Pentingnya Firman Kristus Dalam Relasi (Kolose 3:16)

Posted on 04/10/2020 | In Teaching | Leave a comment

Kebersamaan merupakan salah satu ciri khas kekristenan. Sebagai satu komunitas di dalam Kristus sangat wajar apabila orang-orang Kristen mewujudkan kesatuan itu dalam berbagai aktivitas bersama. Dalam kebersamaan, banyak hal dibagikan.

Walaupun demikian, kebersamaan ini bukan sekadar kebersamaan dalam kegiatan. Persekutuan tanpa firman Tuhan hanyalah sekadar perkumpulan atau arisan. Dalam perkumpulan atau arisan, yang menyatukan hanyalah kesamaan dan kepentingan. Kebersamaan seperti ini tidak berbeda dengan yang ada di luar sana.

Apa yang seharusnya menjadi pemersatu dalam persekutuan Kristen? Bagaimana kebersamaan itu diwujudkan? Dua pertanyaan ini akan dijawab melalui teks kita hari ini.

Dari sisi struktur kalimat, teks hari ini terdiri dari induk kalimat (ayat 16a) dan beberapa anak kalimat partisip (ayat 16b). Induk kalimat menjelaskan apa yang terpenting (pusat) dalam ibadah bersama, sedangkan anak-anak kalimat menerangkan perwujudan dari bagian terpenting tersebut.

 

Perkataan Kristus sebagai pusat kebersamaan (ayat 16a)

Terjemahan “perkataan Kristus” (LAI:TB) mengarahkan pembaca untuk memahami frasa ho logos tou Christou sebagai rujukan pada perkataan yang diucapkan oleh Kristus. Walaupun secara tata bahasa terjemahan ini dimungkinkan, tetapi analisa konteks tampaknya lebih mengarah pada perkataan tentang Kristus (NLT “the message about Christ”).

Jika ini tafsiran di atas diterima, yang dimaksud oleh Paulus melalui frasa ho logos tou Christou adalah Injil Kristus: perkataan tentang posisi Yesus sebagai Mesias (Christos). Dia adalah yang diutus dan diurapi oleh Allah untuk membawa kelepasan bagi umat-Nya. Kelepasan dari kuasa dan upah dosa.   

Ada beberapa dukungan bagi penafsiran ini. Kata Yunani logos muncul di 4:3 sebagai rujukan pada Injil tentang misteri di dalam Kristus (LAI:TB “pemberitaan”). Di samping itu, pemunculan kata logos bersamaan dengan “hikmat” dan “mengajar” (3:16) di tempat lain dalam surat ini mengarah pada pemberitaan Injil (1:27 “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus”).

Melalui frasa ini Paulus ingin menegaskan bahwa yang memerlukan Injil bukan hanya orang-orang yang belum percaya. Setiap komunitas Kristen juga memerlukannya. Injil harus berdiam di dalamnya. Kata “berdiam” (enoikeō) hanya muncul 5 (lima) kali saja dalam Perjanjian Baru. Makna yang tersirat menunjukkan kediaman yang permanen. Kata ini digunakan untuk Allah yang berdiam di antara umat-Nya (2Kor. 6:16) atau di dalam diri umat-Nya (Rm.8:11; 2Tim. 1:14). Kata ini juga dipakai untuk iman antar generasi yang ada dalam keluarga Timotius (2Tim. 1:5). Intinya, Injil Yesus Kristus harus selalu ada dalam perkumpulan (baca: ibadah) orang percaya.

Seberapa besar peranan Injil dalam komunitas orang percaya diterangkan melalui kata plousiōs (“dengan segala kekayaannya”). Kata yang selalu dikaitkan dengan pemberian Allah yang baik ini (1Tim. 6:17; Tit. 3:6; 2Pet. 1:11) menyiratkan makan kelimpahan. Injil bukan hanya disinggung atau dibicarakan sesekali. Injil ibarat tuan rumah yang selalu mendapat tempat terhormat. Bukan hanya selalu dibicarakan, tetapi juga melandasi semua pembicaraan.

Mengapa Paulus sangat menekankan kelimpahan Injil dalam ibadah? Jawabannya ada di 2:18-23. Beberapa jemaat di Kolose tertarik dengan sebuah ajaran sesat dengan ibadahnya yang terlihat “rohani.” Mereka menyembah malaikat, berkanjang pada penglihatan dan menyiksa diri. Semua ini mereka lakukan karena menganggap karya penebusan Kristus tidak mencukupi. Mereka masih ingin menambah dengan usaha manusia. Di tengah kesesatan seperti ini Paulus menasihati mereka untuk meletakkan Injil sebagai pusat ibadah.

