Seeking Miracles? (Kisah Para Rasul 8:14-1-25)

Posted on 21/07/2013 | In Teaching | Leave a comment

Teks kita hari ini menceritakan tentang seorang “mantan” tukang sihir di Samaria yang begitu terkagum-kagum dengan karya Roh Kudus melalui Filipus, Petrus, dan Yohanes. Filipus dipakai Allah untuk mengadakan berbagai kesembuhan ajaib, sedangkan dua nama terakhir dipakai Allah sebagai sarana pemberian karunia Roh Kudus melalui penumpangan tangan. Kekaguman yang luar biasa dalam diri Simon mendorong ia untuk menawarkan uang guna memiliki kemampuan yang sama dengan para rasul.

Sebelum kita melihat bahwa tindakan Simon sebenarnya secara esensial sangat mirip dengan orang-orang Kristen modern di kalangan tertentu, kita akan mempelajari beberapa isu teologis yang berhubungan dengan pemberian Roh Kudus kepada orang-orang Samaria melalui penumpangan tangan para rasul (Petrus dan Yohanes). Apakah orang-orang di Samaria sungguh-sungguh bertobat? Mengapa mereka belum mendapatkan karunia Roh Kudus? Mengapa harus melalui para rasul?

Utusan dari Yerusalem (ayat 14-17)

Terjemahan LAI:TB “tanah Samaria” (ayat 14a) tidak boleh ditafsirkan “seluruh daerah Samaria”. Ayat 25 menyiratkan bahwa masih banyak kampung di Samaria yang belum mendengarkan injil keselamatan. Walaupun pelayanan Filipus secara geografis tidak bersifat nasional, tetapi apa yang terjadi di sana cukup menarik perhatian. Para pemimpin gereja di Yerusalem mendengar apa yang Allah sedang kerjakan di Samaria, dan mereka pun mengutus Petrus dan Yohanes ke sana, karena orang-orang percaya di Samaria belum menerima Roh Kudus (ayat 15-16).

Situasi di atas bagi sebagian teolog merupakan hal yang sangat ganjil. Mereka beranggapan bahwa kemampuan seseorang untuk percaya kepada Tuhan Yesus sendiri pasti didahului dengan pekerjaan Roh Kudus dalam hati mereka. Bagaimana bisa sekelompok orang yang mengaku percaya dan memberi diri dibaptis ada yang belum menerima Roh Kudus? Sebagai solusi untuk kebingungan ini, sebagian penafsir meyakini bahwa orang-orang di Samaria tidak sungguh-sungguh bertobat. Beberapa argumen umum yang digunakan sebagai dukungan antara lain: (1) kata prosechō (ayat 6, LAI:TB “menerima”) sebenarnya hanya berarti “memberi perhatian” (semua versi Inggris). Lagipula kata ini sebelumnya digunakan untuk respon penduduk Samaria terhadap Simon (ayat 10-11, LAI:TB “mengikuti”); (2) iman mereka ditujukan pada Filipus (ayat 12a “sekarang mereka percaya kepada Filipus”), bukan kepada Tuhan Yesus; (3) walaupun Simon sudah percaya dan dibaptis (ayat 13), ia terlihat belum mengalami pertobatan (ayat 21-23); (4) apa yang dilakukan penduduk Samaria mungkin sekadar mob mentality (mentalitas massa), yaitu situasi di mana seseorang kehilangan individualitasnya di tengah kerumunan massa. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka hanya ikut-ikutan saja; (5) seandainya mereka sudah bertobat sungguh-sungguh, sulit dipahami mengapa mereka belum menerima Roh Kudus (ayat 16).

Penyelidikan yang lebih teliti menunjukkan bahwa orang-orang Samaria memang sudah percaya secara sungguh-sungguh: (1) kata prosechō juga dikenakan pada Lydia yang sungguh-sungguh bertobat (16:14). Menariknya lagi, kemampuan Lydia untuk prosechō didahului dengan frase “Tuhan membuka hatinya”; (2) penduduk Samaria mengalami sukacita (8:8), sama seperti sida-sida dari Etiopia (8:39). Mempertimbangkan pentingnya konsep tentang sukacita dalam tulisan Lukas, keterangan tersebut seharusnya diberi bobot yang lebih; (3) mereka tidak hanya percaya kepada Filipus, namun juga telah “menerima firman Allah” (ayat 14) yang disampaikan oleh Filipus (ayat 12b “...kepada Filipus yang memberitakan injil Kerajaan Allah dan nama Yesus Kristus”); (4) Petrus dan Yohanes tidak menginjili ulang maupun membaptis ulang mereka. Keduanya hanya menumpangkan tangan. Hal ini perlu diperhatikan karena Paulus membaptis ulang para pengikut Yohanes Pembaptis (19:5) dan karena penumpangan tangan bukanlah kebiasaan yang umum pada waktu itu (1 Tim 5:22); (5) alasan para rasul di Yerusalem mengutus Petrus dan Yohanes adalah karena “tanah Samaria telah menerima firman Allah” (ayat 14a). Seandainya berita itu belum teruji kebenarannya, maka keduanya akan diutus sekadar untuk mengecek; (6) dalam teologi Lukas, pemberian karunia Roh Kudus memang didahului oleh pertobatan (2:38).

Poin terakhir di atas sekaligus menghantar kita pada sebuah kesalahpahaman populer: banyak orang membaca tulisan Lukas dari perspektif Paulus. Walaupun pandangan Lukas dan Paulus tidak berkontradiksi, tetapi kita harus menghargai keunikan penekanan masing-masing penulis Alkitab. Dalam tulisan Paulus yang lebih ditekankan adalah karya Roh Kudus dalam mempertobatkan (1 Kor 2:13-14; 12:3), menjamin (Ef 1:13-14), dan mengontrol orang percaya (Ef 5:18). Di sisi lain, Lukas memilih untuk menyoroti karya Roh Kudus dalam memberikan kuasa dan menjadikan orang-orang percaya sebagai saksi (Kis 1:8). Tidak heran, pemenuhan Roh Kudus di tulisan Lukas terjadi sesudah pertobatan (2:38; 19:2) dan bisa berulang (Kis 2:1-11; 4:31).

Mengapa Roh Kudus baru turun melalui pelayanan Petrus dan Yohanes? Apakah Filipus kurang memadai sebagai sarana pemberian karunia Roh Kudus? Situasi ini pasti bukan karena perbedaan status pelayanan (rasul dan bukan rasul). Pada waktu Paulus bertobat dan dipenuhi Roh Kudus, ia ditumpang tangan oleh Ananias yang bukan seorang rasul (9:17). Pengutusan Petrus dan Yohanes harus dipahami dalam dua sisi. Pertama, realisasi janji Tuhan Yesus di 1:8. Pergerakan injil ke seluruh dunia harus berawal dari Yerusalem. Alasan ini pula yang mendorong para pemimpin di Yerusalem mengutus Barnabas ke Antiokhia pada saat injil sudah menjangkau wilayah non-Yahudi (11:19-22). Kedua, halangan kultural. Perasaan superioritas rasial dalam diri orang Yahudi membuat mereka sulit menerima orang lain. Bahkan janda-janda Yahudi yang berbudaya Yunani pun disepelekan (6:1). Pada waktu pertobatan Kornelius dan seluruh isi rumahnya (pasal 10), Petrus justru “dihakimi” oleh orang percaya di Yerusalem karena dianggap melanggar tradisi Yahudi (11:1-3). Sebagian orang Kristen Yahudi menuntut agar orang Kristen Yunani mengadopsi cara hidup mereka (15:1-3). Seandainya penduduk Samaria menerima Roh Kudus melalui pelayanan Filipus, halangan untuk menerima orang Samaria sebagai bagian dari umat Allah tetap akan ada, karena Filipus berbudaya Yunani. Dengan mengutus Petrus dan Yohanes yang beretnis dan berbudaya Yahudi tulen, halangan kultural akan jauh lebih diminimalisasi.

Hasrat yang salah terhadap mujizat (ayat 18-25)

Pemenuhan Roh Kudus tampaknya disertai dengan bukti-bukti yang kasad mata, walaupun Lukas tidak menceritakan secara jelas bukti seperti apa yang ia maksud (ayat 18a “Simon melihat...”). Kekaguman Simon yang sudah terbentuk sejak pelayanan Filipus kini menjadi semakin memuncak. Ia pun secara spontan mengekspresikan hasratnya untuk memiliki kuasa supernatural seperti yang ditunjukkan para rasul. Hasrat yang tidak kudus seperti ini juga sering muncul di kalangan orang Kristen sekarang. Apa saja yang salah?

Pertama, fokus pada metode dan hamba Allah (ayat 18-20). Ucapan Simon di ayat 19 menyiratkan kesalahan ini. Permintaan dan suap dari Simon ditujukan pada para rasul (“berikanlah padaku kuasa itu”). Ia juga terlalu terpaku pada penumpangan tangan (“supaya jika aku menumpangkan tanganku atas seseorang”), padahal pemberian Roh Kudus tidak harus melalui penumpangan tangan (2:1-11; 4:31; 10:44-45; 11:15-17). Apa yang dipersepsi oleh Simon sebagai “kuasa manusia yang bekerja melalui metode tertentu” diterangkan Petrus sebagai “karunia Allah” (ayat 20).

Kedua, karunia Allah melalui usaha manusia (ayat 20). Tawaran uang dari Simon menunjukkan bahwa kuasa Allah bisa dibeli. Hal ini tentu saja sangat keliru. Dalam tulisan Lukas, penggunaan harta sangat ditekankan. Kekristenan seseorang juga diukur berdasarkan bagaimana ia menggunakan hartanya. Bagi Lukas, pemberian uang seharusnya menjadi bukti atau ucapan syukur bahwa seseorang sudah menerima karunia ilahi. Salah satu bukti kepenuhan Roh Kudus adalah kemurahhatian yang ditunjukkan gereja mula-mula (2:44-46; 4:32-37). Selain itu, karunia Allah jauh lebih berharga daripada harta, sehingga tidak mungkin dapat dibeli dengan semua itu. Pada saat seorang pengemis di bait Allah mengharapkan uang dari Petrus dan Yohanes, Petrus berkata: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” (3:6). Pengemis itu mendapatkan yang lebih baik daripada apa yang ia sendiri harapkan!

Ketiga, hati yang tidak beres di hadapan Allah (ayat 21-23). Reaksi spontan Simon yang ingin membeli karunia Allah ternyata merefleksikan isi hatinya. Hati Simon digambarkan seperti jalan yang tidak lurus, dipenuhi niat jahat dan kepahitan, serta terikat dengan dosa. Dalam teks Yunani frase “empedu yang pahit” menyiratkan penekanan, karena kata cholē (LAI:TB “empedu”) sendiri sudah merujuk pada hal-hal yang pahit. Empat penjelasan tentang hati Simon juga semakin menandaskan kegelapan hatinya. Ia belum mengalami pertobatan yang sejati! Ia masih sulit memisahkan diri dari masa lalunya yang ditandai dengan popularitas, kuasa, dan kekaguman. Semua hal ini masih menjadi prioritas dalam hidupnya. Bahkan ketika Petrus memerintahkan dia berdoa kepada Tuhan untuk pertobatan (ayat 22), Simon justru meminta para rasul yang mendoakan dia (ayat 24). Isi doanya pun hanya terfokus pada upaya melarikan diri dari hukuman Allah, bukan memohon Allah mengubahkan hatinya. Walaupun tradisi bapa-bapa gereja belum tentu bisa dipercaya, tetapi gambaran negatif tentang Simon di kekristenan awal pasti bukan tanpa sebab.

Keempat, pengabaian terhadap rencana keselamatan Allah. Seperti sudah dijelaskan di depan, pengutusan Petrus dan Yohanes berhubungan dengan realisasi janji Tuhan Yesus di 1:8. Yang dipentingkan adalah pergerakan injil ke seluruh dunia. Pemberian mujizat dan karunia Roh Kudus yang lain dimaksudkan untuk pelebaran Kerajaan Allah, bukan sekadar kepentingan atau kenyamanan pribadi. Simon hanya memikirkan kekaguman orang terhadap dirinya. Ia tidak mengerti rencana Allah yang jauh lebih agung daripada popularitas diri.

Konklusi

Kesalahan yang dilakukan Simon merupakan tipikal kesalahan orang-orang Kristen di kalangan tertentu. Karena itu, sebelum menginginkan suatu mujizat dari Allah, renungkan beberapa pertanyaan berikut ini.

Apakah kita membatasi bahwa kuasa Allah harus dinyatakan melalui hal-hal supernatural sehingga kurang menghargai pemeliharaan Allah yang “lebih natural”? Apakah kuasa itu kita batasi melalui benda-benda tertentu yang kita perlakukan sebagai jimat (minyak urapan, roti dan anggur, dsb.)? Apakah kuasa Allah harus melalui orang-orang tertentu?

Apakah kita menganggap bahwa karunia Allah dapat diupayakan melalui pemberian uang (memberi supaya diberkati), puasa yang ekstrem (puasa sebagai bentuk desakan kepada Allah) maupun doa yang bersifat mengatur Allah (iman kita lebih besar daripada kehendak Allah)? Apakah mujizat akan terjadi kapan pun kita mau atau setiap kali kita berdoa?

Apakah hasrat kita untuk mengalami mujizat bersumber dari ketidakmauan kita untuk bertumbuh dalam penderitaan maupun dari pengaruh semangat jaman yang hedonis dan serba instan?

Seandainya kita menjawab “ya” untuk salah satu pertanyaan di atas, maka kita sebenarnya tidak memahami maksud Allah di balik mujizat. Kita telah mencari sesuatu yang salah. Kita menyimpan hasrat yang tidak kudus. Jika ini yang terjadi, kita harus segera bertobat dan memohon pengampunan dari Tuhan Yesus. Soli Deo Gloria.

admin