Dalam khotbah Minggu yang lalu kita sudah melihat bagaimana Yunus melarikan diri dari panggilan dan hadapan TUHAN (1:3). Dia tidak menginginkan pertobatan penduduk Niniweh yang terkenal dengan kekejaman mereka (4:2). Di dalam kedaulatan-Nya TUHAN mengejar Yunus dengan maksud untuk mengungkapkan kebebalannya (1:6), menunjukkan ketidakkonsistenan hidupnya (1:9-10), mengajarkan kemurahan melalui orang-orang asing (1:11-13), dan memberikan cicipan kekuasaan TUHAN dalam menyelamatkan orang-orang asing (1:14, 16).
Para pembaca yang jeli pasti bertanya-tanya tentang nasib Yunus. Di pasal 1 Yunus tidak terlihat takut. Dia tidak berdoa. Nada penyesalan pun tidak terlihat dari ucapannya. Dia tampaknya sudah siap untuk mati. Dia lebih memilih mati daripada penduduk Niniweh yang jahat diselamatkan oleh TUHAN.
Bagaimana nasib Yunus? Bagaimana pula dengan rencana TUHAN bagi penduduk Niniweh? Yunus 1:17-2:10 menunjukkan anugerah dan kedaulatan TUHAN dalam segala rencana-Nya.
Anugerah-Nya terlihat jelas pada saat Dia mengirim seekor ikan besar untuk menyelamatkan Yunus (1:17). Penyelamatan ini terbilang cukup menarik. Sebelumnya awak kapal sudah berusaha menyelamatkan Yunus dengan cara melabuhkan kapal ke daratan, tetapi mereka tidak sanggup melakukannya karena badai yang besar (1:13). TUHAN ingin mengajarkan kepada Yunus bahwa keselamatan datang dari Dia, bukan dari manusia. TUHAN ingin menampilkan anugerah-Nya!
Kedaulatan-Nya terpampang jelas melalui sarana keselamatan yang tidak terduga. Sebagai Allah yang menjadikan lautan (1:9), TUHAN juga berkuasa atas segala makhluk yang ada di dalamnya. Dia berkuasa mengirim seekor ikan besar untuk menyelamatkan Yunus. Berdasarkan pemetaan spesies di lautan Mediteranian, ikan besar ini kemungkinan besar adalah paus sperma (chacalot) atau hiu putih. Tidak ada cara untuk memastikan yang mana. Pandangan tradisional tampaknya lebih berpihak pada alternatif pertama.
Sebelum menyelidiki secara detil perjumpaan Yunus dengan TUHAN di dalam perut ikan, ada baiknya kita menyinggung isu historis terlebih dahulu. Banyak skeptis dan theolog liberal yang meragukan historisitas peristiwa ini. Benarkah cerita ini tidak masuk akal?
Historisitas Yunus 2
Tidak mudah untuk memastikan apakah kisah ini merupakan sebuah fakta atau dongeng. Tidak ada bukti yang pasti untuk meneguhkan maupun menyangkali historisitasnya. Walaupun demikian, argumentasi secara umum lebih mendukung historisitas kisah ini.
Pertama, kitab Yunus secara umum tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai sebuah dongeng atau mitos. Banyak detil cerita yang terlihat historis, misalnya ayah Yunus adalah Amitai (1:1), rute perjalanan Yunus dari Israel – Yopa – Tarsis memang jalur yang lazim pada waktu itu (1:3), luas kota Niniweh adalah tiga hari perjalanan jauhnya (3:3). Mereka yang sungguh-sungguh mengenal mitologi kuno pasti dengan cepat merasakan perbedaan antara kisah ini dengan berbagai mitologi kuno.
