukkan sukacita. Mengapa? Karena mereka telah memilih tujuan hidup yang keliru!

Apakah Saudara hidup untuk injil? Apa yang Saudara sudah lakukan? Ingatlah, semua jerih-payah yang tidak berpusat pada Allah, demi kebaikan orang lain, dan ditujukan untuk perluasan injil adalah jerih payah yang bodoh. Kita sudah berlelah-lelah, tetapi di kemudian hari akan menuai kekecewaan dan penyesalan. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko