Seperti Dia Yang Sempurna (Matius 5:48)

Posted on 10/01/2016 | In Teaching | Leave a comment

Banyak orang peduli dengan kesempurnaan. Beberapa wanita yang sudah cantik sengaja mengambil operasi plastik supaya terlihat sempurna. Beberapa orang tua marah besar pada saat nilai anak-anaknya hanya mendekati 100. Sebagian orang kaya bahkan rela kehilangan ratusan juta hanya untuk mengganti lantai rumah yang mereka anggap belum sesuai keinginan mereka. Para pendeta bersikap jaim dan munafik supaya terlihat sempurna di mata jemaat.

Alkitab tidak menentang upaya untuk memperhatikan kesempurnaan dalam hidup. Persoalannya, kesempurnaan seperti apa yang kita sedang kejar? Bagaimana kita mengejarnya?

Khotbah hari ini terdiri dari dua bagian besar. Yang pertama akan menerangkan keutamaan kesalehan Kristiani dibandingkan yang lain. Yang kedua akan menjelaskan keunikan kesalehan Kristiani. Keunikan inilah yang membuat kesalehan Kristiani menjadi lebih utama daripada alternatif yang lain.

Keutamaan kesalehan Kristiani

Pembacaan konteks secara seksama akan menunjukkan tuntutan kesalehan yang begitu tinggi terhadap para pengikut Tuhan Yesus. Kasih kita harus melebihi orang-orang yang tidak mengenal Allah maupun para pemungut cukai (5:46-47). Obyek kasih kita bukan hanya mereka yang baik terhadap kita, melainkan juga musuh-musuh kita.

Abraham Lincoln, presiden Amerika pada tahun 1861-1865, adalah teladan kasih semacam itu. Ia sangat dibenci oleh Stanton, dan sering diberi julukan badut murahan maupun gorila asli. Tidak sekali pun Lincoln meladeni hujatan dan hinaan itu. Pada saat Lincoln menjadi presiden, ia sengaja memilih Stanton sebagai kepala angkatan bersenjata Amerika, karena Stanton memang dipandang mampu untuk tugas itu. Ia memperlakukan Stanton dengan penuh kasih dan kebaikan. Pada detik-detik terakhir kehidupan Lincoln, pada saat ia berjuang melawan maut akibat penembakan, Stanton berdiri di sisinya dan sambil menangis Stanton berkata: “Di sini terbaring pemimpin terbesar umat manusia yang dunia pernah kenal.”

Bukan hanya melebihi orang-orang yang tidak mengenal Allah dan para pemungut cukai, kesalehan kita pun harus mengungguli kesalehan orang-orang yang beragama seperti Farisi dan ahli Taurat (5:20). Ini tantangan yang tidak mudah. Mereka sangat teliti dalam menjabarkan kitab suci. Berbagai perintah dan larangan dalam Alkitab yang berjumlah lebih dari 600 poin diberi tambahan penjelasan dan tuntutan. Hal-hal yang terlihat sangat sepele pun mereka perhatikan (23:23).

Jika demikian, dapatkah orang-orang Kristen melebihi kesalehan orang-orang Farisi dan ahli Taurat? Tentu saja! Orang-orang Farisi dan ahli Taurat hanya bisa mengajarkan, namun mereka tidak melakukannya (23:3-4). Kalau pun mereka melakukannya, itu dilakukan semata-mata untuk menuai pujian dari orang lain (23:5-7). Mereka adalah kumpulan orang munafik yang suka menghakimi orang lain (23:24-28).

Walaupun demikian, keutamaan kesalehan kita tentu saja tidak ditentukan oleh kebobrokan orang lain. Terlepas dari apapun tindakan orang-orang Farisi dan ahli Taurat, para pengikut Tuhan Yesus tetap harus menunjukkan kesalehan yang lebih utama. Kunci di balik keutamaan ini adalah keunikan kesalehan Kristiani, seperti yang diajarkan di Matius 5:48.

Keunikan kesalehan Kristiani

Tidak semua wujud kesalehan adalah benar-benar saleh. Kesalehan tanpa konsep yang benar akan menjadi sebuah kesalahan. Paulus beberapa kali mengecam upaya-upaya kesalehan yang tidak benar (Flp 3:1-6; Kol 2:20-23; 1 Tim 4:1-5).

Nah, bagaimana konsep kesalehan yang benar? Matius 5:48 menerangkan tiga poin penting tentang keunikan kesalehan Kristiani.

Pertama, kesalehan sejati bersumber dari sifat-sifat Allah. Bagi banyak orang, kesalehan identik dengan deretan peraturan yang harus dipatuhi. Dalam sebagian kasus, peraturan itu bahkan terlihat begitu menggelikan atau memprihatinkan. Orang menyiksa diri melalui cara-cara tertentu supaya terlihat saleh. Mereka hanya melakukan tanpa mempertanyakan, menuruti tanpa mengerti.

Tidak demikian halnya dengan kekristenan. Tuhan Yesus memang menghargai perintah dan larangan di dalam Hukum Taurat. Ia bahkan menegaskan otoritas dan permanensi Taurat (5:17-19). Namun, Ia melangkah lebih jauh daripada sekadar deretan perintah dan larangan. Bagi Dia yang penting bukanlah ekspresi di luar, melainkan esensi dari tiap perintah tersebut (5:21-47). Esensi dari pembunuhan adalah kemarahan dan kebencian (5:21-26). Esensi dari perzinahan adalah pikiran dan hati yang kotor (5:27-32). Esensi dari sumpah adalah integritas perkataan seseorang (5:33-37). Esensi dari hukum retaliasi adalah kasih dan penghargaan terhadap orang lain (5:38-47).

Lebih jauh, semua esensi di atas bersumber dari satu hal: sifat Allah yang sempurna (5:48). Semua perintah menunjukkan apa yang Allah sukai. Semua larangan menunjukkan apa yang Allah benci. Dua hal ini berakar dari sifat-sifat Allah. Allah yang penuh kasih tidak menyukai kebencian. Allah yang kudus menentang perzinahan. Allah yang benar menginginkan perkataan yang lurus. Allah yang berkemurahan menuntut kasih yang tanpa batas bagi semua orang.

Kita harus kudus karena Allah adalah kudus (1 Pet 1:16). Kita mengasihi orang lain karena Allah adalah kasih dan telah menunjukkan kasih-Nya kepada kita (1 Yoh 4:7-12). Pendeknya, perilaku dan perkataan kita seharusnya menunjukkan Allah seperti apa yang kita sembah (bdk. 5:16 “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga”).

Kedua, kesalehan sejati lebih menekankan proses daripada hasil. Tuntutan untuk menjadi sempurna seperti Bapa surgawi telah menimbulkan kebingungan bagi sebagian orang Kristen. Apakah Tuhan Yesus benar-benar memaksudkan kata teleios di ayat ini sebagai “sempurna”? Lalu, bagaimana kita bisa mencapai hal ini?

Sebagian mencoba menafsirkan teleios dengan “matang,” tetapi makna ini tidak sesuai konteks. Kata teleios muncul dua kali di ayat ini: satu untuk kita dan satu lagi untuk Bapa surgawi. Arti yang sama seharusnya diterapkan pada keduanya. Persoalannya, kita tidak mungkin memikirkan bahwa Bapa surgawi itu matang.

Sebagian penafsir yang lain berupaya membatasi kesempurnaan di ayat 48 dalam hal kasih. Mereka berpendapat bahwa ayat ini merupakan kesimpulan dari ajaran tentang kasih di ayat 44-47. Sama seperti Bapa mengasihi semua orang, demikian pula kita harus mencerminkan sifat dan tindakan itu.

Tafsiran semacam ini kurang tepat. Posisi ayat 48 di bagian akhir lebih tepat dipahami sebagai konklusi bagi ayat 17-48. Pemunculan kata “sempurna” untuk Bapa surgawi lebih cocok dengan cakupan yang lebih luas ini. Jika kesempurnaan ilahi di sini hanya dibatasi pada kasih, mengapa Tuhan Yesus tidak langsung mengatakan: “Hendaklah kamu mengasihi sama seperti Bapa di surga adalah penuh kasih?” Di samping itu, jika ayat 48 adalah konklusi bagi ayat 44-47, maka ayat 17-43 tidak memiliki konklusi. Hal ini tampaknya agak janggal.

Jika teleios memang berarti sempurna, apakah perintah ini mungkin untuk dipenuhi oleh orang-orang Kristen? Tidak! Kita tidak mungkin mencapai ukuran ini.

Justru di situlah keunikan kesalehan Kristiani terlihat dengan jelas. Yang paling penting adalah prosesnya, bukan hasil. Urusan kita adalah berupaya sebisa mungkin untuk menggapai titik yang tertinggi. Orang yang merasa sudah baik tidak akan bertambah baik. Mereka dengan mudah akan dikalahkan oleh mereka yang terus mau berlari ke arah yang lebih baik.

Kita mungkin akan jatuh berkali-kali, namun kita tidak akan tergeletak (Mzm 37:24). Orang benar akan selalu bangkit kembali (Ams 24:16). Melalui proses yang panjang kita akan terus-menerus diubah dari satu kemuliaan kepada kemuliaan yang lain (2 Kor 3:18). Seperti yang diungkapkan oleh Paulus dengan gamblang: “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Flp 3:13-14). 8

Ketiga, kesalehan sejati didasarkan pada anugerah Allah di dalam Kristus Yesus. Perintah dan larangan yang diberikan oleh Tuhan Yesus di Matius 5:17-48 memang tidak mungkin diraih oleh orang-orang Kristen. Karena itu, sejak awal Tuhan Yesus sudah menandaskan bahwa Ia yang akan menggenapi tuntutan Hukum Taurat (5:17). Apa yang gagal dilakukan oleh manusia telah digenapi oleh Kristus di kayu salib (Rom 8:3; Gal 3:13; 4:4-5).

Tuntutan terhadap kesempurnaan (Mat 5:48) berfungsi untuk memperjelas keberdosaan dan ketidakberdayaan kita. Bagaimanapun kita berusaha, kita tetap akan gagal mencapainya. Ibarat sekumpulan orang yang diminta untuk memetik bintang di langit, ada yang masih di kaki gunung, ada yang di tengah, dan ada pula yang melompat dari puncak gunung. Tidak peduli di mana pun posisi mereka, tidak ada satu pun yang dapat memetik bintang itu.

Yang kita bisa lakukan hanyalah beriman secara sungguh-sungguh kepada kurban Kristus yang sempurna di kayu salib. Kristus adalah pencipta dan penyempurna iman kita (Ibr 12:2). Walaupun pengudusan oleh Kristus yang kita terima melalui iman sudah sempurna, tetapi iman ini seyogyanya terwujud melalui kemauan kita untuk meneladani Kristus (Mat 11:28-30). Kita taat bukan karena keterpaksaan dan ketakutan terhadap hukuman Allah. Kita taat sebagai ucapan syukur kita atas anugerah Kristus. Melalui kurban Kristuslah kita disempurnakan, sehingga kita bisa menghadap Bapa tanpa cela dan noda (Ef 1:4; Kol 1:22; 1 Tim 6:14). Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko