Sejauh Mana Kebebasan Berpakaian Bagi Pelayan Ibadah? (Bagian 1)

Posted on 24/03/2019 | In QnA | Leave a comment

Pelaksanaan ibadah mencakup begitu banyak aspek. Salah satunya adalah penampilan pelayan ibadah. Walaupun aspek ini bukan yang terpenting, tetapi jika tidak diperhatikan bisa menimbulkan persoalan-persoalan yang penting. Jangankan penampilan para pelayan, pakaian jemaat pun bisa menyebabkan persoalan (bdk. 1Kor. 11:1b-16).

Isu ini menjadi lebih mendesak untuk digumulkan pada gereja-gereja tertentu yang mengadopsi gaya ibadah kontemporer. Tidak ada lagi seragam tertentu yang dikenakan. Berakhir sudah kejayaan baju lengan panjang, apalagi ditambah dasi dan jas. Pakaian para pelayan cenderung semakin santai.

Bagaimana kita sebaiknya menyikapi situasi ini? Sejauh mana kebebasan berpakaian (atau berpenampilan) boleh dilakukan?

Alkitab tidak memberikan petunjuk eksplisit tentang hal ini. Dalam Perjanjian Lama para imam (terutama imam besar) memang mengenakan pakaian khusus selama ibadah (Kel. 28; Ez. 3:10). Bagaimanapun, peraturan ini tampaknya tidak bisa dijadikan patokan untuk sekarang. Jangankan pakaiannya, keimamannya saja sudah ditiadakan (Ibr. semua orang percaya adalah imam, lihat 1Pet. 2:9).

Dalam tradisi beberapa gereja, para pelayan mengenakan pakaian tertentu. Namun, sekali lagi, hal ini tidak bisa dijadikan patokan. Praktek seperti ini baru muncul di fase akhir abad permulaan. Para rasul berpakaian seperti kebanyakan orang. Para penerus mereka cenderung mempertahankan kebiasaan ini.

Ketidakadaan patokan konkrit mendorong kita untuk mendekati persoalan ini seturut dengan akal budi Kristiani (Rm. 12:2). Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa prinsip penting yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, kepantasan. Ketika Paulus membahas persoalan penampilan di jemaat Korintus, dia menyoal tentang kepantasan (1Kor. 11:1b-16). Dalam konteks waktu itu, kepantasan lebih dikaitkan dengan perbedaan seks maupun gender (11:13-15). Perbedaan seks menyiratkan perbedaan ekspresi gender. Laki-laki dan perempuan perlu berdandan secara berbeda.  

Dalam konteks sekarang, isu kepantasan menjadi lebih kompleks. Yang berhubungan dengan perbedaan seks maupun gender tentu saja masih mengikat. Namun, masih banyak aspek kepantasan yang lain. Pantas berarti berkaitan dengan jenis dan tujuan kegiatan serta budaya setempat.

Pelayanan ibadah harus memahami esensi ibadah dan tujuan pelayanan. Ibadah bukan konser. Fokus ibadah adalah Tuhan, bukan para pelayan. Sebaliknya, para pelayan justru berfungsi untuk membantu jemaat berfokus pada Tuhan. Jika demikian, semua penampilan yang berpotensi mengganggu konsentrasi perlu untuk dikaji ulang. Sebagai contoh, penampilan yang asal-asalan atau – sebaliknya - berlebihan bertabrakan dengan tujuan pelayanan.

 

Bersambung………..

 

Yakub Tri Handoko