Prosedur Disiplin Gereja (Mat. 18:15-17)

Posted on 12/04/2015 | In Teaching | Leave a comment

Dalam tradisi Reformed, disiplin gereja merupakan salah satu tanda sejati dari gereja yang benar. Sayangnya, praktek yang baik ini semakin sulit untuk diterapkan. Tuntutan gereja terhadap integritas hidup anggotanya semakin merosot. Sebagian gereja mungkin kuatir kehilangan jemaat. Lagipula, sekarang ini perpindahan gereja bisa dilakukan kapan saja, sehingga kekuatan sebuah disiplin gereja tidak sebesar pada zaman dahulu. Beberapa orang yang sedang dikenai disiplin oleh gereja asal bahkan langsung direkrut dalam pelayanan oleh gereja lain. Di tengah semua kesulitan ini, apakah kita hanya mengikuti arus ataukah tetap berdiri di atas kebenaran firman Tuhan?

Matius 18:15-17 sebenarnya tidak membicarakan tentang disiplin gereja secara formal. Kata “kamu” yang muncul di ayat ini berbentuk tunggal, yang menunjukkan bahwa ayat 15-17 lebih membicarakan tentang tanggung-jawab pribadi seorang anak Tuhan terhadap saudara seimannya. Ini bukan tentang tindakan pemimpin gereja kepada anggotanya.

Walaupun demikian, bentuk jamak “kalian” di ayat 18-20 dan rujukan eksplisit tentang otoritas gereja di sana mengarahkan kita untuk melihat unsur disiplin gereja di ayat 15-17. Apa yang dimulai pada tingkat personal (pribadi) bisa menjadi persoalan komunal (bersama) apabila langkah-langkah pelayanan yang personal tidak dihiraukan. Berdasarkan pertimbangan inilah kita akan mencoba menarik beberapa prinsip penting tentang disiplin gereja dari Matius 18:15-17.

Sebelum prosedur: KASIH

Tatkala kita mendengar istilah “disiplin gereja”, kata apa yang pertama kali terbersit di pikiran kita? Bagi banyak orang, disiplin gereja diidentikkan dengan hukuman dan ketegasan. Hal ini tentu saja tidak salah. Ada aspek hukuman dan ketegasan dalam disiplin gereja.

Walaupun demikian, disiplin gereja sebenarnya lebih berhubungan dengan kasih daripada dengan hukuman atau ketegasan. Hukuman dan ketegasan hanyalah wujud dari sebuah kasih yang besar. Poin inilah yang hendak disampaikan dalam Matius 18:15-20.

Orang yang berbuat dosa di sini tetap disebut sebagai “saudara” (18:15). Sebagaimana saya sudah beberapa kali jelaskan dalam khotbah-khotbah saya, panggilan “saudara” ini bukan sapaan biasa. Ini adalah sapaan rohani antar orang percaya. Tidak peduli berapa usia kita atau apa etnis kita, semua orang percaya adalah saudara di dalam Kristus.

Analisa konteks juga mengarahkan kita untuk melihat disiplin gereja dalam kaitan dengan kasih, yaitu kerinduan kita untuk melihat orang lain memperoleh keselamatan rohani. Dalam perikop sebelumnya, Tuhan Yesus membicarakan tentang domba yang terhilang (18:12-14). Tidak peduli apakah domba itu hanyalah domba-domba kecil yang seringkali diabaikan oleh banyak orang, Tuhan tetap mengasihi domba-domba kecil itu (18:10, 14). Sama seperti domba yang tersesat, demikianlah orang yang sedang melakukan sebuah dosa yang serius. Ia perlu dicari dan diselamatkan. Salah satu caranya adalah melalui disiplin gereja.

Perikop selanjutnya juga membicarakan tentang kasih, yaitu pengampunan kepada mereka yang bersalah. Hukuman tidak bisa dipisahkan dari pengampunan. Walaupun sebuah hukuman tetap perlu dilakukan, tetapi pada saat yang sama pengampunan juga harus dilepaskan untuk orang tersebut. Hal ini meneladani Allah sendiri. Dia adalah adil dan setia. Keadilan-Nya mendorong Dia untuk menghukum setiap dosa. Kesetiaan-Nya membuat Dia selalu mengampuni dan menerima kita kembali.

Jadi, berbeda dengan gambaran umum tentang disiplin gereja yang terkesan kejam, disiplin Alkitabiah dibalut oleh kasih. Disiplin gereja tidak dimaksudkan untuk mengenyahkan seorang pembuat masalah (troublemaker), melainkan untuk membebaskan dia dari masalah (trouble-free action). Kasih, bukan kebencian. Keselamatan, bukan pelampiasan amarah.

