Allah lebih peduli dengan siapa kita daripada apa yang kita lakukan. Itulah sebabnya Dia ingin bekerja di dalam kita sebelum Dia bekerja melalui kita. Dia ingin menjumpai kita secara pribadi sebelum kita menjumpai banyak orang di area publik.
Kebenaran di atas tampaknya dengan mudah diabaikan. Banyak orang terlena dengan pelayanan sampai mengurbankan kerohanian. Terlalu sibuk untuk orang lain, tetapi tidak ada waktu untuk sendirian dengan Tuhan.
Teks kita hari ini mengajarkan bagaimana perjumpaan dengan Tuhan harus mendahului pelayanan buat Tuhan. Relasi kita dengan Allah harus beres sebelum kita dipakai untuk membereskan relasi orang lain dengan Tuhan. Tanpa hal ini, pelayanan akan menjadi perbudakan dan pencitraan.
Perjumpaan dengan Tuhan
Bukan kebetulan jika perikop kita dimulai dengan sebuah catatan historis: “dalam tahun matinya Raja Uzia” (ayat 1a). Dia adalah raja yang luar biasa dan memerintah sangat lama (lebih dari 50 tahun). Di bawah pemerintahannya Kerajaan Yehuda menjadi sangat maju dalam banyak hal, baik secara administrasi maupun militer (2Taw. 26:1-15). Kematiannya menjadi awal dari sebuah krisis. Ditambah dengan kemunculan bangsa Asyur yang makin besar, keadaan Yehuda benar-benar semakin terpuruk.
Di tengah persoalan yang pelik seperti inilah, Yesaya mendapat sebuah penglihatan dan panggilan. Ada harapan bagi bangsa Yehuda. Allah tampaknya tidak kaget dengan apa yang sedang terjadi. Dengan tenang Dia duduk di atas tahta-Nya (6:1). Walaupun Dia duduk tenang, Dia tidak tinggal diam. Dia menjumpai dan memanggil Yesaya untuk memberitakan pengharapan bagi Yehuda. Melalui perjumpaan ini TUHAN ingin menyatakan siapa diri-Nya kepada Yesaya.
Dia adalah Allah yang mahakuasa. Tidak peduli seberapa hebat Uzia, dia tidak bisa dibandingkan dengan Tuhan semesta alam. Tahta Tuhan “tinggi dan menjulang”. Dalam teks Ibrani dan sesuai konteks seluruh kitab, frasa ini lebih tepat dikenakan pada Tuhan, bukan tahta (lit. “Tuhan….tinggi dan dimuliakan”; bdk. 52:13; 57:15). Dia adalah “Sang Raja, yaitu TUHAN semesta alam” (6:5). Kekuasaan-Nya bukan hanya bersifat regional, tetapi universal.
Dia adalah Allah yang mahakudus. Ujung jubah Tuhan yang memenuhi bait suci sangat mungkin mengingatkan Yesaya pada momen terakhir hidup Uzia. Raja ini berubah setia dan menjadi sombong. Dia tidak peduli dengan perintah Tuhan tentang korban bakaran, sehingga dia ditulahi dengan penyakit kusta: “Raja Uzia sakit kusta sampai kepada hari matinya, dan sebagai orang yang sakit kusta ia tinggal dalam sebuah rumah pengasingan, karena ia dikucilkan dari rumah TUHAN” (2Taw. 26:21). Tidak seperti Raja Uzia, TUHAN jauh melebihi bait suci.
Para serafim pun tidak tahan dengan kekudusan TUHAN. Mereka menutupi wajah dan kaki mereka sebagai tanda ketidaklayakan. Terlepas dari bagaimana kita memahami kata Ibrani regel di sini (kaki atau alat kelamin), artinya tetap sama. Apa yang paling mulia (wajah) dan paling hina (kaki/kemaluan) dalam ciptaan tetap tidak pantas untuk dipertunjukkan di depan kekudusan TUHAN. Jika makhluk surgawi yang kudus dan setiap hari berada di sekitar tahta Allah saja tidak tahan berdiri di depan kekudusan Allah, apalagi kita sebagai manusia yang berdosa?
Kekudusan-Nya menjadi semakin terlihat melalui seruan para serafim “kudus” sebanyak tiga kali (6:3a). Pengulangan sebanyak tiga kali seringkali menandakan sifat yang tertinggi. Itupun masih ditambah dengan keterangan “seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (6:3b).
Seruan ini sanggup menggoyangkan alas bait suci (6:4). Bagi mereka yang sempat menyaksikan kemegahan bait suci buatan Salomo pasti sangat tercengang dengan gambaran ini. Fondasi bait suci yang begitu kokoh tetap tidak tahan dengan seruan makhluk surgawi. Jika demikian, bagaimana bait suci bisa bertahan dengan kehadiran TUHAN sendiri dalam segala kekudusan-Nya?
Hasil dari perjumpaan
John Calvin mengajarkan bahwa pengenalan terhadap Allah akan menentukan pengenalan terhadap diri sendiri. Itulah yang terjadi pada Yesaya. Melihat TUHAN dalam segala kemuliaan-Nya membuat Yesaya menyadari siapa dirinya. Begitu pula seharusnya yang terjadi dalam diri kita.
Kita menyadari keberdosaan kita (6:5). Reaksi Yesaya di ayat ini bersifat spontan. Dia tidak perlu ditegur, apalagi diancam. Dia langsung menyadari kenajisan dirinya dan bangsa Yehuda. Di depan kekudusan TUHAN kita akan menyadari kesamaan kita dengan semua orang: sama-sama orang berdosa. Tidak ada yang pantas merasa lebih benar atau kudus.
Kita menyadari kebinasaan kita (6:5). Sebagian orang cenderung meremehkan dosa. Beberapa mungkin siap mengakui bahwa mereka berdosa, tetapi mereka tidak benar-benar paham konsekuensi dari kondisi tersebut. Manusia pantas untuk mati! Itu juga yang langsung muncul dalam diri Yesaya. Dia berseru: “Celakah aku! Aku binasa”.
Kita menyadari anugerah Allah (6:6-7). Yesaya ternyata tidak mati, walaupun dia pantas mendapatkan itu. Bukan karena dosanya sedikit atau sepele. Semua karena kemurahan Allah. Anugerah ini diberikan atas inisiatif Allah sendiri. Yesaya tidak sempat memohon ampun. Dia tidak meminta kemurahan. Dia tidak membuat nazar tertentu apabila dia diselamatkan dari situasi ini.
Atas anugerah TUHAN, seorang serafim mengambil bara dari atas mezbah. Serafim itu lantas mendatangi Yesaya. Dengan bara itulah dia disucikan. Menariknya, penyucian tidak begitu saja diberikan. Ada sarananya, yaitu bara dari mezbah. Kemungkinan besar bara itu dari mezbah bakaran, karena tidak ada penebusan tanpa penumpahan darah (Im. 16:14-19; 17:11; Mat. 26;28; Ibr. 9:22). Walaupun serafim seringkali disebut “yang menyala” (arti nama mereka berkaitan dengan api/kesucian), pengudusan Yesaya tidak dihasilkan oleh serafim. Serafim tetap harus mengambil bara dari mezbah bakaran.
Demikian pula dengan diri kita. Pengudusan tidak bisa diberikan begitu saja tanpa apa-apa. Pengudusan juga tidak bisa diupayakan sendiri. Pengudusan hanya terjadi melalui korban Kristus di atas kayu salib.
Kita menyanggupi panggilan Allah (6:8). Untuk pertama kalinya dalam penglihatan ini TUHAN sendiri berbicara. Yang Dia katakan pasti sangat penting. Jika tidak demikian, Dia mungkin akan memakai cara lain untuk berkomunikasi dengan Yesaya.
Allah memang Raja semesta alam. Kemuliaan-Nya memang memenuhi seluruh bumi. Persoalannya, manusia berdosa seringkali tidak menyadari dan mengakui-Nya. Dan Allah tidak mau mendiamkan situasi ini. Dia bertindak.
Allah memanggil Yesaya untuk sebuah misi. Dia tidak langsung memberikan perintah kepada Yesaya. Dia juga tidak memohon-mohon kepada Yesaya. Dia hanya memberikan sebuah pertanyaan dan undangan: “Siapakah yang mau Ku-utus?”
Undangan ini jelas sangat sukar untuk ditolak. Jika perkataan serafim saja sanggup mengguncangkan alas pintu bait suci, tidakkah suara TUHAN mampu mengguncangkan hati Yesaya? Bukankah Yesaya sendiri baru saja mengalami karya ajaib TUHAN yang melepaskan dia dari ketidaklayakan dan kebinasaan? Bagaimana mungkin dia menolak undangan yang beranugerah ini? Walaupun tanpa paksaan, undangan ini sangat sukar untuk dimentahkan. Mereka yang pernah menjumpai TUHAN secara pribadi tidak akan keberatan untuk pergi menjumpai orang lain demi TUHAN.
Bagaimana dengan Anda? Bukankah Allah sudah berkarya sedemikian rupa dalam kehidupan Anda? Bukankah penebusan Kristus yang sempurna sudah melepaskan kita dari keberdosaan, ketidaklayakan dan kebeinasaan? Bagaimana mungkin Anda berkata “tidak” pada panggilan Allah? Soli Deo Gloria.