Penerima surat ini merupakan kelompok minoritas yang tinggal di perantauan (1:1). Keadaan mereka tampaknya tidak terlalu baik. Mereka menghadapi fitnahan (2:12; 3:16). Sebagai orang benar, mereka kerap diperlakukan tidak adil (2:19-25).
Situasi yang tidak menguntungkan seperti ini, bukanlah halangan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Melalui kesalehan hidup (2:12; 3:1-2) maupun kesiapan dalam memberikan penjelasan tentang Injil kepada orang lain (3:15-16), mereka bisa menjadi jembatan untuk menghantar orang kepada Allah. Jika ini yang terjadi, mereka benar-benar menjadi pengikut Yesus Kristus yang sejati. Kristus sudah menjadi mediator satu-satunya antara Allah dan manusia serta yang memungkinkan terjadinya rekonsiliasi antara Bapa dan orang-orang berdosa. Walaupun kita tidak mungkin memiliki peranan yang sama persis dengan Kristus, tetapi kita tetap bisa memainkan peranan kecil yang mencerminkan karya penebusan Kristus, yaitu tatkala kita menyikapi penderitaan dengan cara yang tepat.
Bagaimana respons yang tepat terhadap penderitaan? Bagaimana hal itu berkaitan dengan karya penebusan Kristus?
Kata sambung “sebab” di awal ayat ini menyiratkan sebuah alasan bagi ayat di atasnya. Orang-orang Kristen di perantauan menderita karena berbuat baik (3:17). Situasi seperti ini memang kadangkala tidak terelakkan. Kita sudah berbuat baik dan mengupayakan perdamaian (3:11, 13), tetapi tetap saja ada sebagian orang yang bertindak jahat kepada kita (3:14, 17). Jika ini yang sedang terjadi pada kita, jangan mengeluh maupun berputus asa. Ada penghiburan ilahi yang luar biasa dari firman Tuhan.
Kita perlu melihat penderitaan kita dari perspektif penderitaan Kristus. Itulah yang sedang diajarkan oleh Petrus di 3:18. Ada keterkaitan antara penderitaan dan penderitaan Dia. Keterkaitan ini disiratkan melalui kata “juga” (LAI:TB dan mayoritas versi; kontra NIV).
Sebagai tambahan, terjemahan “mati” (LAI:TB/NIV) di sini sebenarnya tidak terlalu akurat. Salinan yang lebih bisa dipercaya menggunakan kata “menderita” (epathen, dari paschō; lihat mayoritas versi Inggris). Kata ini memang salah satu kosa kata favorit di surat ini (2:19, 20, 21, 23; 3:14, 17, 18; 4:1, 15, 19). Beberapa penyalin mungkin tergoda untuk mengubahnya menjadi “mati” (apethanen; dari apothnēskō), karena lebih populer. Selain itu, penderitaan yang dimaksud di 3:18 memang mencakup kematian Kristus. Jadi, terjemahan “menderita” sebaiknya dipertahankan. Petrus memang lebih menyoroti aspek itu (mungkin karena para penerima surat baru dalam tahap menderita, belum samppai dibunuh karena iman mereka).
Mengapa Petrus mengairkan penderitaan kita dengan Kristus? Poin apa yang ingin ditekankan? Kali ini fokus pembahasan tampaknya bukan terletak pada keteladanan (kita mengikuti jejak Kristus). Poin itu sudah dikupas di 2:21. Poin yang ingin disorot sekarang ada dua: jaminan dan keunikan.
Jaminan penderitaan Kristus
Tidak seperti nasihat sebelumnya (2:19-25) maupun sesudahnya (4:12-19), penderitaan Kristus di 3:18 secara eksplisit dikaitkan dengan kebangkitan Kristus (ayat 18b “Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh”). Terlepas dari bagaimana frasa ini dipahami – entah “yang dibunuh secara jasmani, tetapi dibangkitkan secara rohani” atau “yang dibunuh oleh manusia, tetapi dibangkitkan oleh Roh” atau opsi terjemahan lain – poin yang ingin ditekankan tetap sama: penderitaan (atau kematian) Kristus bukanlah titik akhir. Masih ada kebangkitan.
Kebangkitan berbicara tentang kemenangan. Dalam kebangkitan-Nya Kristus memberitakan hukuman (3:19; kontra LAI:TB “memberitakan injil”). Kebangkitan-Nya memastikan bahwa permohonan Kristus kepada Allah bagi kita pasti akan didengarkan (3:21). Kenaikan-Nya ke surga memastikan bahwa tidak ada satu kuasa atau makhluk pun yang belum ditaklukkan (3:22).
Para penerima surat tidak perlu berkecil hati pada saat menghadapi penderitaan. Ada jaminan yang bersumber dari karya penebusan Kristus yang sempurna. Penebusan-Nya tidak hanya menyediakan sebuah teladan. Untuk apa mengikuti jejak seorang yang hanya mengalami kematian, tetapi tidak sanggup mengalahkan kematian itu? Tidak peduli seberapa mulia alasan di balik kematian seperti itu atau seberapa hebat siksaan yang ditanggung, kematian seperti itu hanya mampu memberikan sebuah teladan, tetapi bukan jaminan. Kristus mengalami sekaligus mengalahkan kematian. Dia sudah menang atas kejahatan dan ketidakadilan.