 

Wujud kebersamaan yang berpusat pada Injil (ayat 16b)

Dari sisi sintaks Yunani bagian ini sering diperdebatkan oleh para penerjemah maupun penafsir Alkitab. Paling tidak ada dua poin yang sering dipermasalahkan. Yang terutama adalah posisi partisip “menyanyi” (adontes). Apakah partisip ini sejajar (koordinatif) dengan “mengajar” (didaskontes) dan “menegur” (nouthetountes) atau menjelaskan (subordinatif) terhadap dua partisip tersebut? Persoalan berikutnya adalah frasa “mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani”. Dalam teks Yunani frasa ini bisa dikaitkan dengan bagian sebelumnya (mengajar dan menegur, KJV/NKJV/NASB) maupun sesudahnya (menyanyikan, NRSV/NIV/ESV/NLT). Memilih mana yang benar sangat sukar untuk dilakukan, karena struktur kalimat memang bisa multitafsir.

Tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan kerumitan isu ini, khotbah kali ini membagi ayat 16b menjadi dua bagian besar: (a) mengajar dan menegur satu sama lain dengan  segala hikmat; (b) menyanyikan mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani dengan ucapan syukur dalam hati kepada Allah. Dua hal ini merupakan wujud atau ekspresi dari komunitas yang selalu meletakkan Injil sebagai pusat. Tentu saja masih ada ekspresi-ekspresi lain dalam Alkitab, tetapi kita hanya berfokus pada ayat 16b saja.

Pertama, mengajar dan menegur satu sama lain dengan segala hikmat. Kata dasar “mengajar” (didaskō) dan “menegur” (noutheteō) ibarat dua sisi dari mata uang yang sama: yang satu positif (menyampaikan kebenaran), yang satu negatif (memberi peringatan atau teguran supaya tidak menjauh dari kebenaran). Di 1:28 Paulus juga menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan pelayanannya (LAI:TB secara kurang konsisten menerjemahkan dengan “mengajar” dan “menasihati”). Ajaran dan teguran sama-sama anugerah dari Tuhan. Sayangnya, banyak orang lebih siap mendengarkan ajaran daripada teguran.

Walaupun pengajaran dan teguran penting, kita juga tidak boleh sembarangan menyatakannya. Apa yang kita katakan sama pentingnya dengan bagaimana kita mengatakannya. Itulah sebabnya Paulus menambahkan “dengan segala hikmat” (en pasÄ“ sophia). Hikmat merujuk pada sikap yang tepat dalam menggunakan pengetahuan. Ajaran dan teguran yang berhikmat selalu mempertimbangkan situasi khusus dan orang yang diajak berbicara. Perkataan yang tepat harus dikatakan dengan motivasi, waktu dan cara yang tepat. Jangan asal debat dan sikat.

Kedua, menyanyikan lagu-lagu rohani dengan ucapan syukur. Puji-pujian memegang peranan cukup sentral dalam ibadah Kristiani. Orang-orang Kristen dikenal sebagai orang yang selalu bergembira (Luk. 24:52-53; Kis. 2:46-47).

Ada beragam jenis lagu rohani yang digunakan dalam ibadah Kristen mula-mula: mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani (Kol. 3:16; lihat juga Ef. 5:19). Kita tidak mengetahui dengan pasti perbedaan yang jelas di antara tiga istilah yang digunakan. Apakah “mazmur” merujuk pada lagu-lagu dari kitab suci (Perjanjian Lama, terutama Kitab Mazmur), puji-pujian berhubungan dengan gubahan dalam kitab suci (seperti nyanyian Maria) dan nyanyian rohani lebih ke arah lagu-lagu spontan dalam ibadah? Mungkin saja. Namun, kita tidak memiliki cara untuk memastikannya.

Apapun jenisnya, yang penting lagu itu menyiratkan pesan Injil dengan kuat. Lagu-lagu itu harus mengandung ajaran dan teguran bagi jemaat untuk terus berfokus pada penebusan Kristus yang sempurna. Tidak asal indah dan enak dinyanyikan. Pesan dalam lagu lebih penting daripada kemasan lagu. Ajaran yang benar mendahului musikalitas.

Selain mengandung pesan Injil yang kuat, lagu-lagu itu juga harus dinyanyikan dengan ucapan syukur (en chariti) dalam hati. Ucapan syukur sangat berkaitan dengan kasih karunia. Kata Yunani yang biasa digunakan sangat mirip (eucharistia, 2:7), bahkan identik (charis, 3:16).

Keterkaitan kata di atas mengajarkan kepada kita bahwa ucapan syukur tidak ditentukan oleh seberapa baik keadaan kita, tetapi seberapa besar pemahaman kita tentang anugerah-Nya. Semakin kita menyadari kasih karunia-Nya yang mau menerima kita apa adanya dan mengubahkan kita menjadi serupa dengan Anak-Nya, semakin kita mudah untuk menaikkan syukur kepada-Nya.

Apakah kita harus dalam keadaan baik-baik saja (atau bahkan luar biasa) ketika memasuki sebuah ibadah? Tidak juga! Apakah kita harus selalu menghampiri Allah dengan ucapan syukur? Tentu saja! Keadaan kita yang sedang tidak baik seharusnya tidak mengaburkan kebaikan Allah dalam hidup kita. Berkat Allah secara jasmani tidak selalu nyata, tetapi kasih karunia-Nya selalu ada untuk kita. Bersyukurlah! Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko