Martin Luther pernah berkata bahwa kekristenan adalah tentang sebuah proses (becoming), bukan hasil (being). Kita terus berada dalam sebuah pergumulan untuk menjadi lebih baik. Proses ini tidak akan pernah berhenti selama kita hidup di dunia.
Begitulah gambaran dari proses pengudusan setiap orang Kristen. Kelahiran baru yang Allah kerjakan dalam hidup kita harus diresponi dengan hidup yang baru pula. Kita mengadopsi nilai dan gaya hidup kerajaan Allah. Perubahan status rohani membawa pada perubahan cara hidup.
Hari ini kita akan melihat salah satu aspek dari perubahan tersebut, yaitu dalam hal kasih kepada musuh. Kita diperintahkan Tuhan Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita. Perintah ini pasti mencengangkan banyak orang. Nietsche pernah menganggap topik ini sebagai hal yang lemah dan tidak jujur.
Bagaimana kita meresponi tuduhan Nietsche ini? Apa yang membuat perintah ini menjadi begitu istimewa (dalam hal keindahan maupun kesulitan)? Melalui khotbah hari ini kita akan melihat bahwa perintah untuk mengasihi musuh-musuh kita memang menjadi salah satu pembeda antara prinsip kerajaan Allah dengan yang lain. Kesalehan orang Kristen adalah unik dan terus-menerus. Ujung dari proses yang sangat panjang dan kadangkala melelahkan ini adalah anugerah Allah.
Kekudusan yang melampaui tradisi (ayat 43-44)
Untuk kesekian kalinya di pasal 5 ini Tuhan Yesus memulai perintah-Nya dengan ungkapan: “Engkau telah mendengarkan firman....”. Terjemahan ‘firman’ dalam LAI:TB bisa menimbulkan kesan bahwa semua isi kutipan yang menyertai frasa ini benar-benar keluar dari mulut Allah. Kesan semacam ini belum tentu benar.
Dalam teks Yunani Alkitab tidak ada kata ‘firman’. Secara hurufiah bagian ini berbunyi: “kalian telah mendengarkan bahwa ini telah dikatakan”. Bahkan obyek dari apa yang dikatakan di sini tidak sepenuhnya berasal dari Alkitab. Jadi, kita sebaiknya memandang kutipan-kutipan yang menyertai ini sebagai tradisi lisan tentang Perjanjian Lama, entah itu benar-benar kutipan dari teks Perjanjian Lama maupun sekadar penafsiran/pemahaman orang-orang Yahudi terhadap teks-teks tersebut.
Bagian awal dari ayat 43 berasal dari Imamat 19:18. Dalam kasus ini Injil Matius tidak mencantumkan “seperti dirimu sendiri” (bdk. 22:39). Penghilangan bagian ini mungkin dimaksudkan untuk memperjelas kontras antara ayat 43a (kasihilah sesamamu) dan 43b (bencilah musuhmu). Karena ‘membenci musuh’ tidak memiliki penjelasan tambahan apapun, demikian pula ‘mengasihi sesama’ tidak diberi tambahan ‘seperti dirimu sendiri’.
Bagian berikutnya di ayat 43b – “bencilah musuhmu” – bukanlah kutipan langsung dari Perjanjian Lama. Walaupun demikian, bagian ini merupakan inferensi yang biasanya ditarik dari beberapa teks Perjanjian Lama, misalnya orang percaya pasti membenci orang fasik dan pembuat kejahatan (Mzm 26:5) serta semua musuh-musuh Allah (Mzm 139:21-22). TUHAN sendiri berjanji akan mengutuk musuh-musuh Israel (Ul 30:7). Perintah ilahi kepada bangsa Israel untuk menumpas tuntas semua musuh mereka (misalnya Ul 7:2) juga bisa ditafsirkan sebagai perintah untuk membenci musuh.
Terlepas dari benar atau tidaknya inferensi semacam itu, penafsiran seperti ini memang menjadi populer dalam tradisi Yahudi. Masyarakat Qumran yang tinggal di sekitar Laut Mati dan memisahkan diri dari orang-orang Yahudi lain di kota secara eksplisit mengajarkan kebencian terhadap musuh-musuh mereka. Persoalannya, siapakah yang dimaksud dengan “musuh” dalam konteks ini? Dalam tulisan Qumran ‘sesama’ dan ‘musuh’ dimengerti secara lebih sempit, namun secara umum dalam tradisi Yahudi waktu itu ‘sesama manusia’ adalah bangsa Yahudi, sedangkan ‘musuh-musuh’ adalah bangsa-bangsa lain (bdk. Luk 10:25-37).