Bentuk pasif pada kata kerja “dibangkitkan” mengasumsikan bahwa Allah adalah subjek di balik tindakan itu. Poin ini akan menjadi lebih kuat apabila kata pneumati (“roh/Roh”) di akhir ayat ini memang menyiratkan agensi: “oleh Roh” (KJV/NIV “by the Spirit”). Allah membangkitkan Yesus! Kebenaran ini tentu saja bukan berarti bahwa Kristus tidak bisa membangkitkan diri-Nya sendiri (bdk. Yoh. 10:18; 11:25). Intervensi Allah (atau Roh) dalam kebangkitan Yesus menunjukkan bahwa Allah meninggikan (baca: membela) Yesus. Perlakuan tidak adil dari para pemimpin Yahudi dan penguasa Romawi tidak dibiarkan oleh Allah. Yesus bukanlah manusia yang dikutuk oleh Allah seperti yang dipikirkan oleh bangsa Yahudi. Allah meninggikan Dia.
Hal yang sama akan dilakukan oleh Allah bagi kita. Jika kita menderita karena kebenaran, dan kita bertahan di dalamnya, Allah menyediakan jaminan kemenangan. Manusia sekarang mungkin berpikir negatif tentang kita, tetapi kelak Allah pasti akan meninggikan kita.
Keunikan penderitaan Kristus
Rasa sakit akibat penderitaan akan lebih terasa apabila kita menganggap diri sebagai orang yang paling menderita di dunia ini. Kita merasa paling malang dan kurang beruntung. Tidak ada orang lain yang bisa memahami perasaan kita karena mereka tidak pernah mengalami penderitaan seperti kita.
Semua pikiran di atas menipu dan merusak. Kita bukan orang yang paling menderita. Kita tidak akan pernah menjadi orang yang paling menderita. Penderitaan Kristus jauh melebihi penderitaan siapapun di dunia ini. Penderitaan-Nya begitu unik. Tidak ada duanya.
Penderitaan Kristus bukan karena dosa-dosa, melainkan untuk dosa-dosa (peri hamartiōn, LAI:TB “untuk segala dosa kita”). Konstruksi kalimat “peri + dosa” seringkali muncul di Septuaginta maupun Perjanjian Baru sebagai rujukan bagi korban penghapusan dosa. Sama seperti binatang korban dahulu menghapuskan dosa orang yang mempersembahkannya, demikian pula kematian Kristus menghapuskan dosa-dosa kita.
Penderitaan seperti ini tidak bisa ditiru. Kita biasanya menderita karena dosa (kesalahan) yang kita lakukan. Paling jauh, kita hanya bisa mencapai “menderita bukan karena dosa” (3:17). Namun, tidak ada seorangpun yang menderita untuk dosa-dosa orang lain, kecuali Kristus (3:18b).
Keunikan lain dari penderitaan Kristus terletak pada kesucian-Nya (ayat 18 “Ia yang benar”). Dia tidak bersalah dalam semua hukuman yang Dia tanggung (2:22). Dia pun tidak bersalah pada waktu menyikapi hukuman yang tidak adil itu (2:23).
Walaupun sebagian penerima surat mungkin juga menderita bukan karena berbuat dosa, tetapi “kebenaran” tersebut pasti tidak sempurna. Bisa saja mereka melakukan sebuah kesalahan kecil atau kurang mengasihi orang lain secara sempurna sehingga orang lain masih tega melakukan yang jahat kepada mereka (3:13 “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?”). Tidak demikian dengan Kristus. Kesucian-Nya begitu sempurna, sehingga Dia hanya perlu memberikan korban sekali saja (hapax, 3:18a). Sekali, untuk semua dosa kita.
Yang terakhir, keunikan penderitaan Kristus juga terlihat dari tujuannya. Aspek tujuan ini ditunjukkan melalui kata sambung “supaya” (hina): “supaya Ia membawa kita kepada Allah” (3:18). Kata kerja prosagō (LAI:TB “membawa”) merujuk pada pembukaan sebuah jalan menuju ke seseorang atau suatu tempat (Luk. 9:41; 16:20; Kis. 27:27). Dalam konteks kerohanian, kata ini berhubungan dengan akses menuju kasih karunia Allah (Rm. 5:2 “Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk [tēn prosagōgēn] oleh iman kepada kasih karunia ini”).
Dalam taraf tertentu, penerima surat bisa memainkan peranan dalam rekonsiliasi orang-orang berdosa dengan Allah. Melalui kesalehan mereka, orang lain mungkin bisa ditarik kepada Allah (2:12; 3:1-2). Namun, semua ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kristus. Dia bukan hanya menunjukkan jalan. Bukan pula sekadar mendorong orang untuk menuju ke suatu arah tertentu. Dia memungkinkan jalan itu dibuka sehingga orang-orang berdosa bisa berjumpa dengan Allah yang sempurna. Dialah satu-satunya perantara antara Allah dan manusia (1Tim. 2:5).
Semua keunikan penderitaan Kristus di atas dimaksudkan sebagai dorongan dan penghiburan bagi penerima surat. Mereka tidak sendirian dalam menghadapi penderitaan. Penderitaan yang mereka alami bahkan tidak seberat yang dihadapi oleh Kristus. Walaupun kualitas penderitaan tidak sama, mereka patut bersyukur karena sudah diberi kesempatan untuk merasakan penderitaan Kristus. Melalui semua kesakitan yang mereka alami, mereka semakin disadarkan tentang kedalaman kasih Kristus kepada mereka. Semakin besar penderitaan mereka, semakin besar pemahaman mereka terhadap penderitaan Kristus.
Bagaimana dengan Saudara? Apakah Saudara menderita karena berbuat baik? Sudahkah Saudara menyikapi hal itu dengan baik? Yakinkah Saudara bahwa kejahatan pasti dikalahkan? Maukah Saudara mensyukuri persekutuanmu di dalam penderitaan dan kematian Kristus? Soli Deo Gloria.