Perbuatan Daging Versus Buah Roh (Galatia 5:19-23)

Posted on 03/04/2016 | In Teaching | Leave a comment

Dalam beberapa khotbah yang lalu kita sudah belajar bahwa tidak semua agama mengajarkan kebaikan. Beberapa agama yang mengajarkan perbuatan baik pun ternyata dilandasi dengan motivasi dan konsep yang berbeda dengan ajaran Alkitab. Agama-agama lain memandang perbuatan baik sebagai syarat keselamatan, sedangkan kekristenan memahaminya sebagai bukti keselamatan sekaligus bentuk ucapan syukur atas keselamatan yang Allah berikan secara cuma-cuma di dalam Kristus Yesus (Ef 2:8-10).

Hari ini kita akan melihat sebuah perbedaan lain tentang perbuatan baik menurut Alkitab. Galatia 5:16-26 menunjukkan bahwa perbuatan baik di dalam kekristenan sebenarnya lebih ke arah apa yang Allah lakukan bagi kita daripada apa yang kita lakukan bagi Allah. Theosentris (berpusat pada Allah), bukan anthroposentris (berpusat pada manusia).

Untuk memperjelas poin ini Paulus memaparkan beberapa kontras: antara keinginan daging dan keinginan Roh (5:16-17), antara Hukum Taurat dan pimpinan Roh (5:18), antara perbuatan daging dan buah Roh (5:19-23). Masing-masing kontras saling berkaitan erat dan bermanfaat untuk menerangkan keunikan perbuatan baik menurut Alkitab. Fokus kita untuk khotbah kali ini akan diletakkan pada kontras yang terakhir: antara perbuatan daging dan buah Roh.

Perbuatan Daging (ayat 19-21)

Galatia 5:19-21 memberikan beberapa gambaran yang bermanfaat untuk memahami dosa. Yang pertama, dosa bersifat kentara (ayat 19a). Kata sifat phaneros (LAI:TB “nyata”) menunjuk pada sesuatu yang sangat jelas atau diketahui oleh publik. Peletakan kata phanera di awal kalimat turut mempertegas hal ini. Poin inilah yang ingin ditekankan oleh Paulus. Ia ingin menyampaikan satu pesan: “tidak sulit menemukan berbagai kejahatan”.

Keprihatinan Paulus seharusnya menjadi keprihatinan kita juga. Apa yang sudah “terbiasa” seringkali dipandang “tidak apa-apa”. Apa yang “normal” seringkali dinilai sebagai apa yang “normatif”. Beberapa orang yang tidak melakukan “hal-hal yang biasa” semacam itu bahkan dapat dipandang sebagai orang aneh.

Yang kedua, dosa bersifat jamak (ayat 19-21a). Masih berhubungan dengan poin di atas, dosa menjadi terbiasa di mata kita karena jumlahnya sangat beragama. Bentuk jamak ta erga di ayat 19a (semua versi Inggris “works”, kontra LAI:TB “perbuatan”) menunjukkan keragaman. Keragaman ini diperkuat dengan deretan dosa di ayat 19-21, yang pada akhirnya tidak dituntaskan oleh Paulus. Ia hanya menutup daftar tersebut dengan “dan sebagainya” (kai ta homoia toutois). Kejamakan ini sudah sedemikian besar dan luas, sehingga menyebutkannya satu per satu merupakan tindakan yang mustahil untuk dilakukan. Dosa sudah menjadi terlalu terbiasa untuk disangkal dan menjadi terlalu beragam untuk disebutkan.

Yang ketiga, dosa bersumber dari kedagingan (ayat 19a). Kata “daging” (sarx) dalam tulisan Paulus dapat berarti macam-macam, misalnya tubuh, kesementaraan, maupun natur yang dirusak oleh dosa. Penggunaan sarx di Galatia 5:19a merujuk pada arti yang terakhir (natur yang dirusak oleh dosa). Perlu diingat, walaupun kata yang digunakan secara hurufiah berarti “daging”, tetapi sarx tidak boleh dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan tubuh (jasmani) saja. Sarx merujuk pada seluruh detil natur manusia, baik yang terlihat (tubuh) maupun yang tidak terlihat (hati dan pikiran).

Baik Tuhan Yesus maupun para rasul mengajarkan bahwa natur manusia tidak netral. Natur kita sudah tercemar oleh dosa. Segala kejahatan berasal dari hati yang jahat (Mat 15:16-20). Seluruh bagian dalam diri kita - baik mulut, pikiran, tubuh, perasaan, dan kehendak - sudah dikuasai oleh dosa (Rm 3:10-18). Tidak melakukan apa-apa terhadap kecenderungan ini sama saja dengan membiarkan diri kita ditaklukan oleh kecenderungan tersebut.

Dalam konsep Alkitab, persoalan dosa lebih ke arah internal (natur yang berdosa). Godaan dunia maupun tipu daya Iblis hanyalah daya tarik dari luar. Selama yang di dalam berhasil dikontrol dengan baik, semua yang dari luar tidak akan menentukan. Kontrol ini bukan dari upaya manusia, melainkan dari kuasa Roh Kudus (lihat pembahasan Buah Roh).

Yang terakhir, dosa membawa pada kebinasaan (ayat 21b). Di teks ini Paulus secara tegas mengatakan bahwa siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan daging tidak akan masuk ke dalam kerajaan Allah. Paulus tentu saja tidak sedang mengajarkan bahwa keselamatan seseorang ditentukan oleh perbuatan orang itu. Keselamatan adalah pemberian secara cuma-cuma dari Allah melalui Yesus Kristus.

