Path to the Cross 3: His trial (Yohanes 18:28-19:16)

Posted on 13/04/2014 | In Teaching | Leave a comment

Pembacaan yang teliti akan menunjukkan bahwa peristiwa Yesus diadili oleh Pilatus dalam Injil Yohanes berbeda dengan peristiwa yang sama di kitab-kitab lain. Di Yohanes 18:28-19:16 Yesus justru yang lebih banyak berkata-kata dan mengoreksi Pilatus. Banyak teolog yang memandang bahwa Pilatus yang sedang ‘diinterogasi’ oleh Yesus. Status Yesus sebagai Raja juga disorot secara kentara (18:33, 36, 37, 39; 19:2, 3, 5, 12, 14, 15). Semua karakteristik ini selaras dengan penekanan teologi Injil Yohanes bahwa salib adalah jalan kemuliaan (3:14; 12:23, 32, 34; 11:4), bukan sebuah tragedi.

Latar belakang cerita (setting)

Dari sisi waktu, peristiwa interogasi oleh Pilatus terjadi mulai pagi (prōï, 18:28) sampai sekitar jam 12 siang (hōra ēn hōs hektē = lit. ‘waktu itu adalah sekitar jam ke-6,’ 19:14). Yang lebih penting, keseluruhan peristiwa ini dihubungkan dengan suasana persiapan perayaan Paskah (18:28; 19:14). Keterangan waktu yang detil ini bukan hanya berfungsi mempertegas historisitas cerita, namun juga menampilkan ironi. Mereka tidak mau menajiskan diri dengan masuk ke tempat orang kafir (18:28; bdk. Kis 10:28), namun mereka tidak peduli dengan kesalahan moral yang mereka lakukan dengan menghukum Yesus yang tidak bersalah. Mereka tidak mau kehilangan momentum dan kelayakan untuk merayakan Paskah (18:28), padahal mereka sendiri sedang membunuh Anak Domba Paskah yang sejati (bdk. 1:29, 36 “Lihatlah Anak Domba Allah!”; 19:14, 31, 36).

Dari sisi tempat, penulis Injil Yohanes menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi tidak mau memasuki ‘gedung pengadilan’ (istilah praitōrion merujuk pada markas gubernur, dan kemungkinan besar identik dengan istana Herodes yang ada di Tembok Barat), sedangkan interogasi oleh Pilatus dilakukan di dalam istana (18:28). Situasi ini menjelaskan mengapa kata ‘keluar’ atau ‘ke dalam’ muncul berkali-kali dalam kisah ini (18:29, 33, 38; 19:4-5, 9, 13). Keterangan tempat ini juga mempertegas sebuah ironi. Orang-orang Yahudi tidak mau memasuki tempat tinggal orang kafir yang mereka anggap najis (kemungkinan besar karena kebiasaan orang-orang Yahudi untuk menguburkan mayat – terutama bayi dan janin - di bawah rumah mereka, m. Oholoth 18.7), tetapi mereka justru meminta pertolongan orang kafir untuk mencapai tujuan mereka yang berdosa.

Tuduhan yang tidak beralasan

Pertanyaan Pilatus tentang inti tuduhan (18:29) dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu perkara hukum berada dalam wewenang otonomi Yahudi melalui Sanhedrin atau harus melewati persetujuan perwakilan pemerintah Romawi. Jawaban orang-orang Yahudi sangat kabur, baik dari sisi istilah (kakon poiōn = lit. ‘pembuat/pelaku kejahatan’) maupun bukti yang memperkuat tuduhan itu (18:30). Walaupun usaha untuk menyeret Yesus ke Pilatus menyiratkan sebuah kesalahan besar di mata orang-orang Yahudi, tetapi respon Pilatus menunjukkan hal sebaliknya (18:31a), entah ia memandang perkara itu terlalu sepele atau ia tidak mendapati bukti yang cukup bagi tuduhan tersebut. Kemungkinan yang kedua tampaknya lebih tepat. Pilatus menyatakan ketidakbersalahan Yesus sebanyak tiga kali (18:38; 19:4, 6). Pilatus juga berusaha membebaskan Yesus sebanyak tiga kali (18:39-40; 19:6b, 12).

