Hampir semua gereja yang melakukan pembangunan secara fisik (bangunan) memilih untuk memulai proyek tersebut walaupun belum semua kebutuhan dana terpenuhi. Sebagian memandang ini sebagai sebuah langkah iman. Sebagian menganggap ini tidak lebih daripada sekadar langkah yang umum (banyak gereja sudah melakukannya dan berhasil).
Fenomena seperti ini cukup menarik untuk dikaji ulang. Beberapa pembangunan fisik gereja ternyata mengalami kendala serius dan tidak dapat dilanjutkan. Beberapa gereja terlibat hutang yang besar dengan pihak bank. Di samping itu, bukankah Alkitab sendiri tampaknya memerintahkan kita untuk merencanakan sebuah pembangunan secara matang terlebih dahulu (Luk 14:28-32)? Dalam perumpamaan ini Tuhan Yesus membicarakan tentang ‘kebodohan’ orang yang tergesa-gesa memulai sebuah proyek atau keputusan tanpa perencanaan yang baik. Pembangunan menara harus dihitung secara matang. Demikian juga pengiriman tentara dalam peperangan. Mengapa banyak gereja tidak mengindahkan nasihat ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pertama-tama perlu mengerti konteks nasihat Tuhan Yesus di Lukas 14:25-33 ini. Waktu itu Yesus sedang membicarakan tentang keputusan untuk mengikut Dia (Luk 14:25-27, 33). Ia tidak menginginkan sebuah keputusan yang tergesa-gesa dalam mengikut Dia. Ada harga dan resiko yang harus ditanggung dalam mengikuti Yesus. Untuk mendaratkan poin ini, Ia memakai perumpamaan singkat tentang pembangung menara dan raja yang mengatur peperangan. Konklusi yang ditarik adalah “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:33). Jadi, inti dari perumpamaan yang diberikan adalah kemantapan hati untuk mengambil sebuah komitmen yang besar dan mengandung resiko. Tidak ada ruang bagi keraguan maupun penyesalan. Jika penjelasan ini diterima, Lukas 14:28-32 tidak terlalu cocok untuk disitir dalam diskusi kita tentang tren pembangunan gereja. Baik mereka yang memilih “jalan dulu” maupun “modal dulu” dalam upaya pembangunan gedung gereja harus tetap mengerti resiko yang akan dihadapi dan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan apa yang sudah diputuskan.
Saya sendiri tidak menganggap prinsip “jalan dulu” pada dirinya sendiri kurang bijaksana jika dibandingkan dengan “modal dulu”. Masing-masing memiliki resiko tersendiri. Prinsip pertama bisa berujung pada kegagalan dan sindiran (atau minimal gunjingan) orang. Prinsip kedua berpotensi berakhir pada otonomi manusia tanpa persandaran total kepada Allah (bdk. Yak 4:13-15).
Yang paling penting dalam semuanya ini adalah keyakinan terhadap pimpinan Tuhan. Karena hal ini bersifat subyektif, kita sebaiknya secara bersama-sama dan berkali-kali menguji keyakinan ini. Apakah motivasi dalam pembangunan sudah benar (melebarkan kerajaan Allah, bukan kerajaan kita sendiri)? Apakah sebagian besar jemaat mengamini proyek yang dikerjakan? Apakah ada tanda khusus dari Tuhan yang mengarahkan kita pada keputusan untuk membangun? Apakah kita sudah mempertimbangkan segala aspek secara bijaksana dan merencanakan segala sesuatu secermat mungkin? Apakah cara kita membangun sudah selaras dengan ajaran Alkitab? Seandainya semua alat ukur ini sudah dipenuhi, tidak ada alasan untuk tidak berani melangkah dahulu, walaupun apa yang ada di depan belum dapat dipastikan sepenuhnya. Bukankah mereka yang memegang prinsip “modal dulu” juga harus mengakui bahwa modal finansial yang berlebih tetap bukan jaminan bahwa suatu proyek pasti akan selesai. Faktor X yang tidak terlihat di depan tetap akan ada, karena hal itu merupakan salah satu cara Tuhan untuk mengingatkan keterbatasan kita dan melatih kita untuk berharap penuh kepada-Nya. Soli Deo Gloria.