Walaupun demikian, kita juga perlu menandaskan bahwa perbuatan-perbuatan seseorang merefleksikan keadaan rohani orang itu. Siapa saja yang sudah menjadi milik Kristus berarti ia sudah menyalibkan hawa nafsunya (ayat 24). Ia tidak akan menuruti (lit. “menggenapkan” atau “menyelesaikan”) keinginan daging (ayat 16).

Sebaliknya, orang yang belum menjadi milik Kristus akan melakukan perbuatan-perbuatan daging (ayat 21b). Ia akan melakukannya bukan hanya sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali dan terus-menerus. Itulah maksud Paulus di ayat 21b. Kata Yunani hoi prassontes menunjuk pada orang-orang yang terus-menerus melakukan perbuatan-perbuatan daging. Peringatan ini pun sudah disampaikan sebelumnya (“Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu seperti yang telah kubuat dahulu”). Tampaknya peringatan Paulus yang dahulu tidak mendapat respon positif dari beberapa jemaat Galatia.

Buah Roh (ayat 22-23)

Paulus pasti memiliki maksud tertentu pada saat ia memilih istilah “buah Roh”. Ia bisa saja menggunakan “perbuatan-perbuatan Roh” atau “buah kesalehan” atau istilah-istilah lain. Ada beberapa hal menarik dari penggunaan ungkapan ini.

Yang pertama adalah kata “buah” (karpos). Penggunaan istilah ini jelas dimaksudkan sebagai kontras terhadap “perbuatan” (buah Roh versus perbuatan daging). Kata “buah” menyiratkan ketergantungan pada pohon sebagai penopang (bdk. Yoh 15:4-5). Itulah yang ingin ditekankan Paulus di Galatia 5:22-23. Beberapa kali ia mengatakan “dipimpin oleh Roh” (ayat 18, 25), bukan “mengikuti Roh”. Ungkapan “mengikuti Roh” masih memberi ruang terlalu besar untuk usaha manusia.

Apakah hal ini berarti bahwa manusia tidak perlu berusaha sama sekali? Sama sekali tidak! Kita perlu “hidup oleh Roh” (ayat 16, 25). Terjemahan LAI:TB di ayat 18 “memberi dirimu dipimpin oleh Roh” mungkin bisa memberi pencerahan yang bermanfaat. Jika Paulus ingin mengajarkan posisi manusia yang sangat pasif, ia bisa saja menggunakan ungkapan “perbuatan Roh,” namun bukan itu yang ia hendak sampaikan. Kita tetap mengemban tanggung-jawab, yaitu membiarkan diri hidup dipimpin oleh Roh.

Hal menarik kedua tentang ungkapan “buah Roh” masih berpusat pada kata “buah”. Berbeda dengan sebuah “perbuatan” yang dapat langsung dilakukan atau dihasilkan, “buah” menyiratkan sebuah proses. Ayat 24-25 menyinggung tentang hal ini. Pada saat kita menjadi milik Kristus (pada saat pertobatan melalui karya Roh), kita sudah menyalibkan hawa nafsu dan keinginannya (ayat 24). Namun, pergumulan rohani tidak berhenti sampai di situ saja. Kita selanjutnya perlu dipimpin oleh Roh (ayat 25) sehingga hidup kita menghasilkan buah Roh. Jadi, ada sebuah proses yang perlu dijalani. Ada jarak tertentu yang perlu ditempuh.

Kebenaran ini perlu dipahami dengan baik. Sebagian orang Kristen tidak mau bertumbuh. Sebagian lagi mengharapkan perubahan hidup yang cepat dan mudah. Mereka malas bergumul melawan dosa. Mereka berharap pada “mujizat transformasi” yang tidak memerlukan pergumulan rohani yang serius. Ini sikap yang keliru. Ada proses panjang – dan terkadang menyakitkan – yang perlu dijalani dan dinikmati. Roh Kudus akan memberi kekuatan dan penghiburan di sepanjang jalan.    

Hal menarik terakhir dari ungkapan “buah Roh” adalah bentuk tunggal pada kata “buah”. Hal ini jelas dimaksudkan sebagai kontras terhadap bentuk jamak “perbuatan-perbuatan daging” di ayat 19-21. Paulus sedang membicarakan “buah Roh” (kesatuan dan keutuhan), bukan “buah-buah Roh” (keragaman).

Lebih daripada sekadar pertimbangan gramatikal, Paulus memiliki maksud teologis tertentu melalui penggunaan bentuk tunggal tersebut. Jika ia menggunakan bentuk jamak (“buah-buah Roh”), maka memiliki satu saja sudah cukup untuk dikatakan bahwa orang itu dipimpin oleh Roh. Namun, bukan itu yang menjadi maksud Paulus. Seseorang yang dipimpin oleh Roh akan menunjukkan semua rasa dalam satu buah itu. Hidup yang dikuasai oleh Roh akan diwarnai dengan semua hal berikut ini: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri.

Semua penjelasan di atas berguna untuk menegaskan keunikan konsep Alkitab tentang perbuatan baik. Alkitab memberikan pandangan yang seimbang antara anugerah Allah dan tanggung-jawab manusia. Yang satu tidak meniadakan yang lain. Ajaran lain cenderung anthroposentris, namun ajaran Alkitab bersifat theosentris. Siapkan kita bersandar penuh pada kuasa Roh Kudus dan setia menjalani proses pengudusan bersama Dia? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko