Pada dirinya sendiri pemberitaan Injil menjadi salah satu pelayanan yang paling sering dihindari. Banyak dalih untuk membenarkan kelalaian ini. Hasilnya yang tidak langsung tampak. Harga mahal yang harus dibayar. Resiko besar yang dihadapi. Objek pelayanan yang tidak dikenal. Daftar ini masih bisa diperpanjang.
Jika pemberitaan Injil saja sudah sedemikian sering diabaikan, bagaimana dengan pemberitaan Injil kepada orang-orang yang tegar-tengkuk? Apa yang dilakukan seperti menjaring angin. Pengurbanan yang diberikan seperti kebodohan. Mereka yang pernah melakukan penginjilan dalam situasi seperti ini pasti memahami betapa rumit gejolak di dalam hati. Kasih yang besar tampak bertepuk sebelah tangan. Belas-kasihan, kekecewaan, dan (bahkan, kadangkala) kemarahan menguasai perasaan.
Itulah yang dialami oleh Yesaya. TUHAN memanggil dia untuk melakukan suatu pelayanan yang tidak menyenangkan. Tantangan sudah terbayang di depan. Penolakan menjadi keniscayaan.
Pelayanan yang penuh tantangan
Kesediaan Yesaya untuk melayani (6:8) mendahului pengetahuannya tentang pelayanan apa yang dia harus lakukan. Begitulah sikap yang benar. Ketundukan pada panggilan tidak boleh ditentukan oleh kenyamanan pelayanan. Ketaatan mendahului perencanaan.
Ternyata TUHAN sudah menyiapkan sebuah tugas yang super berat bagi Yesaya. Dia diutus kepada “bangsa ini” (6:9a), yaitu bangsa Yehuda. Bangsa ini terkenal dengan kejahatan dan kebebalan mereka. Sudah lama mereka memberontak kepada Allah. Para pemimpin begitu korup. Rakyat terbiasa dengan beragam dosa. Begitu berdosanya mereka, sampai-sampai TUHAN sendiri menyamakan mereka dengan para pemimpin Sodom dan Gomora (1:10). Objek pelayanan seperti ini jelas bukan sebuah tantangan yang gampang.
Lebih jauh, berita yang harus disampaikan oleh Yesaya terlihat tidak menyenangkan (ayat 9-10). Dia harus berkhotbah: “Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi mengerti: jangan! Lihatlah sungguh-sungguh, tetapi menanggap: jangan!” (6:9b). Terjemahan LAI:TB “sungguh-sungguh” di sini sangat tepat. Terjemahan hurufiah “dengarlah untuk mendengar” dan “lihatlah untuk mendengar” memang merupakan sebuah ungkapan yang berfungsi untuk memberikan penekanan.
Sekilas panggilan ini terasa sangat janggal. Begitu janggalnya sampai-sampai beberapa penafsir Alkitab menduga bahwa bagian ini sebenarnya diletakkan di tengah atau akhir pelayanan Yesaya, bukan di awal. Mereka menganggap bahwa ini merupakan refleksi atau evaluasi pelayanan Yesaya, bukan berita yang di sampaikan.
Penafsiran seperti di atas sebaiknya ditolak. Kita tidak memiliki bukti manuskrip atau salinan apapun yang mendukung ke sana. Jika demikian, bagaimana kita seharusnya memahami bagian ini? Mengapa TUHAN tidak ingin umat-Nya bertobat?
Kita perlu mengingat betapa parahnya kejahatan bangsa Yehuda. Mereka disamakan dengan Sodom dan Gomora. Kejahatan tidak lagi ditutup-tutupi. Rasa takut terhadap Allah sama sekali tidak ada pada mereka (3:8-9 “Sungguh, Yerusalem telah runtuh dan Yehuda telah rubuh; sebab perkataan mereka dan perbuatan mereka melawan TUHAN dan mereka menantang kemuliaan hadirat-Nya. Air muka mereka menyatakan kejahatan mereka, dan seperti orang Sodom, mereka dengan terang-terangan menyebut-nyebut dosanya, tidak lagi disembunyikannya. Celakalah orang-orang itu! Sebab mereka mendatangkan malapetaka kepada dirinya sendiri”). Mereka bahkan menantang Allah secara terang-terangan (5:18). Bangsa seperti ini tampaknya memang pantas untuk dihukum! Seandainya berita Yesaya diubah menjadi “Dengarlah sungguh-sungguh supaya mengerti” atau “lihatlah sungguh-sungguh supaya menanggap”, mereka tetap tidak akan mengerti dan menanggap. Jadi, inti persoalan bukan terletak pada berita Yesaya, melainkan dosa bangsa Yehuda. Berita Yesaya hanya meneguhkan keberdosaan mereka saja! Dia sedang belajar bahwa ketaatan dalam pelayanan adalah lebih penting daripada hasil pelayanan.
Walaupun demikian, pergumulan Yesaya tetap tidak mudah. Dia pasti menyadari keberdosaan Yehuda, tetapi bukankah dia sendiri sama berdosanya dengan mereka (6:5)? Kalau TUHAN berkenan menyucikan dosanya dan melepaskan dia dari kebinasaan (6:6-7), mengapa TUHAN tidak melakukan yang sama kepada bangsa Yehuda?
Persoalan ini sukar untuk dijelaskan secara tuntas. Namun, itulah hakikat dari anugerah Allah. Tidak bisa diprediksi. Tidak pantas untuk didapatkan oleh siapapun. Tanpa syarat. Allah akan memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Bagi yang menerima anugerah, mereka mendapatkan apa yang mereka tidak pantas untuk dapatkan. Bagi yang tidak menerima anugerah, mereka mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan.
Kesulitan Yesaya tidak berhenti sampai di objek pelayanan yang bebal (6:9a) dan berita yang janggal saja (6:9b-10). Dia juga harus menghadapi durasi pelayanan yang panjang (ayat 11-13a). Berada di tempat yang tidak nyaman adalah satu hal. Bertahan di sana sampai lama adalah hal yang berbeda. Itulah keadaan Yesaya.
Pertanyaan “Sampai berapa lama, ya Tuhan?” (6:11a) tidak boleh dipahami sebagai sebuah penolakan. Ini hanyalah ungkapan jujur yang lahir dari pergumulan hati. Sebagai seorang keturunan Abraham, dia pasti bangga dan mencintai bangsanya (bdk. Rm. 10:1-3). Sebagai seorang pelayan TUHAN, dia pasti ingin melihat hasil positif dari pelayanannya. Wajar jika dia bertanya seperti itu.
Jawaban Allah tampaknya tidak terlalu menyenangkan. Bangsa Yehuda akan menghadapi kehancuran demi kehancuran. Ketidaktaatan menghantar pada kehancuran (ayat 11b-12). Hal ini sesuai dengan peringatan TUHAN dahulu kepada bangsa Israel melalui Musa (Ul. 28:21, 63; 29:28). Bahkan ketika jumlah mereka hanya tersisa sepersepuluh, mereka masih akan dihancurkan sekali lagi (ayat 13a).
Sekali lagi, TUHAN sedang mengajarkan sebuah poin penting kepada Yesaya: ketaatan dalam pelayanan adalah lebih penting daripada hasil pelayanan. Apa yang diminta TUHAN dari dia adalah ketaatan, walaupun dia berada di tengah tantangan dan ketidaknyamanan. Ternyata cara TUHAN menilai pelayanan seseorang berbeda dengan cara dunia. Bagi TUHAN, bagaimana melayani jauh melebihi apa yang dihasilkan.
Pelayanan yang berpengharapan
Hukuman bukan tujuan. Berita yang menyesakkan bukanlah akhir dari sebuah perjalanan. Di ujung jalan sudah disiapkan pengharapan. Jalanan yang sukar diganti dengan jalanan yang lapang. Kehancuran ditukar dengan pemulihan. Itulah cara bekerja Allah kita!
Di mata manusia, situasi bangsa Yehuda terlihat semakin buruk. Bangsa Babel akan segera datang dan mengalahkan mereka. Bukan sekadar mengalahkan, mereka juga akan menghancurkan Yerusalem dan bait Allah. Semua penduduk yang punya potensi dan kekuatan diangkut ke dalam pembuangan. Secara manusia ujung dari perjalanan ini tampaknya adalah kehancuran yang lebih dalam. Akankah bangsa Yehuda musnah dan tidak dikenal lagi?
Sama sekali tidak! Semakin sukar jalan yang ada di depan, semakin indah pemandangan yang akan disajikan. Kira-kira seperti itulah kisah perjalanan kehidupan bersama dengan Tuhan.
Allah berkuasa untuk memulihkan, bahkan dari puing-puing kehidupan. Ketika pokok, cabang, ranting, dan dedaunan tidak ada lagi, hal itu tidak berarti sebuah pohon mengalami kematian. Masih ada tunggul. Dari tunggul ini akan muncul sebuah tunas (lit. “biji”) yang kudus. Allah akan memulai semuanya dari sesuatu yang kecil. Sesuatu yang baru.
Tunas ini merujuk pada Mesias futuris dari keturunan Daud. Tunggul di sini adalah tunggul Isai, ayah Daud (11:1). Mesias sudah disiapkan, bahkan sebelum kehancuran datang. Allah tidak pernah dikagetkan. Semua berada dalam kedaulatan-Nya yang sempurna.
Yesus Kristus, Sang Anak Daud (Mat. 1:1), menjadi penggenapan sempurna dari nubuat Yesaya. Dia datang untuk menjadi Raja segala raja. Kerajaan-Nya jauh lebih besar daripada bangsa manapun juga. Ada pengharapan di dalam TUHAN!
Yesaya mungkin tidak sempat menyaksikan buah pelayanannya. Selama hidupnya, dia mungkin hanya sempat melihat kehancuran demi kehancuran. Dia mungkin belum melihat tunas itu muncul. Walaupun demikian, dalam kedaulatan Tuhan, semua pemberitaan tidak akan sia-sia. Di depan sana jalan lebih terang, jalan lebih lapang. Itulah pelayanan yang berpengharapan! Harapan yang jauh lebih panjang daripada kisah kehidupan sang pelayan. Kita boleh mati, tetapi pengharapan dalam diri kita tetap harus hidup. Kehancuran bukanlah bab terakhir. Keputusasaan tidak boleh hinggap di halaman. Kelak Tuhan sendiri akan menutup kisah pelayanan kita dengan cinta: APA YANG AKU KEHENDAKI PASTI AKAN TERJADI. Soli Deo Gloria.