Walaupun sejak awal Pilatus meragukan validitas tuduhan mereka, orang-orang Yahudi tidak berusaha memaparkan bukti atau argumen tambahan bagi tuduhan tersebut. Sebaliknya, mereka lebih terfokus pada hukuman mati untuk Yesus, yang hanya dimungkinkan melalui keputusan legal pemerintah Romawi (18:31b). Tekad mereka untuk membunuh Yesus (11:53) terlihat memang sudah bulat. Hal ini ditunjukkan melalui pilihan tidak rasional yang mereka ambil untuk membebaskan Barabas yang sudah jelas-jelas adalah pemberontak (istilah lēstēs lebih merujuk pada pemberontak gerilya daripada penyamun biasa, Mar 15:7; Luk 23:19, lihat NIV ‘had taken part in a rebellion’). Jika Barabas dan Yesus dibandingkan, maka Barabas merupakan ancaman yang lebih besar untuk kaisar daripada Yesus. Perbandingan antara Yesus dan Barabas mengingatkan pembaca pada kontras antara Yesus sebagai gembala yang baik dan pencuri (lēstēs, 10:1, 8). Perbandingan ini sekaligus mengedepankan sebuah ironi lain: Yesus yang tidak bersalah diseret ke pengadilan karena klaim-Nya sebagai Anak Bapa di sorga (19:7; bdk. 5:18), sedangkan mereka lebih memilih Barabas (yang secara hurufiah berarti ‘anak bapa’.

Ketika hati seseorang dikuasai oleh iri hati, kemarahan, dan kebencian, orang itu dapat melakukan apapun untuk melampiaskan perasaan itu, termasuk hal-hal yang tidak masuk akal. Kebenaran diabaikan. Akal sehat ditinggalkan.

Raja yang sejati

Jika kita memperhatikan detil cerita, kita akan menemukan bahwa inti dari interogasi terletak pada status Yesus sebagai raja (18:33, 36, 37, 39; 19:2, 3, 5, 12, 14, 15). Para pembaca Injil Yohanes dari awal sudah mengenal bahwa Yesus adalah ‘Raja orang Yahudi’ (1:49), dan Ia sudah dielukan-elukan sebagai raja di Yerusalem (12:13). Sama seperti penyaliban-Nya sangat berkaitan dengan status sebagai raja (19:19-22), demikian pula penguburan-Nya yang mirip dengan penguburan seorang raja (19:39-40).

Yesus pun tidak menyangkal diri-Nya sebagai Raja. Ia bahkan tiga kali menyebut ‘Kerajaan-Ku’ (18:36). Tiap kali frase ini muncul, kata Yunani ‘-Ku’ selalu disertai penekanan (bukan hanya mou, tetapi hē emē). Hal ini bertujuan untuk menyiratkan kekhususan kerajaan Yesus.

Ia memang Raja, tetapi bukan raja seperti yang bangsa Yahudi pikirkan. Pada saat mereka memaksa Yesus menjadi raja secara politik, Ia sengaja menghindari (6:15). Mengapa? Karena kerajaan-Nya tidak secara politis dan tidak mengedepankan kekerasan! Pada waktu Ia ditangkap oleh tentara dan penjaga-penjaga bait Allah (hypēretēs, 18:3, 12), para hamba-Nya (hypēretēs) tidak melawan (18:36). Ia justru menegur Petrus yang berusaha melindungi Dia (18:10-11).

Bukan hanya tanpa kekerasan, apa yang penting dalam kerajaan-Nya adalah ‘kebenaran’ (18:37). Dalam Injil Yohanes ide tentang kebenaran memang sering dikaitkan dengan Yesus. Kemuliaan-Nya penuh kasih setia dan kebenaran (1:14). Kasih karunia dan kebenaran datang melalui Dia (1:17). Orang yang benar akan datang kepada-Nya (3:21) atau mendengarkan Dia (18:37b). Dia datang untuk kebenaran (8:40, 45-46) dan Dia sendiri adalah kebenaran (14:6). Ia juga akan mengutus Roh Kudus, yaitu Roh Kebenaran, untuk menolong pengikut-Nya (14:17; 15:26; 16:13).