Kedua, pertobatan penduduk Niniweh (pasal 3) pasti melibatkan peristiwa yang luar biasa. Mereka terkenal sangat jahat dan kejam. Negara mereka jauh lebih besar daripada bangsa Israel. Dalam opini orang-orang kuno, ini berarti bahwa dewa yang mereka sembah lebih hebat daripada TUHAN yang disembah oleh bangsa Israel. Menurut pertimbangan manusiawi, penduduk Niniweh tidak mungkin bisa menerima teguran dan peringatan dari TUHAN melalui Yunus. Hanya sesuatu yang ajaib yang membuat pertobatan itu menjadi sebuah kenyataan.
Kita memang tidak dapat mengetahui secara pasti bagaimana keajaiban itu dilakukan oleh TUHAN. Dia mungkin langsung melembutkan hati mereka. Dia mungkin melakukannya melalui pengalaman Yunus yang menakjubkan di pasal 2. Adakah yang lebih indah daripada pertobatan penduduk Niniweh yang menyembah Dagon (dewa-ikan) melalui pemberitaan seorang nabi yang berhasil selamat dari dalam perut ikan? Tidakkah mereka akan berpikir bahwa Yunus (atau Allah yang dia sembah) lebih hebat daripada dewa yang mereka sembah? Jika Yunus dimuntahkan di pesisir pantai dekat Niniweh (2:10) pada saat ada para saksi mata, hal itu akan semakin menambah elemen dramatis dari kisah historis ini.
Ketiga, beberapa laporan modern menunjukkan ada orang yang berhasil selamat sesudah berada di perut ikan paus selama beberapa hari. Misalnya, seorang pelaut yang bernama James Bartley di kepulauan Falkland (Samudera Atlantik Selatan). Walaupun berita ini masih mengundang benyak perdebatan, banyak orang setuju bahwa paus sperma dewasa yang panjang tubuhnya mencapai 18 meter pasti tidak akan mengalami kesulitan untuk menelan sebuah objek yang sangat besar (National Geographic 29 Oktober 2009).
Keempat, peneguhan dari tulisan-tulisan lain. Nabi Yunus juga disebutkan di salah satu kitab historis Alkitab, yaitu 2 Raja-raja 14:25. Tuhan Yesus bahkan secara khusus menyamakan kematian-Nya selama 3 hari 3 malam dengan peristiwa Yunus di perut ikan (Mat 12:40). Di luar Alkitab, kita memiliki catatan Flavius Yosefus, seorang ahli dan penulis sejarah Yahudi di abad ke-1 Masehi. Dalam bukunya (Antiquities 10.2) Yosefus menjelaskan bahwa ayah Yunus berasal dari Gathefer di Galilea bawah. Terlihat dengan jelas bahwa Yosefus memperlakukan Yunus sebagai seorang tokoh historis.
Kelima, jika atheisme adalah benar, kisah Yunus terlihat sangat masuk akal. Terlepas dari beragam argumen maupun bukti yang dipaparkan seseorang, yang lebih banyak berperan adalah asumsi dasarnya. Masing-masing orang, baik orang Kristen maupun atheis sama-sama mempunyai asumsi ini. Jika ia menganut naturalisme atau atheisme, ia pasti akan langsung menolak historisitas kisah ini, karena dianggap tidak masuk akal. Sebaliknya, seorang yang meyakini keberadaan TUHAN pasti tidak akan mengalami kesulitan untuk mempercayai mujizat.
Perjumpaan di tempat yang tak terduga
Mayoritas penafsir Alkitab setuju bahwa apa yang diucapkan oleh Yunus di 2:1-9 merupakan refleksi balik atas peristiwa yang terjadi. Maksudnya, doa ini merupakan rangkuman pergulatan rohani Yunus dengan TUHAN selama tiga hari di perut ikan. Bentuk lampau di ayat 2 mengarah pada kesimpulan ini. Selain itu, keteraturan struktur dan keindahan kata-kata dalam doa ini rasanya sulit dihasilkan pada situasi yang sangat mencekam di perut ikan. Misalnya, bait 1 (ayat 2-4) dan bait 2 (ayat 5-7) sama-sama ditutup dengan “bait-Mu yang kudus”. Awal bait 1 sama dengan akhir bait 2, yaitu doa yang dijawab (ayat 2, 7). Kata “merangkum” (yesōbenî) muncul di ayat 3 dan 5.
Pengalaman pahit yang dialami oleh Yunus mengajarkan beberapa poin theologis penting bagi kita. Kita belajar bahwa siapa saja yang melarikan diri dari Allah pasti akan semakin terpuruk. Keterpurukan hidup Yunus terlihat begitu progresif. Dari Israel ia turun ke Yopa (1:3 ESV “he went down to Joppa”). Dari Joppa ia turun lagi ke bagian bawah kapal (1:5). Lalu ia turun ke dalam perut ikan (1:17) dan dasar bumi (2:6 ESV “I went down to the land whose bars closed upon me forever”). Kini dia berada di perut dunia orang mati (2:3 ESV “out of the belly of Sheoul”; LAI:TB “dari tengah-tengah dunia orang mati”).
Kita juga belajar bahwa keterpurukan seringkali menjadi sarana pengenalan diri sendiri. Tatkala Yunus ingin melarikan diri sejauh mungkin dari hadapan TUHAN (1:3, 10), ia tampaknya tidak benar-benar memahami konsekuensinya. Jauh dari TUHAN berarti jauh dari kebaikan-Nya. Di dalam perut ikan dia baru mengecap bagaimana rasanya jika seseorang benar-benar diusir dari hadapan Allah (ayat 2a “telah terusir aku dari hadapan mata-Mu”).
Pada waktu masih di atas kapal Yunus terlihat tetap tegar. Tidak ada ketakutan. Tidak ada doa yang dipanjatkan. Situasi ini berubah total ketika ia begitu dekat dengan kematian. Kematian terasa begitu nyata, misterius, dan menakutkan bagi dia. Kematian membuat siapa saja terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Doa kini menjadi satu-satunya andalan yang tersisa (2:1-2, 7).
Pelajaran terakhir yang penting adalah ini: anugerah Allah adalah kehidupan yang ditujukan untuk rencana-Nya. Para penafsir setuju bahwa Yunus tidak langsung mati pada saat ditelan oleh ikan besar. Dia masih sempat berdoa (2:1). Walaupun demikian, para penafsir memperdebatkan apakah sesudah itu Yunus mati atau tetap hidup selama tiga hari. Sulit menentukan secara pasti opsi mana yang tepat. Jika harus memilih, opsi pertama tampaknya lebih masuk akal. Istilah “dunia orang mati” (sheol) di 2:2, “pintunya terpalang di belakangku untuk selama-lamanya” (2:6), dan “Engkau naikkan nyawaku dari dalam liang kubur” (2:6) secara konsisten mengarah pada pengalaman kematian (kecuali jika semua ungkapan ini hanya bersifat puitis tanpa elemen historis). Analogi antara pengalaman Yunus dan kematian Tuhan Yesus (Mat 12:40) memberi dukungan ke arah yang sama (kecuali analogi yang diberikan oleh Tuhan Yesus hanya dari sisi waktu, bukan dari sisi pengalaman).
Yunus tidak hanya diselamatkan dari kematian. Dia diselamatkan untuk menggenapi rencana Allah bagi penduduk Niniweh. Tidak cukup bagi Yunus untuk mengakui bahwa keselamatan berasal dari TUHAN (2:9). Keselamatan adalah alat, bukan tujuan akhir. Tidak cukup bagi Yunus untuk terus-menerus menikmati pengalaman ajaib di perut ikan. Dia masih harus menunaikan tugas yang belum tuntas. Ikan besar pun memuntahkan dia di darat (2:10).
Seperti itulah cara kerja Allah di sepanjang Alkitab. Kita diselamatkan secara anugerah dengan tujuan tertentu, yaitu melakukan perbuatan-perbuatan baik yang sudah disiapkan Allah sejak kekekalan (Ef 2:8-10). Kebaikan Allah bukan hanya untuk disyukuri dan dinikmati, namun juga untuk dibagi. Soli Deo Gloria.