Terhadap konsep umum ini, Tuhan Yesus – seperti biasa – memberikan sebuah kontras yang bersifat menekankan. Ungkapan egō de legō hymin (5:22, 26, 32, 34, 39) dalam teks Yunani mengandung penekanan: “Tetapi Aku, Aku berkata kepada kalian”. Sebagai pengikut Tuhan Yesus, kita mengadopsi cara pandang baru yang seringkali terlihat baru dan radikal. Tidak ada tradisi Yahudi yang benar-benar sejajar dengan apa yang Yesus katakan di ayat ini. Kita diperintahkan untuk mengasihi musuh-musuh kita.
Tambahan ‘berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu’ (ayat 44b) memiliki dua fungsi di ayat ini. Pertama, bagian ini menerangkan pengertian “musuh”. Musuh ternyata bukan orang yang kita perlakukan secara tidak baik, melainkan mereka yang memperlakukan kita secara tidak baik (bdk. 5:10-12). Jadi, orang Kristen sebenarnya tidak memiliki “musuh” dalam arti kita secara sengaja dan aktif berbuat jahat kepada orang lain. Kita tidak menjadikan orang lain sebagai musuh, namun merekalah yang menganggap kita demikian.
Kedua, bagian ini menjelaskan bahwa mengasihi bukan hanya bersifat pasif dan terbatas pada perasaan belaka. Kasih harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata, yaitu mendoakan mereka. Jika mendiamkan musuh saja sudah menjadi sedemikian sulit bagi kita, bagaimana kita bisa menunjukkan kasih semacam ini kepada mereka? Inilah keunikan kekristenan. Kita dituntut untuk menunjukkan kesalehan yang melebihi batasan tradisi. Kekudusan kita harus lebih benar dan lebih besar daripada orang-orang Farisi dan ahli Taurat (5:20).
Kekudusan yang melampaui ukuran dunia (ayat 46-47)
Untuk mempertegas keunikan kesalehan orang Kristen, Tuhan Yesus membuat sebuah perbandingan dengan para pemungut cukai (telōnai, ayat 46) dan orang-orang yang tidak mengenal Allah (ethnikoi, ayat 47). Dua kelompok orang ini dikenal sebagai kaum pendosa dalam tradisi keagamaan Yahudi. Mereka adalah orang-orang kafir, walaupun beberapa pemungut cukai secara etnis adalah Yahudi. Secara moral maupun relijius dua golongan ini termasuk masyarakat rendah (lihat 9:10-11; 11:19; 18:17; 21:31-32).
Dengan membuat kontras semacam ini, Tuhan Yesus secara tidak langsung sedang menunjukkan bahwa konsep kasih dalam tradisi Yahudi sebenarnya tidak lebih baik daripada ukuran dunia. Orang-orang Yahudi yang merendahkan dan mengecam para pemungut serta orang-orang non-Yahudi melakukan hal yang secara esensial sama: mereka hanya mampu berbuat baik kepada orang lain yang juga baik kepada mereka.
Pemunculan kata ‘upah’ (misthon) di ayat 46 tidak berarti bahwa Tuhan Yesus menjadikan upah sebagai motivasi atau tujuan kesalehan. Hal ini hanya menyiratkan konteks keagamaan yang umum pada waktu itu. Dalam lingkungan Yahudi, kesalehan seringkali dikaitkan dengan upah. Celakanya, mereka bahkan menginginkan upah dari manusia (5:12; 6:1-16; 10:41-42). Walaupun tujuan kekudusan Kristiani bukanlah upah, namun Allah pasti akan memberikan upah kepada mereka yang menaati Dia. Upah ini tentu saja bukan berupa keselamatan, karena keselamatan adalah hasil perbuatan Allah (19:25-26).
Pemberian salam (aspazomai) yang dimaksud di ayat 47 mengandung makna yang berbeda dengan salam modern. Kita terbiasa memandang ‘salam’ sebagai sebuah sapaan belaka. Dalam tradisi Yahudi waktu itu, sebuah salam berisi doa atau harapan yang baik bagi orang yang menerima salam itu. Lebih daripada sebuah bagian dari komunikasi, pemberian salam lebih tepat dipahami sebagai impartasi berkat. Karena itu, ada orang yang layak menerima salam dalam arti yang sesungguhnya (diberi salam dan berkat dalam salam itu tinggal pada diri mereka) dan ada pula yang tidak layak untuk menerimanya (10:12).
Memiliki gaya hidup yang berbeda dengan dunia merupakan karakteristik orang percaya. Kita adalah garam dan terang dunia (5:13-16). Perbedaan antara kita dengan dunia adalah seperti perbedaan antara terang dan gelap atau asin dan tawar. Jika tingkat terang dan keasinan kita tidak berbeda dengan dunia, bagaimana kita dapat menerangi dan menggarami mereka? Baik dalam hal berdoa (6:7) maupun cara pandang kita terhadap materi (6:32) kita harus menunjukkan perbedaan dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.
Kekudusan yang bersumber dari status sebagai anak-anak Allah (ayat 45, 48)
Dalam bagian ini Tuhan Yesus menjelaskan bahwa perbedaan gaya hidup bersumber dari status rohani kita. Orang Kristen tidak boleh hanya menuntut hal-hal yang “mengenakkan” dari status kita sebagai anak-anak Allah – misalnya berkat dan pemeliharaan dari Allah sebagai Bapa kita – namun kita juga harus mengerti tuntutan yang menyertai status tersebut. Kekudusan kita bukan berasal dari tradisi, apalagi sekadar tuntutan dari dunia. Kekudusan kita bersifat jauh lebih mendasar.
Frasa “karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga” di ayat 45a dapat menimbulkan kesan bahwa status sebagai anak-anak Allah merupakan hasil usaha manusia. Kesan ini jelas keliru. Di bagian sebelumnya Tuhan Yesus sudah menunjukkan bahwa kesalehan membuktikan status rohani kita, bukan menyebabkan kita memiliki status tersebut. Di 5:9 dikatakan bahwa orang-orang yang membawa damai akan disebut anak-anak Allah (bukan ‘akan menjadi’). Lagipula, keterangan waktu yang digunakan di ayat 45a bukan futuris, seolah-olah kita belum menjadi anak-anak Allah (hopōs genēsthe). Di samping itu, ayat 48 secara eksplisit mengajarkan bahwa status sebagai anak-anak Allah mengandung tuntutan kesalehan seperti Bapa kita, bukan sebaliknya.
Apa yang dilakukan oleh Bapa di surga menjadi standar hidup kita. Kalau Dia berbuat baik kepada orang yang baik maupun kepada orang yang jahat (5:45), maka kita pun wajib berbuat demikian. Apakah dengan demikian kita harus menunjukkan kasih yang sama kepada semua orang? Kelihatannya tidak! Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa Bapa di surga memperlakukan semua orang secara sama dalam segala hal. Ia hanya menyinggung tentang apa yang bisa disebut “anugerah umum” (pemeliharaan untuk semua manusia).
Walaupun demikian, kita tidak boleh salah memahami kebenaran ini. Perbedaannya bukan secara kualitatif (antara membenci dan mengasihi), melainkan secara kuantitatif (perbedaan tingkatan kasih). Perbedaan bukan antara pasif (sekadar mendiamkan) dan aktif (menunjukkan kasih), melainkan sama-sama aktif namun dalam bentuk yang berbeda.
Tuhan Yesus menutup nasihat-Nya dengan sebuah perkataan yang bersifat menekankan di ayat 48. Penekanan ini tercermin dalam terjemahan RSV: “kalian, karena itu, haruslah sempurna” (esesthe oun hymeis teleioi). Penekanan ini dimaksudkan untuk mengontraskan orang-orang percaya dengan para pemungut cukai maupun orang-orang yang tidak mengenal Allah di ayat 46-47). Kita harus berbeda dengan dunia. Perbedaan itu - sekali lagi - dikaitkan dengan status sebagai anak-anak Allah.
Lebih jauh daripada itu, peneladanan ilahi (imitatio Dei) ini mencakup kesempurnaan sifat seperti Bapa (“hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”). Tuntutan ini terdengar mustahil untuk dilakukan. Karena itu sebagian penafsir berusaha memberikan tafsiran yang berbeda. Misalnya, mereka menafsirkan kata ‘sempurna’ (teleios) dalam arti penggenapan: kasih kepada sesama adalah penggenapan Taurat (bdk. 22:40). Yang lain memahami hal ini dalam konteks etika hidup yang menonjol (Kej 6:9; 17:1; 2 Sam 22:24-27).
Semua upaya penafsiran di atas tidak tepat. Kesempurnaan di Matius 5:48 bukan hanya dikontraskan dengan orang-orang lain, tetapi disejajarkan dengan Bapa. Kesalehan ini bukan hanya di hadapan Bapa, melainkan seperti Bapa. Sebagaimana kekudusan Bapa menjadi dasar kekudusan umat-Nya (Im 19:2; 1 Pet 1:16), demikian pula kesempurnaan Bapa harus diteladani.
Bagaimana kita mampu melakukan hal ini? Kita tidak akan pernah bisa mencapai standar ini! Kalau demikian, apakah perintah ini sia-sia diberikan? Sama sekali tidak! Yang dipentingkan dalam pengudusan adalah proses, bukan hasil. Di samping itu, ketidakmampuan semua orang untuk memenuhi ukuran ini akan ditutupi oleh anugerah Allah. Anugerah ilahi akan menjembatani titik terjauh yang kita mampu capai dengan titik sempurna sifat-sifat ilahi. Tugas kita adalah terus-menerus aktif dalam proses pengudusan. Tatkala kita berhasil dalam perjalanan ini, kita jangan sombong, karena perjalanan kita masih jauh sekali. Tatkala kita gagal, kita jangan putus asa, karena anugerah Allah akan selalu menunggu di depan kita. Maukah kita bersungguh-sungguh dan tanpa kenal lelah berproses bersama Tuhan dan oleh kekuatan Tuhan? Soli Deo Gloria.