Berbeda dengan Yesus, Pilatus tidak serius ingin mengetahui kebenaran. Walaupun ia sempat menanyakan tentang kebenaran, ia langsung keluar tanpa menunggu jawaban Yesus (18:37). Ia termasuk orang yang tidak mendengarkan suara Yesus karena ia bukan berasal dari kebenaran (18:37b). Tidak heran, ia mengambil keputusan yang tidak benar hanya untuk mengamankan posisinya secara politis (19:12-16). Walaupun ia berkuasa membebaskan Yesus (19:10) dan mengetahui bahwa Yesus tidak bersalah (18:38; 19:4, 6), ia memilih untuk mengikuti tuntutan bangsa Yahudi. Keputusan ini secara ironis membuktikan bahwa dia tidak berkuasa sama sekali.

Senada dengan Pilatus, para pemimpin Yahudi juga lebih memilih keutuhan secara politis (11:47-53) daripada membela kebenaran. Dalam bagian selanjutnya akan dipaparkan bahwa mereka rela mengorbankan konsep teologis mereka yang paling fundamental demi menyalibkan Yesus secara tidak benar.

Sebagai seorang Raja sejati – yang berprinsip surgawi dan menekankan kebenaran – Yesus tetap memegang kendali penuh selama interogasi. Otoritas ini dinyatakan melalui dua cara: penyaliban sebagai penggenapan firman Yesus (18:32) dan supremasi Yesus atas Pilatus (18:37; 19:10-11). Sehubungan dengan poin yang pertama, Yesus sudah beberapa kali menubuatkan kematian-Nya sebagai proses pemuliaan atau peninggian (3:14; 8:28; 12:32-33). Upaya licik bangsa Yahudi untuk menyalibkan Yesus bukan sebuah kecelakaan atau proses yang tidak terkendali. Semua justru terjadi untuk menggenapai apa yang Yesus sudah firmankan. Sehubungan dengan poin kedua, Yesus menantang siapa saja yang mencintai kebenaran (termasuk Pilatus jika ia mau) untuk mendengarkan Dia (18:37b). Ia mengingatkan bahwa kuasa Pilatus berasal dari atas (19:11), sama seperti asal dari kerajaan Yesus (18:26-27). Bedanya, Pilatus memerintah berdasarkan prinsip-prinsip duniawi, sedangkan Yesus tetap konsisten dengan hakekat kerajaan-Nya yang surgawi.

Raja yang tertolak

Penolakan terhadap Yesus sebagai Raja dilakukan oleh dua pihak: Romawi dan Yahudi.  Dari pihak Romawi diwakili Pilatus dan para tentaranya. Mereka menunjukkan penolakan melalui beberapa cara. Pada awal integorasi Pilatus memberikan sebuah pertanyaan sarkastik untuk menghina Yesus. Sikap ini selaras dengan pandangan orang Romawi secara umum terhadap bangsa Yahudi. Dalam teks Yunani pertanyaan “Engkau inikah raja orang Yahudi?” (18:33) mengandung penekanan (kata ‘kamu’ diulang dua kali) dan menyiratkan pelecehan: bagaimana mungkin seseorang yang ditinggalkan dan diadukan oleh bangsanya sendiri adalah seorang raja? Sikap sarkastik juga ditunjukkan dengan menyebut Yesus yang ‘tidak berdaya’ sebagai raja di depan bangsa Yahudi yang sedang tidak terkendali (19:14-15) dan memasang tulisan di atas salib ‘Yesus, orang Nazaret, Raja Orang Yahudi’ (19:19; bdk. 1:46 “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”).

Ia juga mengambil Yesus untuk disesah dan dipermainkan (19:1-3). Pengenakan jubah ungu dan mahkota duri jelas berhubungan dengan seorang raja. Walaupun dua benda ini biasanya menandakan kehormatan, kali ini benda-benda ini justru menjadi alat untuk mengolok-olok Yesus. Olokan semacam ini sering ditemui dalam teater atau sirkus pada saat perayaan tertentu. Bedanya, kali ini olokan tersebut terjadi di dunia nyata dan melibatkan penderitaan fisik.