Prosedur (ayat 15-17)

Bagaimana sebuah disiplin gereja seharusnya diterapkan? Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah penentuan jenis dosa yang layak untuk didisiplin. Dalam Matius 18:15 tidak ada keterangan eksplisit tentang jenis dosa yang dilakukan. Sebagian versi Inggris menambahkan “terhadap/melawan engkau”, karena mereka mengikuti beberapa salinan Alkitab yang memang memiliki bacaan tersebut. Dalam salinan-salinan yang lebih tua dan lebih bisa dipercayai, tambahan itu tidak ada (LAI:TB “saudaramu berbuat dosa”; NASB “if your brother sins”; bdk. RSV/NIS/ESV “if your brother sins against you”). Penambahan “terhadap/melawan engkau” mungkin didorong oleh pertanyaan Petrus di ayat 21. Jadi, bacaan yang lebih sesuai dengan teks asli adalah yang tanpa tambahan.

Jika demikian, dosa yang sedang dibahas di 18:15-20 tidak boleh dibatasi pada masalah perselisihan pribadi. Lalu dosa seperti apa yang sedang dibicarakan di sini? Teks memberikan secuil petunjuk yang bermanfaat. Dosa yang perlu dikenai disiplin adalah yang berpotensi merusak keselamatan seseorang. Ungkapan “engkau telah mendapatkannya kembali” (lit. “engkau telah memenangkannya kembali”) menyiratkan bahwa orang yang ditegur melakukan sebuah dosa yang serius dan membuat dia “terhilang”. Keseriusan ini lebih terlihat jelas apabila kita kaitkan dengan perumpamaan tentang domba yang tersesat di 18:12.

Dosa di atas bukan hanya serius, namun juga dipegang terus-menerus. Disiplin gereja hanya diberlakukan jika semua cara penggembalaan yang lain sudah tidak berhasil. Begitu pula dengan Matius 18:15-20. Orang tersebut tidak hanya melakukan suatu dosa yang serius, tetapi ia terus-menerus melakukan dan tidak menghiraukan nasihat dari banyak orang.

Prosedur kedua adalah pemberian nasihat secara pribadi (ayat 15). Perintah ini terlihat aneh di zaman postmodern. Sikap individualistik dipupuk. Kecuekan dianggap bukti kedewasaan. Dalam konteks persekutuan sesama anak-anak Allah (12:49-50; 25:40; 28:10), Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk memberikan teguran kepada saudara seiman yang melakukan dosa (18:15).

Dalam teks Yunani, sebelum perintah “tegurlah” ada kata “pergilah” (hypage, semua versi Inggris). Kata ini menyiratkan sebuah inisiatif. Kita tidak boleh hanya menunggu dan berpangku tangan tatkala kita melihat saudara seiman kita melakukan dosa. Sesuatu harus dilakukan. Kita tidak boleh seperti Kain yang berkata: “Apakah aku penjaga adikku?” (Kej 4:9b). 

Kata elenchō yang digunakan di sini cukup kuat. Kata ini dipakai untuk teguran Yohanes Pembaptis kepada Herodes (Luk 3:19). Karya Roh Kudus yang menuduh orang berdosa juga menggunakan kata elenchō (Yoh 16:8). Paulus menasihati jemaat Efesus untuk menelanjangi (elenchō) perbuatan-perbuatan kegelapan (Ef 5:11, 13). Untuk beberapa kesalahan, nasihat saja sudah cukup. Untuk kesalahan-kesalahan lain yang serius, teguran perlu diberikan (Tit 1:13-14) dengan segala kewibawaan (Tit 2:15).

Walaupun ada ketegasan dalam sebuah teguran, hal itu tidak berarti bahwa teguran bisa dilakukan secara sembarangan. Tuhan Yesus melarang sikap menghakimi orang lain tanpa melihat diri kita sendiri yang juga berdosa (Mat 7:1-5). Teguran harus dibarengi dengan segala hikmat, pengajaran, dan kesabaran (Kol 3:16; 2 Tim 4:2). Teguran bukan pelampiasan kemarahan, melainkan wujud kasih yang besar demi kebaikan orang yang kita tegur (Tit 1:13; Why 3:19).

