Dalam dunia yang mengedepankan kuasa dan tahta, kerendahhatian menjadi semakin langka. Kalaupun ada, hal itu seringkali dipandang sebelah mata. Beberapa bahkan menyamakan kerendahhatian dengan kebodohan dan kelemahan. Kesombongan lebih dipuja, keangkuhan dijadikan raja.
Yesus Kristus datang ke dalam dunia untuk menyediakan sesuatu yang berbeda. Menjadi manusia adalah perendahan bagi Sang Pencipta. Inkarnasi adalah perendahan diri yang tak tertandingi. Dia datang bukan hanya untuk menjadi manusia, tetapi untuk menjadi hamba. Hamba bagi manusia.
Kerendahhatian bukanlah pertunjukan (ayat 12)
Beberapa orang yang terkesan rendahhati ternyata ingin dipuji. Mereka terlihat melayani sebagai hamba, padahal dalam hatinya ingin dijadikan raja. Ini sama saja dengan merendahkan diri di atas gunung yang tinggi.
Situasi ironis di atas bisa saja terjadi apabila orang lebih mementingkan ekspresi daripada esensi; yang di luar dipentingkan lebih daripada yang di dalam. Kerendahhatian pada akhirnya hanyalah sebuah pertunjukkan.
Bukan kerendahhatian seperti itu yang sedang diajarkan oleh Yesus Kristus. Setelah melakukan pembasuhan kaki, Dia kembali ke tempat duduk-Nya dan menjelaskan makna di balik semua tindakan itu. Pertanyaan “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?” menunjukkan bahwa Dia ingin murid-murid menangkap apa yang tersembunyi. Bukan sekadar melihat sebuah pertunjukan, melainkan menemukan prinsip kehidupan.
Menemukan prinsip membuat kita berfokus pada inti, bukan aksi. Inti yang sama bisa mengambil bentuk aksi yang berbeda-beda. Yang dipentingkan bukanlah apa yang dilakukan, melainkan mengapa hal itu dilakukan.
Nah, prinsip apa yang sedang diajarkan oleh Yesus Kristus melalui pembasuhan kaki ini? Para penafsir Alkitab memiliki kesamaan dan perbedaan dalam menjawab pertanyaan ini. Hampir semua sepakat bahwa tindakan ini berbicara tentang kerendahhatian. Masing-masing menjadi hamba yang melayani sesamanya. Namun, mereka masih berseberangan pandangan tentang makna lain yang menyertai tindakan ini. Ada yang mengusulkan “saling menolong” atau “saling mengampuni”. Penyelidikan konteks secara lebih teliti mengungkapkan bahwa dua opsi tersebut sama-sama masuk akal. Pembasuhan kaki dimulai dengan keterangan bahwa Yesus Kristus telah mengasihi dan akan terus mengasihi murid-murid-Nya (13:1b). Tindakan pembasuhan adalah tindakan kasih. Dia mau melayani murid-murid-Nya. Pada saat yang sama, pembasuhan kaki juga sangat berkaitan dengan Yudas Iskariot (13:2, 11, 18-19). Poin ini diulang berkali-kali sebagai penekanan.
Kita tampaknya tidak perlu memilih mana yang lebih benar. Mungkin pengampunan memang lebih ditonjolkan, tetapi bukan berarti yang lain ditiadakan. Bukankah yang dibasuk kakinya adalah semua murid (bukan hanya Yudas Iskariot)? Jika pembasuhan ini hanya mengajarkan pengampunan, mungkin hanya kaki Yudas Iskariot yang dibasuh. Jadi, pembasuhan kaki mengajarkan sikap rendah hati yang mengambil bentuk pelayanan kasih dan pengampunan kepada sesama.
Di antara dua inti ini, yang terakhir paling sukar untuk dilakukan. Melayani orang lain dengan kasih menempatkan kita sebagai penolong atau pahlawan. Ada benih kebanggaan di sana. Sebaliknya, mengampuni orang lain menempatkan kita sebagai korban. Ada benih kemarahan atau kebencian di sana.
Alasan untuk rendah hati (ayat 13-17)
Kristus tidak hanya memberikan perintah. Dia juga menerangkan alasan-alasan mengapa perintah itu perlu dilakukan.
Pertama, karena kita mengakui Dia sebagai Guru dan Tuhan (ayat 13-15). Sesuai teks Yunani, kata “kalian” di awal ayat 13 mengandung sebuah penekanan. Frasa hymeis phÅneite me seharusnya diterjemahkan: “Kalian (bukan yang lain) memanggil Aku”. Ini menunjukkan sebuah hubungan yang khusus.
Dalam Injil Yohanes, murid-murid memang berkali-kali memanggil Yesus sebagai Guru (1:38, 49; 3:2; 4:31; 6:25; 9:2; 11:8; 20:16) maupun Tuhan (6:68; 9:38; 11:3, 12, 21, 27, 32, 34, 39; 13:6, 9, 25, 36, 37; 14:5, 8, 22; 20:28; 21:15, 16, 17, 20, 21). Pengakuan ini bukan sekadar panggilan atau ucapan. Ada konsekuensi di balik sebuah konfesi.
Hal ini senada dengan bagian-bagian lain dalam Alkitab yang berkali-kali mengajarkan bahwa teologi bukan sekadar teori. Apa yang dipercayai seharusnya juga dihidupi. Ortodoksi (ajaran yang benar) beriringan dengan ortopraksi (tindakan yang benar).
Jikalau kita mengakui Yesus sebagai Guru dan Tuhan, kita sepatutnya mengikuti keteladanan dan perintah-Nya. Ini bukan sebuah pilihan (ayat 14 “kamu wajib”). Pembasuhan kaki yang dilakukan bukanlah sebuah pertunjukan. Itu adalah keteladanan.
Kedua, karena kita tidak mungkin melebihi Yesus (ayat 16). Yesus menandaskan bahwa seorang hamba tidak lebih tinggi daripada tuannya maupun seorang utusan dari orang yang mengutusnya. Ucapan ini tampaknya cukup favorit bagi Yesus (15:20; Mat. 10:24; Luk. 6:40; 22:7). Makna yang diungkapkan adalah kesamaan (nasib) antara tuan dan hamba, guru dan murid, atau pengutus dan utusannya (bdk. 13:20 “Sesungguhnya barangsiapa menerima orang yang Kuutus, ia menerima Aku, dan barangsiapa menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku”). Apa yang terjadi pada pihak A akan menimpa pihak B. Begitu pula apa yang dilakukan oleh pihak A seharusnya dilakukan oleh pihak B. Ada kesamaan. Ada solidaritas.
Ungkapan di atas merupakan sebuah penghiburan bagi kita. Dalam perendahan diri kita sedang meneladani Kristus. Kita bukan inisiator maupun pejuang yang sendirian.
Bukan hanya itu, perendahan diri yang kita lakukan juga tidak mungkin melebihi Kristus. Ketika Dia membasuh kaki murid-murid-Nya, Dia melakukannya dengan kesadaran bahwa Dia adalah Anak Allah (13:1). Dia juga sadar bahwa segala sesuatu telah diserahkan Bapa ke dalam tangan-Nya (13:3). Dia juga sudah tahu bahwa salah satu murid yang akan Dia basuk kakinya adalah seorang pengkhianat (13:2, 11). Jika diibaratkan sebuah anak tangga, entah berapa juta anak tangga yang Dia telah turuni untuk membasuh kaki murid-murid-Nya.
Selain itu, apa yang dilakukan oleh Kristus adalah dari Guru kepada murid atau Tuhan kepada hamba-Nya/umat-Nya. Gerakannya mengarah ke bawah. Perintah untuk kita lebih mengarah ke samping (13:14 “kamupun wajib saling membasuh kakimu”). Apapun bentuk kerendahhatian yang kita lakukan, hal itu ditujukan pada sesama manusia, sesama orang berdosa, sesama hamba, sesama murid. Kita tidak mungkin turun lebih rendah daripada yang telah dilakukan oleh Kristus.
Ketiga, karena kita akan menerima berkat (ayat 17). Kata “berbahagialah” (makarioi, LAI:TB) sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “diberkatilah” (NASB/NIV/ESV). Ini bukan hanya masalah perasaan (bahagia), tetapi kenyataan (diberkati).
Menariknya, berkat ini dikaitkan dengan “mengetahui” dan “melakukan” (ayat 17 “Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya”). Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Alkitab tidak menentang pengetahuan. Yang ditentang adalah pengetahuan saja. Pengetahuan tanpa ketaatan. Dengan cara yang sama, Alkitab tidak menentang ketaatan. Yang ditentang adalah ketaatan yang buta. Ketaatan tanpa tahu apa-apa.
Entah berapa banyak institusi Kristen yang mempraktekkan pembasuhan kaki secara hurufiah. Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar mengetahui makna di balik praktek tersebut? Jangan sampai tindakan yang menyimbolkan kerendahhatian ini justru dijadikan ajang pertunjukan untuk mendapatkan pujian. Sebaliknya, bagi institusi Kristen yang sudah memahami maknanya, tindakan apa yang sudah dilakukan sebagai perwujudannya? Jangan sampai rendah hati hanya sebatas teori. Tidak peduli seberapa tinggi kita menghargainya, tanpa tindakan nyata hal itu bukanlah apa-apa. Kerendahhatian yang benar didorong oleh makna dan diwujudkan dalam fakta.
Allah tidak harus membalas ketaatan kita dengan berkat. Kitapun tidak boleh menaati Dia hanya gara-gara berkat-Nya. Dorongan terbesar kita adalah Yesus Kristus sebagai Guru dan Tuhan, bukan hanya sebagai Pemberi Berkat. Namun, dalam kebaikan dan anugerah yang besar, Dia mau menjanjikan berkat untuk kita.
Berkat seperti apa yang dijanjikan bagi kita? Kristus tidak mengungkapkannya. Hal itu sepenuhnya hak prerogatif Allah. Kita tidak usah terpaku pada jenis berkat. Yang perlu disyukuri adalah keadaan kita yang terberkati. Soli Deo Gloria.