Penolakan paling ironis justru berasal dari orang Yahudi sendiri (bdk. 1:11 “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”). Mereka tidak mempercayai Yesus sebagai Anak Allah (19:7) maupun Raja (19:15). Menariknya, dua sebutan ini di awal Injil Yohanes diucapkan oleh Natanael, yang disebut Yesus sebagai ‘seorang Israel sejati’ yang tidak memiliki kepalsuan (1:47, 49), seolah-olah penulis Injil Yohanes ingin menampilkan orang-orang Yahudi di Yoh 18:28-19:16 bukanlah Israel yang sejati dan mereka semua penuh kepalsuan!

Istilah ‘Anak Allah’ bisa bermakna berbeda bagi orang yang berbeda. Bagi Pilatus, sebutan ini mungkin merujuk pada seorang manusia ilahi (theios anēr) yang mampu melakukan perbuatan ajaib atau imitasi dari gelar kaisar Romawi (terutama oleh Kaisar Agustus). Bagi orang Yahudi, Anak Allah bisa merujuk pada keturunan Daud (2 Sam 7:14) atau Mesias (Mzm 2:7; 89:26-27). Bagi Yesus, sebutan ‘Anak Allah’ bukan hanya berhubungan dengan Mesias (Yoh 20:29-30), tetapi juga membuktikan bahwa Yesus adalah sama dengan Bapa (5:18). Dia adalah Allah (1:1, 18)!

 Gelar Yesus yang lain yang ditentang oleh bangsa Yahudi adalah Raja. Bahkan untuk mengekspresikan hal ini, mereka rela mengkompromikan kebenaran teologis yang sangat penting. Tanpa disadari mereka telah memposisikan diri sebagai ‘sahabat kaisar’ (amicus Caesaris) dan memanfaatkan sebutan yang sama untuk mengintimidasi Pilatus (19:12). Mereka tanpa ragu mengakui “Kami tidak mempunyai raja selain daripada Kaisar” (19:15). Kitab suci berkali-kali menandaskan bahwa TUHAN adalah Raja satu-satunya dan tidak ada yang lain (Hak 8:23; 1 Sam 8:7). Ironisnya, loyalitas pada kaisar ini justru diucapkan bangsa Yahudi pada saat perayaan Paskah, di mana orang-orang Yahudi seharusnya merenungkan kekuasaan Allah dan mengharapkan pemulihan kerajaan-Nya. Beberapa tradisi bahkan mencatat bahwa mereka menutup nyanyian-nyanyian Paskah dengan sebuah doa yang berisi pengakuan berkali-kali bahwa Allah adalah satu-satunya Raja mereka. Momen Paskah seharusnya menggelorakan pengharapan mereka tentang kedatangan Mesias yang akan menahbiskan kerajaan Allah. Jadi, mereka bukan hanya menolak Yesus sebagai Mesias, tetapi mereka bahkan telah menolak Mesias rajani sama sekali (siapapun itu!). Mereka ‘puas’ dan ‘loyal’ dengan kekuasaan kaisar kafir atas hidup mereka.

Aplikasi

Kegagalan para pemimpin Yahudi dan Pilatus dalam mengenali identitas Yesus yang sebenarnya disebabkan oleh kecintaan mereka terhadap karir dan kekuasaan. Para pemimpin Yahudi tidak ingin wewenang mereka dicabut oleh pemerintah Romawi gara-gara popularitas Yesus yang dianggap dapat menimbulkan masalah (11:48, 50). Pilatus sangat mencintai posisinya dan memberhalakan kedekatannya dengan kaisar (disebut sahabat kaisar). Bagaimana dengan kita? Apakah ada hal-hal tertentu yang menghalangi ketaatan kita kepada Yesus sebagai Raja? Apakah itu hobi, pekerjaan, atau keluargamu?

Yakub Tri Handoko