Sejarah kekristenan menunjukkan bahwa praktek disiplin gereja bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan secara tepat. Sebagian gereja kurang berani melakukannya padahal situasi menuntut demikian. Sebaliknya, sebagian yang lain justru terlalu gegabah padahal nasihat dan teguran keras saja seharusnya masih cukup. Bagaimana menentukan batasan yang benar? Saat bagaimana disiplin gereja dapat diterapkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan memfokuskan pada 1 Korintus 5:1-13. Ada beberapa teks lain yang juga menyinggung tentang disiplin gereja (Mat 18:15-20), namun kali ini kita lebih banyak menyoroti dari teks ini. Paulus secara tersirat mengajarkan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil.
Pertama, jenis dosa. Tidak semua dosa layak mendapatkan disiplin gereja. Untuk dosa-dosa tertentu, nasihat dan teguran saja sudah cukup. Dalam kasus 1 Korintus 5:1-13, dosa yang dilakukan tidak dapat dikompromikan. Hidup dengan ibu tiri adalah kesalahan yang menjijikkan, bahkan bagi orang-orang kafir sekalipun (5:1). Tidak heran, Paulus bukan hanya sekali saja mendengar kabar buruk ini, tetapi berkali-kali (bdk. present tense ‘diberitakan’, akouetai)
Kedua, durasi dosa. Ada banyak petunjuk dalam teks yang membuktikan bahwa dosa percabulan ini sudah lama berlangsung tanpa ada tanda-tanda perbaikan sedikit pun. Paulus sudah pernah mengirimkan surat lain sebelumnya untuk membahas persoalan yang sama (5:9-10). Keterangan waktu present tense dalam frase “hidup dengan istri ayahnya” (lit. terus-menerus memiliki istri ayahnya”) menyiratkan kontinuitas dosa. Kontinuitas ini akan menjadi lebih serius apabila pelaku kesalahan terus-menerus menolak bimbingan rohani yang diberikan oleh gereja (Mat 18:15-17).
Ketiga, respon terhadap dosa. Sikap negatif terhadap dosa seringkali sama seriusnya dengan dosa yang dilakukan. Kita mengenal kasus Saul dan Daud dengan baik. Kedua bukan pemimpin yang sempurna. Mereka berdosa. Kualitas kepemimpinan mereka justru dibedakan dari sikap terhadap dosa. Penyakit serius dalam jemaat Korintus bukan hanya jenis dosa yang menjijikkan, tetapi respon yang keliru terhadap keseriusan dosa tersebut. Baik pelaku maupun jemaat lain malah sombong dan tidak mau berduka (5:2).
Keempat, potensi dampak negatif yang ditimbulkan. Percabulan yang terjadi tampaknya sudah memberikan pengaruh buruk dalam jemaat. Paulus mengumpamakan itu seperti pengaruh ragi pada adonan roti (5:6b). Banyak orang memberikan penerimaan terhadap orang ini, sehingga menimbulkan kesan bahwa kesalahan tersebut tidak seberapa serius. Penerimaan ini ditunjukkan melalui pergaulan (5:9, 11) dan makan bersama (5:11). Kata ‘bergaul’ (synanamignymi) dalam konteks ini mengarah pada kedekatan yang khusus. Ini juga didukung oleh kesediaan untuk makan bersama. Sesuai konteks pada zaman dahulu, makan bersama membutuhkan kedekatan dalam tahap tertentu.
Kelima, kebersamaan semua elemen gereja yang lain. Unsur kebersamaan dalam teks ini sulit untuk diabaikan. Paulus merasa perlu memberikan persetujuannya terhadap hukuman yang layak diambil (5:3). Ia tidak lupa mengingatkan jemaat Korintus tentang kesatuan rohani antara mereka, walaupun terpisah oleh jarak (5:4). Poin yang ingin disampaikan adalah persetujuan dan kesatuan hati. Dalam konteks gereja modern, kebersamaan ini dapat ditunjukkan melalui keputusan bersama majelis (tipe presbyterian) atau rapat bersama jemaat (tipe congregational). Pendeknya, disiplin gereja tidak boleh hanya ditentukan oleh orang tertentu. Kebersamaan ini menjamin obyektivitas keputusan.