Pembiaran dosa bukan hanya sebuah dosa. Sikap ini bisa menyebabkan dosa yang lain. Imamat 19:16-18 mengaitkan teguran kepada orang lain dengan fitnah, kepahitan hati, dan pembalasan dendam. Orang yang tidak berani menegur sesamamnya biasanya terjebak pada salah satu dosa tersebut. Jadi, teguran bukan hanya menyelamatkan orang lain dari dosa, tetapi juga menyelamatkan diri kita dari dosa.

Prosedur ketiga adalah pelibatan saksi-saksi (ayat 16). Keterlibatan dua atau tiga saksi dalam sebuah perkara bersumber dari ajaran Perjanjian Lama (Im 19:15). Selanjutnya orang-orang Yahudi dan gereja mula-mula tetap mengadopsi prinsip ini (Yoh 8:17; 2 Kor 13:1; 1 Tim 5:19; Ibr 10:28). Inti dari pemanggilan saksi-saksi adalah konfirmasi (peneguhan).

Tentu saja saksi di sini bukan sembarang saksi. TUHAN melarang orang mengucapkan saksi dusta (Kel 20:16; Ul 5:20). Saksi dusta akan dikenai hukuman yang sama yang ia rencanakan pada orang lain (Ul 19:18-19). Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman (Ams 19:5, 9). Pada waktu menjelaskan tentang prosedur pengusutan tuduhan terhadap seorang penatua, Paulus mengajarkan pemanggilan saksi dan memberi peringatan agar orang-orang yang terlibat tidak berprasangka dan tidak memihak (1 Tim 5:19-21).

Prosedur keempat adalah pemberitahuan kepada seluruh jemaat (ayat 17a). Pemberitahuan ini dilakukan dalam perkumpulan bersama dalam konteks ibadah (bdk. ayat 18-20; 1 Kor 5:3-5). Tidak ada gosip sebagai media penyebaran informasi. Semua dilakukan secara terbuka dan bersama-sama. Apa yang mulanya harus dilakukan secara pribadi (ayat 15), sekarang harus diungkap secara publik karena kekerasan hati orang yang melakukan dosa tersebut (ayat 17).

Maksud dari langkah publik ini adalah penguatan persuasi pastoral, bukan mempermalukan seseorang di depan publik atau pembunuhan karakter. Efek yang diharapkan adalah jera, bukan malu. Langkah ini sekaligus sebagai sarana edukasi bagi jemaat-jemaat yang lain. Mereka belajar bahwa walaupun gereja tidak pernah bisa sempurna, tetapi gereja juga tidak pernah berkompromi dengan dosa, terutama yang membahayakan keselamatan seseorang.

Prosedur terakhir adalah pemberian disiplin (ayat 17b). Jika semua langkah pastoral sudah dilakukan dan tidak berhasil, maka langkah terakhir yang harus diambil adalah pendisiplinan. Maksudnya, gereja perlu membuat batasan pergaulan dan persekutuan yang jelas dengan orang yang dikenai disiplin. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah ungkapan “biarlah dia menjadi bagimu seperti seorang kafir atau pemungut cukai” (kontra LAI:TB “pandanglah dia”). Pembatasan pergaulan terjadi karena ulah orang yang berbuat dosa. Penolakannya terhadap pandangan seluruh jemaat menunjukkan bahwa ia menganggap dirinya berbeda dengan jemaat lain. Jadi, gereja hanya meneguhkan apa yang orang itu ingin dan layak dapatkan: pembedaan dari yang lain!

Bahasa yang digunakan dalam teks ini bersifat sangat Yahudi. Bukan berarti Tuhan menyetujui pandangan umum tersebut. Ia hanya menggunakannya sebagai sarana komunikasi yang relevan.

Di mata orang-orang Yahudi pada waktu itu, kelompok masyarakat yang paling rendah secara spiritual dan moral adalah orang-orang non-Yahudi. Kelompok berikutnya adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (pelacur, dsb.). Kita tidak bisa mengharapkan sesuatu yang baik dari mereka (Mat 5:46-47; 6:7).

Penggunaan ungkapan kultural semacam ini dalam konteks disiplin gereja berarti pembatasan pergaulan. Bentuk konkrit dari pembatasan ini tidak dijelaskan dalam Alkitab. Dalam hal ini gereja perlu menggunakan akal budi Kristiani untuk menentukan bentuk disiplin yang konkrit. Yang penting adalah sikap gereja yang tegas terhadap dosa tetapi penuh kasih terhadap orang berdosa. Disiplin bisa diterapkan secara progresif sambil melihat perubahan hidup, dari penonaktifan pelayanan, pelarangan mengikuti perjamuan kudus, sampai pelarangan untuk mengikuti ibadah bersama-sama (dilayani secara pribadi di rumah).

Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko